🔞🔞🔞
Warning:
Mentioning variants of drugs
Obat-obatan yang disebutkan di bab ini adalah golongan obat keras (psikotropika/narkotika) yang penggunaannya wajib konsultasi dengan dokter/apoteker terlebih dulu
🔞🔞🔞
"We're here."
Saat pintu lift terbuka, Koko menjelaskan seolah-olah sedang menjadi pemandu wisata suatu museum. Mereka sudah tiba di gedung office Techno Five yang berlokasi tepat di belakang gedung utama. Jaraknya tidak jauh, kurang lebih 500 meter. Namun, harus diakui, Rona bersyukur dijemput naik mobil karena terik matahari begitu menyala siang itu.
Gedung tiga lantai itu tampaknya tidak memiliki banyak staf. Hanya ada satu orang keamanan yang menyambut di lobi lalu membantu Koko memarkir mobil dan satu orang resepsionis. Selebihnya, di lantai dua hanya ada puluhan pintu dan di sini, lantai tiga gedung office yang katanya ruangan Beka, tidak ada apapun.
Kalau jadi Rona, rasanya sulit sekali untuk fokus pada dua hal secara bersamaan; pada figur Koko yang berjalan di depannya dan tampak begitu mempesona atau pada kenyataan bahwa lantai tiga hanyalah sebuah lorong kosong dan hanya memiliki satu pintu.
Tadi memang Rona sempat terpukau pada kecantikan sosok Koko yang begitu elegan. Pembawaan wanita itu begitu dewasa, tutur kata yang lembut, dan aroma parfumnya yang sangat sensual. Namun, setelah berdiri dan berjalan di belakang wanita itu, Rona semakin tergila-gila melihatnya. Wanita itu mengenakan jas hitam dan celana bahan dengan potongan 7/8 yang memperlihatkan ankle-nya ditambah sepasang ankle boots hitam dengan hak yang cukup tinggi. Setiap ia melangkah, ada liuk menarik untuk diperhatikan.
"Aku nggak bermaksud jadi creepy atau mesum; you're hot," kata Rona malu-malu.
Wanita yang dipuji tertawa kecil—damn! Even her giggles sound so elegant!—menoleh lalu tersenyum pada Rona. "Thank you, Miss. A compliment from a beautiful person like you always makes me happy."
"O, uhm ... thanks," respon Rona mengulum senyumnya.
"So, he comes here like, what? Every week?" sambung Rona yang mulai bisa fokus pada apa yang ada di sekitarnya. Begitu keluar dari lift, tidak ada apapun di sana kecuali sebuah lorong kosong tanpa ada satu pun furnitur. Ada dua jendela besar, tetapi keduanya tertutup rapat. Di ujung lorong, terdapat sepasang pintu besar yang tampak seperti pintu masuk studio di bioskop dengan plakat huruf B besar dari metal.
"Depends on the occasions, tapi bisa dibilang tahun ini Beka baru mampir dua kali ke sini dan satu kali hanya bertemu rekannya di parkiran." Tiba-tiba saja Koko berhenti. "Sebelum lupa, kamu punya preferensi makanan tertentu? Like, is there anything you don't eat? Aside from seafood."
"Nggak ada, sih," jawab Rona bingung. "Emangnya kenapa?"
"Kitchen sedang stand by untuk menyiapkan makan siang. Saya mau memastikan preferensi makananmu yang mungkin belum pernah Beka sebut."
"Dia bilang apa aja?"
"Beka secara spesifik bilang kamu punya alergi seafood dan nggak suka makanan yang hambar—you like spices, right? Ada kriteria lain? Mungkin lebih prefer yang manis seperti gudeg atau yang pedas seperti gulai?"
"I'm fine with anything, but ... " Rona memiringkan kepalanya, " ... why did he tell you that? Untuk kepentingan apa?"
Koko hanya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Room Gets Too Hot
Literatura Feminina[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] Start: 01/12/2023 🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞 "Karena lo nggak mau pacaran, gimana kalo kita FWB-an aja?" "Emangnya lo berani bayar berapa untuk bisa FWB-an sama gue?" " ... what? FWB kok bayar?" "Bukannya emang gitu, ya? Ba...