Beka bertolak pinggang sambil menatap lembar foto rontgen di depan lightbox, melihat kondisi paru-paru salah satu pasiennya yang dua hari lalu dia instruksikan untuk foto. Jarinya kemudian bergerak melingkar di bagian kanan atas.
"TB ya, Dok?" bisik Agung yang ikut menimbrung untuk melihat hasil rontgen pasien terakhir sebelum sif pagi berakhir.
"Iya, nih," jawab Beka seraya melepaskan lembar rontgen dan memberikannya pada Agung. Sebagai gantinya, Agung memberikan secarik kertas berlogo laboratorium swasta berisi interpretasi dari spesialis radiologi. "Bu, anaknya kena TBC. Hasil rontgen-nya jelas lesi TBC di lapang paru kanan atas."
Dengan pena, Beka menandai hasil interpretasi di secarik kertas tadi lalu memperlihatkan pada pasien dan ibunya.
"Ini harus diobati intensif selama enam bulan." Beka menoleh pada Agung. "Bang, tolong tanyain OAT udah masuk atau pasien harus ambil ke PKM?"
Agung bergegas ke ruang farmasi. Tidak sampai satu menit, pria itu kembali sambil menyeret Wanda. "Ini, Dok. Tanyain orangnya langsung."
Beka menatap malas pada Agung yang cengengesan. "Wan, kita dapet stok OAT atau harus minta PKM dulu?"
"Oh, ada pasien TB ya, Dok? Kemarin dari PKM ngebawain stok 3 paket. Ditulis seperti biasa aja, nanti laporannya saya kasih dr. Rona supaya input di SITB." Setelah menjelaskan, Wanda kembali ke ruangannya.
"TBC itu apa ya, Dok?" Ibu pasien bertanya dengan suara pelan. Tangan wanita itu mengusap punggung putrinya yang berusia 19 tahun. "Saya kira ini batuk alergi biasa. Soalnya tetangga saya lagi renovasi sudah beberapa bulan terakhir, jadi rumah sering berdebu."
Tanpa menatap lawan bicaranya dan sibuk menuliskan resep internal, Beka menjawab, "TBC itu flek paru, Bu. Infeksi paru-paru oleh kuman TB atau Tuberkulosis. Biasanya penyakit begini karna tertular. Di rumah atau sekitarnya ada yang punya riwayat batuk lama?"
Wanita berhijab di hadapan Beka itu melirik putrinya.
"Suami saya waktu meninggal bulan lalu dibilang flek paru sama dokter IGD, Dok." Wanita itu berhenti sesaat. "Anak saya bisa sembuh, 'kan?"
"Bisa, kok," jawab Beka tenang sambil membolak-balik pengkajian awal pasien. "Gung, ini BB terakhir benar segini?"
Agung yang sedang membereskan bed pasien mengangguk. "Iya, Dok. Itu yang terbaru. Berat Kakaknya turun sejak terakhir berobat ke sini."
Beka tidak merespon dan segera mengeluarkan ponselnya untuk membuka grup chat 'Selingkuhan', dari situ dia mengetik 'OAT' di kolom pencarian. Setelah membaca dengan seksama, dia pun menuliskan dosisnya di lembar resep internal.
"Nanti selama 56 hari kita obati intensif, tapi saya kasih sebulan dulu, ya. Karena BB-nya Nina 35kg, jadi hanya minum 2 butir per hari. Kontrol lagi dua hari sebelum obat habis, nah ini, di tanggal ini ... " Beka menandai kalender lalu mencatat di status pasien, " ... selebihnya nanti dijelasin sama apotekernya, ya."
Setelah merampungkan pasien terakhir tersebut, Beka pun menghelakan napasnya. Jarinya mengetuk di atas meja membuat sebuah irama asal.
Semalam Rona pulang lebih cepat.
Ganesa mengabari via chat di saat Beka sedang menemui Joni dan beberapa alumni FK ULILA lain di sekitar kampus. Tepatnya di sebuah taman umum yang kalau malam berubah fungsi menjadi pusat wisata kuliner. Dan dari Ganesa pula Beka tahu bahwa Rona sedang haid.
Sepanjang malam, Beka masih sibuk mencari tahu mengenai Issa Martin dari teman-teman dan adik tingkatnya. Ternyata tidak banyak yang bisa dia ketahui selain bisnis keluarga dan info mengenai adiknya 'Avery Martin'. Hanya saja, dari hasil pembicaraan semalam, Beka tahu harus mencari informasi ke mana setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Room Gets Too Hot
ChickLit[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] Start: 01/12/2023 🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞 "Karena lo nggak mau pacaran, gimana kalo kita FWB-an aja?" "Emangnya lo berani bayar berapa untuk bisa FWB-an sama gue?" " ... what? FWB kok bayar?" "Bukannya emang gitu, ya? Ba...