Pasien No. 11

4.7K 363 63
                                    

Rona terkekeh melihat nominal yang tertera di akun banking-nya. Hampir sebulan sudah dia bekerja di Klinik Hartal Medicia dan tidak pernah dia merasakan sebahagia ini sebelum-sebelumnya. Melihat dua digit pertama saldo rekeningnya mencapai angka 18 adalah sesuatu yang harus dirayakan. Belum ditambah dengan bayaran minggu ini yang baru akan cair besok. Kalau hitung-hitungan Rona benar—dan selama ini terbukti belum pernah salah—minggu ini dia akan mendapat setidaknya Rp2,800,000 untuk pemeriksaan 95 orang. Belum termasuk biaya jasa tindakan injeksi dan bedah minor.

Sebentar, sebelum lanjut mengagumi saldo rekeningnya, Rona segera berguling di atas tempat tidur ruang jaga. Dengan gesit tangannya bergerak di atas layar, membuka menu transfer antar bank, dan memindahkan Rp15,000,000 ke rekeningnya di bank lain via Bi-Fast.

Begitu selesai, Rona mengangguk-angguk puas.

Dengan begini, dia hanya punya Rp3,000,000 untuk keperluan sehari-hari dan keperluan darurat lainnya.

Sejauh ini, Rona tidak tahu jumlah saldo di rekening lain miliknya. Mungkin, kalau ada kesempatan nantinya, dia akan mencoba mencetak mutasi di buku rekeningnya.

Atau sebaiknya ... jangan?

Kening Rona mengerut menatap layar ponselnya. Namun, begitu mendengar suara pintu diketuk, dia segera menutup aplikasi banking.

"Dok, jemputannya sudah datang." Bang Ramli berseru setelah membuka sedikit pintu agar bisa menyampaikan pesan.

"Iya, Bang. Makasih, ya."

Bang Ramli duluan pergi, sementara Rona bersiap merapihkan penampilannya yang sedikit berantakan karena menunggu sambil rebahan. Setelah siap, dia berjalan keluar klinik.

Di depan klinik, sudah ada sebuah Pajero terparkir melintang. Pintu belakangnya dalam keadaan terbuka dan seorang wanita yang mengenakan kaus serta celana jeans selutut melompat turun.

"Ron-Ron!"

"Peri-Peri!"

Rona berlari menghamburkan pelukannya pada wanita yang disapa Peri. Nama aslinya Avery. Teman sekelas Rona semasa preklinik dan mereka terpisah sejak koas hingga internsip selesai.

"Akhirnya bisa ketemu! Kangen banget, Ron!" ujar Avery penuh semangat yang belum melepaskan pelukannya pada Rona. Mereka bergerak ke kanan-kiri, melompat, dan bergerak memutar.

"Fixed banget kita harus bergadang!" Rona lebih dulu melepaskan pelukannya, dia melambai pada Bang Ramli yang sedang menikmati segelas kopi di depan pos. "Bang, makasih ya. Aku pulang duluan, ya."

"Siap, Dok. Hati-hati di jalan, ya. Selamat berakhir pekan, Dok!"

Dua wanita itu pun pergi.


✿✿✿



"Nyokap lo mana, Per? Kok tumben sepi?"

Rona mengedarkan pandangannya saat dia dan Avery mendaki tangga menuju kamar Avery di lantai dua. Rumah milik sahabatnya itu tergolong besar dan mewah, tetapi anehnya hari ini terlihat begitu sepi. Banyak lampu yang dimatikan dan sejauh mereka berjalan masuk, Rona baru melihat seorang ART yang sedang mematikan TV.

Biasanya, rumah Avery sangat ramai.

Sahabatnya itu tinggal bersama saudara kembar laki-lakinya, Issa, orang tuanya, dan nenek dari pihak ibu. Dulu orang tua Avery mempekerjakan dua orang ART dan salah satu dari mereka membawa anaknya yang berusia 10 tahun tinggal bersama di rumah itu.

"Bonyok lagi di Sydney, nengokin sepupu gue yang baru lahiran." Avery sampai lebih dulu di depan pintu dan langsung membukanya. Seketika udara dingin dan aroma bunga menyambut Rona yang berdiri tepat di samping Avery. "Aneh banget, ya? Baru juga lahiran, udah dijengukin. Minimal sampe sepupu gue balik ke rumah dulu dan kondisinya pulih. Atau tunggu aja mereka pulang ke Indonesia, ngapain nyusulin ke Sydney?"

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang