Pasien No. 41

2.8K 259 42
                                    

Begitu melihat mobil Beka parkir menepi, Rona segera menghampiri. "Hei."

"Hey! Gen, she's here. We're going there asap, 'kay. Do you need anything? No? Alright, see you there."

"Lo nyetir sambil teleponan?" tuduh Rona seraya meletakan tasnya di bawah kursi lalu meraih seatbelt.

"On speaker, don't worry. Uhm, Ron. Barusan Ganesa ngabarin dia sekarang lagi di IGD ULILA." Beka memeriksa ponselnya sesaat lalu melanjutkan, "it's about your dad."

Rona tertegun.

"Bokap gue ... kenapa?"

"Tadi sore bokap lo nggak sadar setelah muntah-muntah. Ganesa dan Obyn yang bawa bokap lo ke IGD dan katanya beliau kena stroke. Sekarang kita harus nyusul ke sana karena mereka butuh tandatangan lo untuk tindakan."

Rona menunduk. Matanya bergerak mencari sesuatu untuk dipandangi, tetapi gagal. Pandangannya tidak bisa fokus usai mendengar kabar terkait ayahnya.

Tindakan?

Maksudnya harus dioperasi?

Di ... ULILA?

"T, tapi ... kalo harus operasi—"

"Mau nggak mau harus operasi cito malam ini, kalau nggak volume darahnya akan semakin naik."

"I know that!" hardik Rona yang mulai dilanda panik. "Bukan tentang operasinya, Bek. Tapi—"

Beka menatap Rona dengan satu alis terangkat. Hanya satu kali itu mereka bertukar pandang sebelum pria itu mengangguk pelan. 

Tangan besarnya menggenggam tangan Rona dengan erat. "Okay, I get your point. But you don't have to worry about the bills. Tadi Ganesa juga ngabarin waktu daftar ternyata bokap lo terdaftar di BPJS. Dari pihak administrasinya bilang kalau diaktifkan lagi, semua biaya pengobatannya bisa di-cover. Ganesa udah ngurus semuanya. Pihak rumah sakit cuma perlu fotokopi KK ... ada, 'kan?"

Rona masih tertegun menatap Beka dan mencoba mencerna apa yang baru saja pria itu jelaskan. Setelah beberapa kali mengatur napasnya—berkat instruksi Beka—Rona akhirnya mengangguk.

"Ada di kosan, tapi gue punya PDF-nya," jawabnya pelan.

"Good, it'll work. First, you need to calm down, 'kay?" bujuk Beka sambil mengusap bahu Rona. "Kirimin file-nya ke gue, nanti kita mampir untuk print. For the time being, keep praying. Don't lose hope, Ron."

Mata Rona masih terpaku pada sosok kekasihnya yang tampak begitu tenang. Sambil menunduk, Rona menarik napas panjang satu kali lagi sebelum membalas genggaman tangan Beka.

"Thanks, Bek."


✿✿✿


"Nggak, Dok. Semua cukup jelas. Makasih, ya," ujar Rona pada dokter jaga wanita yang baru saja menjelaskan kondisi terbaru ayah Rona. 

Menurut dokter wanita berhijab itu, satu jam setelah ayah Rona tiba di rumah sakit, kondisinya sempat stabil sehingga memungkinkan untuk segera dipindah ke ruang ICU. Stabilnya kondisi ayah Rona mampu bertahan berkat kolaborasi spesialis penyakit dalam, spesialis neurologi, spesialis anestesi, dan setelah dikonsulkan ke spesialis bedah syaraf, disetujui untuk dilakukan operasi guna mengevakuasi perdarahan dari rongga kepala. Mereka hanya perlu mengabari Rona dan mendapat persetujuan tindakan saja, tetapi begitu berkas untuk KIE dipersiapkan tiba-tiba saja kondisi ayah Rona kembali tidak stabil.

Setelah menjelaskan, dokter wanita itu pergi meninggalkan Rona seorang diri di ruang transit yang menghubungkan lorong dan ruang ICU.

Dia berdiri di hadapan jendela kaca yang memperlihatkan ruangan tempat ayahnya terbaring. Di sana dia termenung melihat bagaimana pria lanjut usia itu ditemani mesin dan selang untuk menunjang hidupnya. Meski tidak bisa mendengar keadaan di dalam sana—ada dua orang perawat yang sedang bekerja, masing-masing tengah mencatat tanda vital di status dan satu lagi sedang merapihkan selang—tetapi Rona tahu betul bunyi seperti apa yang tengah berkumandang di dalam ruangan itu.

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang