Pasien No. 42

2.2K 220 53
                                    

Setelah beberapa tahun menjadi koas dan dokter isip, Rona akhirnya sadar dan paham betul arti di balik kalimat, 'dibantu doa dari pihak keluarga supaya pasien bisa melewati masa kritis'.

Kalimat itu sebenarnya hanya sebuah penenang sementara bagi keluarga pasien. Memberi keluarga sedikit harapan bahwa pasien akan diberi kesembuhan.

Nyatanya?

Semua orang yang bekerja di rumah sakit otomatis tahu apakah pada akhirnya seorang pasien—terutama yang dirawat di ruang ICU—bisa kembali pulih atau pada akhirnya akan berpulang. Semuanya sudah terlihat dari data yang ada—pun sewaktu-waktu pasien benar-benar pulih, itu adalah mukzizat.

Dan pada titik ini, Rona sudah tidak berani lagi mengharapkan mukzizat.

Kondisi ayahnya sempat stabil di malam kedua rawat inap. Dokter jaganya bilang bahwa ayah Rona sudah mulai membuka mata dan bisa merespon panggilan dari nakes yang bertugas. Lalu Rona dikabari serta dipersilakan untuk melihat langsung bagaimana kondisi ayahnya di balik kaca ruang ICU.

Kalau Rona bukan tenaga medis yang pernah merawat pasien ICU, momen itu adalah secercah harapan yang terkabul. Dia pasti sudah melompat kegirangan, menangis, lalu memberitakan kesembuhan ayahnya pada semua orang. Namun sayang, begitu melihat ayahnya, semua data yang telah didengarnya dari dokter jaga kembali melintas dalam benaknya.

Dan detik itu juga Rona tahu bahwa ini tidak akan bertahan lama.

" ... nggak ada yang non-perfumed. Ini ada merk lain, non-perfumed, mau? Ron?"

"Y, ya?" Rona gelagapan saat mendengar suara Beka di seberang sana. Setelah mengerjap beberapa kali dan mendapati matanya telah berlinang air mata, Rona segera mengusap sudut matanya. "Sorry. Tadi lo bilang apa?"

"Di minimarket sini nggak ada merk yang lo cari, kalo merk lain mau nggak?" ulang Beka disusul suara gesekan plastik di seberang sana.

"Terakhir gue pake merk lain malah iritasi."

"Oh, alright. Gue cari ke minimarket lain dulu—"

"Bek."

"Ya?"

Rona terdiam sambil menatap wadah stirofoam berisi makanan yang sudah setengah jam tidak disentuhnya. Sambil memejamkan mata, dia menarik napas panjang. "Tadi gue dibolehin dokter jaganya untuk liat Bapak."

Ada jeda sebelum Beka kembali bersuara.

"How is he?"

"He blinked few times and I could see he tried to lift his finger."

"That's great!"

"M-hm," respon Rona pelan dengan seulas senyum getir yang tidak bisa dilihat siapa-siapa. "Kata dokter jaganya, nanti sore mau ada visite dari anestesi sama bedah syaraf. Mereka mau ngomong sama gue terkait kondisi Bapak."

Lagi-lagi ada jeda di seberang sana dan kali ini diamnya Beka berlangsung cukup lama. Sama seperti Rona, pria itu pun tahu arti di balik pertemuan yang direncanakan nanti sore. Namun, dengan bijak kekasih Rona itu berujar, "hey, I got everything you need, except for the pantyliner. After I find it, we can wait together until visite time. How's that sound?"

Tangan Rona menyeka sudut matanya dari basah. Dia mengangguk pelan.

"Jangan ngebut," ucapnya pelan untuk menyembunyikan suara yang tersekat.


✿✿✿


Dalam setengah jam, Beka berhasil menemukan semua barang yang dibutuhkan Rona dan bergegas ke rumah sakit. Tentu saja sambil menjaga kecepatan berkendara dalam batas aman karena janjinya pada Rona untuk tidak kebut-kebutan.

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang