Pasien No. 15

4.8K 352 64
                                    

"Rona belum pulang."

Ganesa, yang semula sedang asyik menyetem ukulele, seketika berhenti saat Beka menghampirinya di ruang tengah lantai atas. Melihat dari pakaiannya—atasan scrub warna abu-abu dan tas jinjing yang masih dalam genggaman—menandakan bahwa si Dokter itu baru saja pulang jaga.

Kening Ganesa mengerut saat melirik jam dinding. Masih jam 18.30. Tumben sekali Beka sudah pulang.

Memilih untuk melanjutkan seteman ukulelenya, Ganesa mengusulkan, "telpon, gih! Tanya lagi di mana terus lo jemput sekalian." Si pemilik kos memiringkan kepalanya, mencoba mendengar dari dekat hasil seteman pada senar ukulelenya. "Sekalian nasehatin, lain kali pake tracking device biar lo bisa pantau—"

Beka yang sudah berdiri di samping Ganesa menempelkan selembar Rp50,000 ke kening Ganesa. Membungkam si pemilik kosan dari komentar yang tidak perlu.

Yang diberi uang langsung diam.

"Lo mau gue bantu chat atau telpon? Enaknya alesan apa biar dia nggak curiga?" Ukulele sudah bukan lagi prioritasnya. Setelah mengantongi Rp50,000, alat musik yang ditempeli banyak stiker itu diletakan di pangkuan seraya meraih ponsel di meja. "Sepik-sepik mau jajan siomai depan masjid kali, ya?"

"Gue mau dia balik sekarang. Kalo perlu gue jemput."

"Yakin lo?" Ganesa mengangkat sebelah alisnya. "Dia lagi nge-date, Bek. Bukan kerja kelompok di rumah teman."

Beka tidak menjawab dan balas menatap dengan satu alis terangkat. 

Melihat ekspresi dingin di wajah Beka, Ganesa pun mundur. Ia hanya mengangguk kecil sambil mencari chat terakhir dengan Rona. "Cuma mau ngingetin. She's 25 almost 26 and you're not her father ... be careful. Dia keliatan kayak tipe yang bakal lari kalo diposesifin."

"Udah?" tantang Beka dengan dua tangan bertolak di pinggang. "Gue emang bukan cowoknya atau bapaknya. But I know I'm good enough to be her last lover."

Ganesa tercengang dan tatapannya berubah jijik pada salah satu penghuni kosannya. Sambil mencebik, dia berkata, "... git inif ti bi hir lis livir. Prett! Nih! Udah kekirim dan centang dua item. Tunggu aja."

Beka mengeluarkan lagi selembar uang dari sakunya. Kali ini selembar Rp20,000 dan uang itu ditempelnya di kening Ganesa.


✿✿✿ 


Beka menyalakan rokoknya seraya menarik kursi. Setelah laptopnya menyala, dia segera mengetik website resmi FK ULILA dan melakukan login dengan akun pribadinya. Dari halaman utama, dia masuk ke bagian 'Profil Alumni'.

'Issa'

Satu kata itu diketiknya dalam kolom pencarian. Nama itu dia ketahui dari Ganesa setelah mengancam si pemilik kos semalam dan tadi, sewaktu masih menjalankan sifnya di klinik, dia mendapat detail identitas pria yang sedang mendekati Rona.

'Namanya Issa, katanya dulu seangkatan, tapi nggak lanjut koas. He has this ... I don't know, nerdy-vibe? Gue lebih percaya dia jadi dokter daripada elo, Bek'

Kurang lebih begitu kata Ganesa semalam.

Nama Issa tidak muncul di kolom database alumni, jadi Beka mengubah data pencarian ke data seluruh civitas academica untuk memunculkan nama lelaki yang katanya pernah sekelas dengan Rona.

Benar saja.

Setelah melakukan detail pencarian spesifik pada angkatan Rona, satu nama muncul; Issa Martin.

Pada thumbnail tertera bahwa orang itu sudah melaksanakan wisuda di tahun dan batch yang sama dengan Rona dan sebuah kejutan melihat nama dosen pembimbing skripsinya sama dengan Rona. So, let's assume they got close during that period of time.

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang