Pasien No. 45

2.2K 237 32
                                    

He's tired and sleepy.

And hungry.

Dan untuk satu alasan yang tidak bisa dijelaskan, Beka merasa hari Senin ini berjalan begitu lama. Berkali-kali melihat jam, belum juga ada tanda-tanda sif kerjanya akan berakhir.

Kalau dihitung-hitung, masih ada tiga jam lagi sampai sif-nya selesai.

"Close aja, Pit," putus Beka yang sudah kebosanan menunggu di ruang jaga. "Udah nggak ada pasien yang ditunggu, 'kan?"

Pipit dan Bang Ramli yang sedang asyik menonton game show di TV kompak saling tukar pandang. Mereka berdua sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja Beka katakan.

"Nggak ada lagi, Dok. Terakhir Bu Rianti yang seharusnya konsul jam empat, tapi katanya nggak jadi. Mau besok pagi aja." Pipit memeriksa WA klinik di laptop untuk memastikan lalu membuka daftar antrian pasien di aplikasi rekam medis. "Iya, udah nggak ada yang registrasi online."

"Good. Close sekarang, gue mau nyusul Rona. Bang, gerbang langsung tutup, ya," pinta Beka seraya mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Kalo ada pasien suruh ke klinik sebelah aja atau langsung ke IGD kalo emergency."

"Kalo Bu Bos yang tanya gimana, Dok?"

"Biar gue yang minta izin. Lo sama Wanda siap-siap pulang gih, Pit." Usai memastikan bahwa pendaftaran sudah tutup, Beka mencari kontak Gadis. Dia menyempatkan mampir ke ruang periksa untuk mengabari rencana pulang cepat pada Agung.

"Halo, Dis. Klinik hari ini close lebih awal, ya? Gue mau nyusulin Rona—aman, kok. Dia lagi ngurus surat-surat sama nyicil ambil barang di kosan almarhum bapaknya, jadi gue mau ... hah? Ngapain?" Usai mencuci tangan, Beka mendorong pintu kamar jaga dengan punggungnya. Dibukanya masker dan hair cap seraya meraih tasnya di loker. "Nggak perlu. Kemarin gue sama Ganesa udah liat barangnya dan masih bisa diangkut di bagasi mobil. Yeah, of course. I'll let you know when she needs anything—iyaa, beres. Okay, thanks, Dis!"

Begitu semua barangnya telah rapih, Beka bergegas keluar kamar jaga. Tidak peduli dengan rambut yang masih acak-acakan, baju jaga masih menempel di badan, dan sandal ruangan yang masih dikenakan. Pria itu pamit pada staf klinik lain sebelum ke luar menuju mobil.

Dan begitu dia sampai di parkiran, ada sebuah mobil diparkirkan dekat dengan mobilnya.

"Bang, kan udah gue bilang suruh ke klinik sebelah," ujarnya pada Bang Ramli yang tengah menghampiri.

"Temennya Mba Pacar, Dok."

"Suruh balik hari Rabu sore."

"Katanya mau ngomong sama situ," bisik Bang Ramli dengan hati-hati. "Ituloh, temannya yang saya bilang pernah main ke sini untuk jemput—"

"Iya, tau. Ya udah, tutup dulu pagarnya, nanti makin banyak yang masuk nggak jadi-jadi gue pulang."

"Siap, Bos! Sambil nunggu situ ngomong sama temannya Mba Pacar, saya ngopi dulu, ya? Nanggung tadi ada rokok sisa sebatang—duh, apa ini? Repot-repot gini si Mas Pacar." Bang Ramli cengengesan sambil mengusap saku celananya yang baru saja diselipkan selembar uang oleh Beka. Tanpa menunda, pria yang lebih tua itu bergegas menutup pagar, memasang papan penanda 'TUTUP', dan berlari masuk untuk mengabari rekan kerja yang lain.

Sebelum menemui tamu yang ada di mobil, Beka mengamati mobil yang diparkir tepat di belakang mobilnya. Rasa-rasanya dia belum pernah lihat mobil itu sebelumnya. Plat nomornya pun tampaknya bukan plat yang dikenal.

Di tengah upayanya mengamati mobil tersebut, kaca belakang mobil sedan tua itu terbuka sedikit. Seseorang di dalam menggerakan tangannya, menyuruh Beka mendekat dengan menjentik jari beberapa kali.

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang