Pasien No. 32

3.1K 315 66
                                    

"Kok lo di sini?"

Gadis Abrahms mendelik mendengar pertanyaan dari Beka yang baru saja memasuki ruang jaga sambil melepas haircap. Si pemilik klinik hanya menatap tajam salah satu pekerjanya itu lalu kembali menatap laptop dengan ekspresi masam.

"Ini klinik gue. Mau duduk di mana pun, itu urusan gue. Masalah buat lo?"

Beka meringis, tetapi tidak menganggap serius jawaban Gadis. "Setelah ini kan sifnya Rona, gue bingung kenapa malah elo yang di sini."

"Hari ini Rona ada sosialisasi TBC di puskesmas sampe nanti sore, jadi gue yang gantiin."

"Loh, kok Rona nggak ngabarin?" Beka mengambil botol minumnya dari loker lalu menarik kursi dan duduk di samping Gadis.

| Me: Ron, di pkm sampe jam brp?

Chat yang baru saja dikirim itu hanya dibaca oleh Rona dan dibiarkan tidak terjawab. Kening Beka pun mengerut.

| Me: gue jemput ya?

Lagi-lagi dua centang abu-abu berubah menjadi biru dalam sekejap dan tidak ada respon apapun dari pihak sana.

"Sosialisasinya di puskesmas kecamatan, 'kan? Di undangan selesai jam berapa, Dis?"

"Sampe jam empat," jawab Gadis tanpa menoleh dari laptopnya.

Setelah melihat jam, Beka mengangguk. Keputusannya sudah bulat. Selepas jaga nanti, dia akan menjemput Rona di puskesmas.

Lalu perhatian pria itu tertuju pada si pemilik klinik yang sibuk sendiri. Dia melongok, mengintip apa yang sedang dikerjakan oleh Gadis, lalu memperhatikan raut ekspresi wanita di hadapannya.

"Kenapa lagi laki lo?"

"Gue suruh nyemplung ke laut!"

Kedua alis Beka terangkat mendengar respon ketus dari lawan bicaranya, tetapi lagi-lagi dia tidak menganggap serius. Ini bukan kali pertama si pemilik klinik datang dengan wajah masam dan respon ketus atau tatapan tajam. Saking seringnya, satu klinik sudah paham dan sepakat untuk tidak mengajak bicara yang tidak perlu sampai Gadis duluan yang mengajak bicara.

Biasanya, kalau sudah seperti ini, para staf klinik akan menghubungi Luki—selaku penanggung jawab mutu dan pelayanan—dan semua beres dalam sekejap. Sayangnya saat ini pria itu sedang tidak di klinik dan semua urusan klinik terkait mutu pelayanan diserahkan pada Beka.

"Yakin mau nyuruh Luki nyemplung ke laut?" pancing Beka sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Dia masih mencoba mengirim chat ke Rona dan mengabari akan menjemput sepulang jaga. "Dia kan bisa berenang. Kalo abis nyemplung dia malah berenang ke benua tetangga dan ditolong sama dokter spesialis—a, aww! Sumpah, ya. Cubitan lo sakit!"

"Kalo berani buka mulut lagi, gue cubit lidah lo pake tang!"

Beka tertawa sambil mengusap bekas cubitan Gadis di lengannya. "Lagian aneh. Laki lo lagi menimba ilmu di luar sana, Dis. Jangan digalakin. Lo kan tau sendiri selama pendidikan chat personal sering ketimbun chat grup."

"Nggak usah ngebelain Luki, Bek!" tukas Gadis sambil mendelik. "Lo, Robyn, Esa, bahkan seorang Genta pun ngomong hal yang sama. Kalo teman lo nggak bener, jangan didukung!"

Beka mengerutkan keningnya lalu mengangguk. "Iya, sih. Genta aja masih bisa quality time sama anaknya pas PPDS, tapi si Luki malah kayak ditelan bumi. Lo susulin aja, Dis. Jangan-jangan di Semarang dia bukan lagi sekolah, tapi lagi dikelonin—a, aaa!!"

"For the love of god! Kalo lo ngomong lagi, gue aduin ke Rona soal tante-tante lo itu!"

Tangan Beka tengah mengusap bekas cubitan kedua yang didapatnya sambil bergerak menjauhi Gadis. "Rona udah tau, kok."

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang