Pasien No. 4

6.2K 393 53
                                    

Chaotic!

Rona meletakan pena di meja dengan satu gebrakan sambil mengembuskan napas keras begitu pasien terakhir keluar ruangan. Matanya terpejam, mulutnya komat-kamit, lalu saat membuka mata pandangannya langsung bertemu dengan lampu yang membuatnya pusing akibat silau.

"Wah, gila ...," gumam Rona yang tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lakukan. Tiga puluh pasien pada hari pertamanya bekerja dan semuanya kacau balau!

Padahal dia sudah sengaja datang lebih awal untuk mengulang kembali yang kemarin dijelaskan oleh dr. Luki. Datang, tunggu di ruang jaga sampai perawat memanggil pasien dan membawakan status pasien, anamnesis, periksa, tulis status beserta resep atau surat sakit, pasien keluar diarahkan perawat, dan lanjut pasien berikutnya.

Sungguh, penjelasan yang Rona terima dan catat di bukunya sesederhana itu, tetapi begitu terjun langsung rasanya membuat Rona ingin menangis.

Dari pertama pasien datang, begitu si pasien masuk, Rona sudah dimaki-maki. Katanya si pasien berobat kemarin karena demam dan hingga pagi ini keluhannya belum sembuh. Malah bertambah jadi batuk dan pilek. Dikiranya dokter itu dukun? Sekali minum obat langsung sembuh.

Lagipula, kalau diizinkan berkelit, pasien itu kan berobat ke dr. Luki. Kenapa malah Rona yang dimaki-maki?

Dan secara medis pun bisa dijelaskan kok fenomena perjalanan penyakitnya itu. Bukan karena minum obat jadi timbul batuk pilek, tetapi memang gejalanya belum muncul. 

Dari pasien itu, kira-kira beberapa jam kemudian, Rona kembali bertemu dengan pasien ajaib No.2. Begitu memasuki ruangan, ibu-ibu yang mengaku pasien langganan dr. Luki itu langsung keluar ruangan. Dari dalam ruang jaga, Rona bisa dengar teriakan marah-marah, dan begitu Rona mengintip keluar, ternyata si ibu ajaib ini sedang memarahi Mba Pipit.

Alasannya?

Karena hari ini yang praktek bukan dr. Luki dan dari pihak pendaftaran tidak ada penjelasan apapun.

Padahal Rona tahu benar—dan sudah memastikan—tadi pagi namanya sudah dipajang di papan 'Jadwal Praktek' yang bisa terlihat begitu buka pintu depan. Kan bukan sepenuhnya salah Mba Pipit.

"Dokter Rona."

Seseorang masuk tiba-tiba dan membuat Rona gelagapan. Dia duduk tegap, mata menatap horor pada sosok yang baru saja muncul di pintu.

Bu Mulyati Ningsih.

Perawat wanita yang hari ini jaga bersama Rona.

"Saya mau bicara," ujar wanita itu dengan intonasi tegas yang membuat bulu kuduk Rona meremang. Begitu Bu Mul masuk, Mba Pipit mengikuti di belakangnya. "Tutup pintunya, Pit. Nggak enak didengar orang."

"Kenapa, Bu?"

Dari sudut matanya, Rona bisa melihat gelagat Mba Pipit yang terus menunduk. Wanita yang lebih muda itu terlihat melirik ke arah Rona dan caranya menatap Rona ....

Did I do something? Nah-ah. I did something. Bad.

"Sebelum di sini, pernah praktek di mana, Dok?" tanya Bu Mul yang langsung duduk di bangku pasien. "Kalau sepenglihatan saya, Dokter ini seperti ... apa istilahnya, Pit? Yang tadi kamu bilang itu. Bibi—apa?"

"Newbie, Bu."

"Nah, itu!" Jari telunjuk Bu Mul menunjuk pada Mba Pipit. "Sepertinya tidak punya pengalaman megang pasien."

Rona mengangkat sebelah alisnya. "Saya baru selesai internsip, Bu. Ini memang pekerjaan pertama saya setelah lulus. Sebelumnya saya dinas di puskesmas kecamatan Cakrawala."

"Kalaupun ini pengalaman kerja pertama, dulu di koas juga kan sudah biasa pegang pasien, toh? Kenapa keliatan tidak pengalaman sama sekali?" Wanita itu mulai meninggikan nada bicaranya. "Begini, ya. Saya bicara begini karena saya pengalaman kerja lebih dari 10 tahun. Sudah pernah di rumah sakit dan klinik. Sudah bertemu macam-macam dokter dan baru ini saya nemu dokter tapi geraknya lama sekali."

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang