Pasien No. 6

5.3K 383 36
                                    

Perjalanan ke Kalideres seharusnya tidak sampai 1 jam dengan motor!

Apalagi semenjak pandemi, kemacetan sudah jauh lebih terkendali, tetapi kenapa Rona merasa seperti separuh hidupnya habis untuk perjalanan dari Pisangan ke Kalideres? Apakah tiba-tiba provinsi DKI Jakarta mengalami pelebaran sehingga Jaktim-Jakbar jadi seperti Sumatera-Papua?

Rona menegakan tubuhnya, mencoba mengintip ke balik bahu Beka, dan matanya membelalak melihat kecepatan berkendara mereka tidak mencapai 50km/jam. Di balik maskernya, Rona menggertakan gigi. Menahan keinginannya menjambak Beka lalu mendorong pria itu menyingkir agar dia bisa mengambil alih berkendara.

"Stop di depan aja." Rona menepuk bahu Beka lalu menunjuk melewati bahu pria itu. Kesabarannya sudah habis. Pinggangnya sudah pegal bukan main harus duduk seharian di klinik dan dia tidak mau menghabiskan sisa malamnya berlama-lama duduk di belakang Beka.

Menghemat Rp7500 my ass!

"Beka stop di bawah jembatan!" ulang Rona sengaja mengeraskan suaranya.

"Gue mau anterin sampe depan kosan." Pria itu berujar sambil menoleh agar Rona bisa mendengar.

"Nggak usah. Turunin gue di bawah jembatan ... " Rona mencengkeram tali ranselnya, " ... atau gue teriak minta tolong?"

Telinga Rona bisa mendengar jelas Beka berdecak dan arah motor perlahan menepi ke bawah jembatan. Begitu motor benar-benar berhenti, Rona bergegas turun lalu melanjutkan berjalan menuju jembatan halte selanjutnya tanpa berkata apa-apa.

Langkah kaki Rona semakin cepat, tetapi Beka berhasil menyamakan langkah mereka.

Iya, langkah.

Beka, yang sudah mematikan mesin motor, memajukan motor dengan melangkah.

"Ron, apa kabar?"

Rona hanya diam dan tetap berjalan.

"Mie ayam di belakang ULILA tutup, lo udah tau? Si Bapak pulang kampung, soalnya istrinya kena Covid."

Rona turun ke jalanan untuk melewati tenda warung pecel lele dan kembali naik ke trotoar tanpa sedikit pun mengeluarkan suara.

"Yang tadi siang baksonya enak, 'kan? Gue direkomendasiin sama Gadis. Dia kalo soal makanan gercep banget." Beka melanjutkan, "kayak elo."

Sambil berjalan, mata Rona awas mengamati pergerakan bus yang lalu lalang. Dari kejauhan dia bisa melihat nama halte dan kepalanya dengan cepat mengingat kembali rute pulang tercepat yang harus dipilih. Dalam hati, dia berdoa semoga begitu sampai di halte—setelah memanjat puluhan anak tangga, berlari menuju halte, dan menunggu—masih ada bus yang lewat. Meskipun setelah itu Rona khawatir begitu sampai halte transit, dia tidak akan kebagian bus menuju Kalideres.

"Ron, gue anter aja, ya? Nggak akan keburu lo balik naik bus. Belum nunggu angkot dari halte Kalideres ke arah kosan lo—"

"Lo nge-stalk gue sampe sejauh itu?" sela Rona yang menghentikan langkahnya. Kedua matanya melotot menatap Beka. "Can you ... leave me alone?"

Beka melepaskan helmnya lalu menggantungnya di setang motor. Maskernya diturunkan hingga sebatas dagu. "Gue yang nerima berkas lamaran lo dan semuanya bisa dicari di Google. I swear I didn't do anything that can make you feel uncomfortable."

"Kalo gitu stop!" ujar Rona dengan suara meninggi. "Semua yang lo lakukan bikin gue nggak nyaman. Lupain aja semuanya. Anggep aja kita nggak pernah kenal. Total strangers."

"Nggak bisalah, Ron," desak Beka yang langsung menurunkan standar motornya. "Kalaupun lo bisa ngelupain semua, gue nggak bisa. Perasaan gue—"

Rona menjentikan jarinya dan berhasil membuat Beka terdiam.

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang