Pasien No. 40

2.7K 241 28
                                    

Setelah memarkir motornya di dekat tumpukan galon air mineral, Ganesa turun sambil bersiul. Kunci motor diayunkan sambil dia berjalan masuk, mengambil beberapa bungkus camilan, kemudian menumpuknya di meja kasir di sudut ruangan.

"Beh, gas emang lagi naik, ya?" Ganesa mengeluarkan dompet dari saku celana. "Gue mau coklat yang merah itu satu kotak, terus wafernya satu kotak, sama air mineral yang biasa dua dus. Sekalian sama air yang minggu lalu, ya."

"Iya, dari sononya naik ceban. Kemarin nyariin kerupuk kan lu? Tuh, udah ada lagi. Orangnya baru anter tadi pagi, gua sisain buat elu."

"Ih, lovely banget! Boleh, deh. Kerupuk yang kemarin pada nggak doyan, katanya rasanya amis."

Semua belanjaan Ganesa satu per satu dimasukan dalam kardus sembari dihitung. Setelah totalan ditunjukan pada Ganesa, si penjual pun mulai menghitung jumlah uang yang didapat.

"Penghuni baru kosan lu, siapa itu? Yang rambut pendek, cakep."

Ganesa mengambil sebungkus kacang goreng dari stoples lalu mencamilnya. Matanya memandang ke sekeliling ruangan, melihat-lihat toko si Abeh yang sudah seperti gudang penyimpanan. Staf yang laki-laki berlalu-lalang melayani pembeli yang datang, sementara yang perempuan berkumpul di satu sudut dan sibuk mengemas order online. "Ah, elu, Beh. Semua cewek kalo rambutnya pendek lu bilang cakep. Noh, si Uni seberang juga rambutnya pendek, tapi nggak pernah lu puji cakep."

"Percuma cakep kalo ditagih utangnya malah lebih galak."

Sambil mengunyah, Ganesa mendengkus. "Salah lu, Beh. Udah tau dia janda anak tiga dan nggak kerja, malah lu tagih utang. Harusnya lu ikhlasin atau sekalian nafkahi biar lancar rezeki dunia akhirat," seru Ganesa sotoy.

Si Babeh berdecak sambil menabok Ganesa dengan buku kas. "Utangnye udah puluhan juta, lu kata gua malaikat bisa ikhlas?" Pria itu kemudian mengangsurkan kembalian pada Ganesa. "Hari gini lu ngencing aje bayarnye pake duit, kaga ada bayar pake ikhlas. Nah, kan! Lupa dah tuh gua mau ngomong apaan ... itu penghuni baru kosan lu, bapaknye tinggal di tempat lu juga?"

"Si Rona?" Sambil menghitung kembalian yang didapat, Ganesa kemudian menyerahkan dua ribuan sebelum mengambil satu bungkus kacang lagi dari stoples. "Nggak, dia ngekos sendiri. Emang kenapa?"

Pria tua dihadapan Ganesa itu lantas membuka laci lalu mengeluarkan buku tulis folio yang sudah usang. "Udah beberapa kali ada bapak-bapak ngaku bapaknye si ... siape namanye? Rona? Nih, dia ada ngambil rokok terus katanya suruh tagih ke anaknye. Lah, gua mau tagih tapi bocahnya kaga ada mampir ke sini. Lu tagihin dah, tuh."

Kening Ganesa mengerut melihat daftar hutang yang ditagihkan pada 'Kosan KB (Rambut pendek)'. Ada setidaknya puluhan barang yang dibeli dan hampir 70%-nya adalah rokok. Dia pun lantas mengedarkan pandangan pada sekitar toko dan menunjuk pada satu-satunya CCTV yang terpasang di langit-langit.

"Itu nyala, 'kan? Masih ada rekaman pas si Bapak ke sini nggak? Kalo ada gue mau mastiin mukanya, Beh."

"Iya, itu nyala. Fotonya sih kaga ada, tapi barusan banget dia ambil rokok dua bungkus. Asril! Mane si Asril? Panggil dulu si Asril, gua mau cek CCTV," ujarnya pada salah satu pekerjanya yang sedang membungkus pesanan milik Ganesa.

Setelah memotret daftar tagihan dengan ponselnya, Ganesa pun menunggu sampai si Babeh menunjukan wajah pria yang mengaku ayah Rona dari rekaman CCTV.


✿✿✿


"Lo nggak ada niat ngebantu sama sekali?"

"Nope. Why would I?"

"Basic human instinct? To help other people who needs help."

Robyn kembali menyuap sesendok nasi goreng yang diambilnya dari dapur—entah milik siapa, sudah tersedia begitu saja di atas meja konter dalam porsi yang lumayan banyak—lalu menggedikan bahunya. "Ini nasi gorengnya enak. Beli di mana?"

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang