Pasien No. 26

3.8K 293 50
                                    

Sudah cukup lama Avery duduk bersandar di headboard tempat tidur sambil memeluk lututnya. Dia terus merenung tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Rona tahu Avery butuh waktu untuk sendiri. Hanya saja melihat kondisi sahabatnya yang biasanya penuh semangat dan terus mengeluh, tiba-tiba menjadi diam, jujur saja itu mengkhawatirkan.

Namun, setelah dipikir-pikir lagi, apa yang bisa dia lakukan?

Diajak bicara juga rasanya tidak mungkin, karena tidak ada yang bisa dibicarakan. Kalau dipaksakan yang ada malah menambah luka bagi Avery.

Dan juga luka bagi dirinya sendiri.

"Don't be egoist, Ron. This isn't about you," bisik Rona pada dirinya sendiri sebelum lanjut merapihkan meja dari tetesan air dan remahan makanan.

"I can't believe Issa did this ... did everything that lead to this mess."

Mendengar suara kecil Avery, Rona pun menoleh. Hanya sebatas itu yang sahabatnya katakan sebelum kembali terdiam dan duduk seperti patung. Dia kemudian mengumpulkan semua sampah yang dipungutnya ke dalam tempat sampah di dekat pintu.

"Gue yakin ada yang salah, Ron." Avery menyugar rambutnya frustrasi. "Nggak mungkin Issa sampe ngehamilin—dia lebih rajin beribadah daripada gue, dia juga selalu nasihatin gue supaya hati-hati sama laki-laki, he dated few times but he didn't do anything. Pasti ada yang salah, Ron."

Hati kecilnya ingin sekali menyetujui apa yang Avery ucapkan.

Dia kenal Issa dan tahu Issa seperti apa. Meskipun pada satu waktu, setelah dirinya dan Avery menjalani masa koas, komunikasi dengan Issa sempat terputus. And only god knows what he did during those times.

Rona sangat ingin meyakini bahwa Issa tidak bersalah dan ada sebuah kekeliruan. Entah hanya salah paham atau mungkin wanita itu—yang mengaku dihamili oleh Issa—memutuskan untuk menuntut Issa di tengah kegundahannya saat mengetahui dirinya hamil.

What if it happened to me?

Lagi-lagi Rona harus menggeleng untuk menyingkirkan pikiran egoisnya. Ini bukan waktunya untuk memikirkan dirinya dan berandai-andai bagaimana jika dia yang ada di posisi wanita itu. Sekali lagi, dalam hatinya Rona mengingatkan, ini bukan tentang dirinya.

"Rona."

Rona dan Avery sontak menoleh ke arah pintu saat seseorang mengetuk sambil memanggil beberapa kali. Avery langsung bergegas masuk ke kamar mandi, membiarkan Rona yang menemui si tamu.

"Y, ya? Kenapa, Gen?" Pintu dibuka hanya sedikit. Minimal Rona bisa melihat wajah Ganesa dari celah yang ada.

"Sorry, I didn't mean to scare you ... " Ganesa mundur selangkah, tubuhnya menyerong untuk memperlihatkan seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu masuk, " ... ada yang nyariin."

"Siapa?"

"Katanya omnya Avery," lapor Ganesa dengan suara yang cukup keras sehingga bisa didengar oleh si tamu. "Om ... siapa tadi? Om Burhan, ya?"

Pria pendek berkumis itu mengangguk dan tampak tersenyum ramah. "Siang, Mbak Rona. Bisa bicara sebentar?"

"B, bisa. Sebentar saya ganti baju dulu," kata Rona mencari alasan lalu menutup pintu. Sebelum pintu benar-benar menutup, dia sempat mendengar Ganesa berbisik, 'I'll be here, be careful.'.


✿✿✿


"Silakan duduk dulu, Pak." Ganesa mempersilakan pria bernama Burhan itu untuk duduk setelah merapihkan bantal sofa dan menyingkirkan bungkus makanan yang berserakan. "Di sini ada aturan kalau menemui tamu harus berpakaian rapih dan sopan."

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang