Pasien No. 38

3.2K 248 31
                                    

🔞🔞🔞

Warning:

Sexual content.

🔞🔞🔞


Beka menatap layar ponselnya sambil memijat kening.

Sepuluh menit terakhir dia menghabiskan waktu menelusuri link berita yang Ganesa kirimkan dari berbagai platform. Untuk menambah informasinya, dia sudah menghubungi Joni dan minta agar dicarikan data lain.

Menurut informasi yang Joni kirim, selama penyelidikan kasus Issa terbongkar ke publik, semakin banyak orang mengaku menjadi korban. Ada setidaknya 30% dari total keseluruhan merupakan bagian dari ULILA yang tersebar di berbagai fakultas. Dua di antaranya ternyata kenal lewat dating apps dan sempat diancam akan disebarkan video seksnya.

'Ini yang paling bikin gue kaget, Bang. Gue diceritain sama kenalan gue yang anak ekonomi, salah satu anak angkatannya cerita katanya Issa pernah maksa untuk di-invite gabung ke ULILA-1, tapi nggak diterima. Gila kali, ya? Tampang pas-pasan begitu mau join ULILA-1.' Begitu isi laporan terakhir yang Beka dapat dari Joni.

Meskipun Beka tahu betul apa saja kriteria untuk seseorang diundang bergabung ke dalam grup itu—uang dan popularitas, tentu saja—tapi kalimat yang Joni ucapkan ada benarnya. Dengan wajah seperti itu, rasanya terlalu jauh bermimpi untuk bisa bergabung. Ditambah lagi Issa bukanlah orang yang cukup menonjol di lingkungan kampus dan finansialnya.

Syukurlah para anggota kelompok bedebah itu telah membuat keputusan yang benar. Karena kalau sampai Issa bisa bergabung, bisa saja sewaktu-waktu Rona ikut menjadi target dari tantangan bodoh mereka.

"Beka! Ini es krim di kulkas boleh gue makan?"

"Iya, makan aja. Itu emang gue stok buat lo."

Setelah menutup aplikasi chat, Beka melihat ke belakang bahunya. Sepertinya Rona sudah selesai mandi dan sedang mencari camilan.

Cukup lama dia diam memperhatikan sosok wanita dengan kaus putih yang ketat dan balutan handuk itu mondar-mandir di dapur sambil bersenandung.

"Ron, bisa ke sini sebentar? Ada yang mau gue omongin."

Rona menghampiri sambil menyantap es krim naepolitan lalu duduk di samping Beka dengan wajah mengerut.

"Mandi, gih."

"Nanti aja." Beka mengendus lengan dan kerah kemejanya. "Nggak bau, kok."

"Bukan masalah baunya, tapi kuman, Bek. Kita tadi dari tempat umum, loh."

Beka tertawa kecil. "Iya, Sayang. Abis ini gue man—"

"Diem!" tegas Rona sambil menempeleng wajah Beka.

"Alright, alright! Gue janji akan mandi setelah kita ngomong." Pria itu lantas mengangsurkan ponselnya setelah membuka salah satu link yang diberikan Ganesa. "I just want to know if you've ever heard anything from Avery regarding her brother."

Kilat di mata Rona terlihat meredup.

Tatapannya berubah dan tidak lagi ada minat yang terpancar dari sepasang bola mata itu.

"I don't know," aku Rona sambil menyantap es krim dengan tidak bersemangat. "She called me few times but I didn't answer. Baru liat misscalled-nya sehari setelahnya."

"No chat?"

Rona menarik napasnya dalam-dalam. "Dia nge-chat beberapa kali. Ngajakin jenguk Issa di penjara, minta bantu doa supaya urusan Issa cepat selesai dan keluarganya bisa kumpul lagi, dan terakhir dia ngirimin beberapa link berita yang dia anggap ngawur."

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang