Pasien No. 49

1.6K 206 26
                                    

"Dok, ini pasien terakhir. Abis ini saya, Wanda, sama Pipit mau makan di warteg sebelah, mau ikut?"

Rona yang sedang menggaruk bahunya dengan bagian belakang pulpen tampak menggeleng. "Duh, aku mager banget, Bang. Nanti pulangnya boleh nitip es kelapa yang di depan bengkel?" Seraya menerima map status pasien, Rona menyerahkan selembar uang pada Agung. "Lanjut aja, Bang."

"Anak Dilan," panggil Agung di ambang pintu. Sekilas terdengar suara ibu-ibu menegur anaknya. "Silakan masuk, Bu. Itu tasnya dibawa aja, jangan ditinggal sembarangan."

Seorang wanita berhijab datang sambil menggendong anaknya di sisi kanan dan membawa sebuah ransel di tangan kiri. Ia terlihat kerepotan menyuruh dua anaknya yang lain untuk masuk.

"Pagi, Dokter," sapa wanita itu yang akhirnya dibantu oleh Agung untuk mengarahkan anak-anaknya masuk ruangan. "Ini, Dok. Si Dilan kayak biasa—loh, kok bukan dokter yang laki-laki?"

Rona dan Agung refleks saling pandang.

"Hari ini jadwalnya dr. Rona, Bu. Dokter Beka hari ini libur."

"Ah, saya biasa sama dr. Beka. Kalau sama beliau obatnya cocok dan cepat sembuh," protes wanita itu tepat sebelum anak yang digendongnya merengek. Sepertinya anak itu meminta dibelikan sesuatu yang dijual di depan klinik. "Kenapa dr. Beka nggak ada? Biasanya juga saya berobat hari Jumat selalu sama beliau."

"Dokter Beka praktek hari Senin, Selasa, dan Rabu pagi, Bu. Kalau hari Jumat memang jadwal prakteknya dr. Rona."

"Ya, sudah. Suruh dr. Beka datang sekarang. Ini anak saya maunya cuma ditangani sama dr. Beka dan saya takut kalau sama dokter lain nanti obatnya malah merusak ginjal. Bisa, 'kan? Ditelpon sekarang biar cepat datang."

"Nggak bisa begitu, Bu. Dokter Beka kan punya kesibukan lain di luar jam kerja, nggak bisa tiba-tiba meminta beliau untuk datang—"

"Loh, saya ini langganan sama beliau. Dari saya hamil Dilan sampe anak saya sudah tiga seperti ini selalu sama beliau ...."

Berapa sih umurnya? batin Rona seraya memeriksa stiker identitas di pojok kanan atas lembar CPPT. Dua belas tahun!? Gimana ceritanya dia berobat ke Beka sejak hamil? Ngaco!

" ... saya di sini bayar loh, Mas. Bukan pakai BPJS. Seharusnya saya dilayani dengan baik dan diperiksa sama dokter yang sejak awal pegang Dilan. Kalau ganti dokter begini kan nanti jadi mulai dari awal." Wanita itu menoleh sekilas pada Rona, menatap dengan kerutan di dahi. "Saya maunya sama dokter yang laki-laki. Beliau sudah tau riwayat pengobatan anak saya, jadi beliau lebih paham cara mengobati Dilan."

Alergi parasetamol, riwayat kejang 1x usia 4,5 tahun, hordeolum sama dermatitis venenata ... baca Rona dari lembaran CPPT di bagian belakang. Mata Rona menyipit saat membaca catatan dokter pemeriksa yang sebelumnya menangani anak bernama Dilan itu. Tidak ada satu pun—dari dua kali riwayat berobat di klinik Hartal Medicia—tanda-tanda anak itu pernah diperiksa oleh Beka. Hanya satu kali diperiksa oleh dr. Luki dan satu kali oleh dr. Alexander Robyn.

Pelan Rona menghelakan napasnya.

"Begini saja, Bu," kata Rona berusaha menengahi karena telinganya mulai panas mendengar omongan wanita itu. Dia berdiri lalu menghampiri ke dekat pintu. "Sekarang kan jadwal praktek saya, kalau Ibu mau anaknya diperiksa sekarang, silakan. Saya akan periksa dan obati menyesuaikan riwayat pengobatan sebelumnya. Kalau maunya sama dokter yang laki-laki, silakan kembali hari Senin pagi. Di tempat ini ada jadwal masing-masing, jadi bukan berdasarkan panggilan atau by request."

"Jadi kalian nggak bisa telpon ke dr. Beka dan suruh beliau datang?"

"Iya, tidak bisa." Rona mengangguk pelan.

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang