Pasien No. 10

4.8K 358 36
                                    

"'Sister'." Seseorang terdengar mengulang apa yang baru saja Beka katakan sebelum seisi ruangan kompak berseru, "hi, Rona!"

Canggung, Rona pun menanggapi dengan sebuah anggukan kecil. Karena tidak bisa berkata apa-apa, dia pun memaksakan sebuah senyuman. Begitu semua orang kembali menatap ke depan, Rona kembali melotot.

Pada Beka.

Yang di depan sana terlihat menikmati waktunya untuk bisa memperhatikan Rona.

Menyadari Beka masih melirik ke arahnya, Rona segera memegangi tulang selangkanya. Dengan gerakan kecil yang terbatas, dia menarik garis membentang di lehernya dengan jari telunjuk.

Pria itu pun berdeham sebelum mengedarkan pandangannya yang kemudian tertuju pada dr. Alexander. Sepertinya pria itu tengah mengatakan sesuatu dan ditimpali oleh dr. Mahesa yang sejak tadi diam.

Pria berkacamata di depan sana melanjutkan pidato singkatnya, tetapi Rona bisa menangkap gerakan Beka yang tiba-tiba memegang pinggangnya lalu menggerakan dua jarinya tepat di atas band ikat pinggang.


✿✿✿



'You're dead.'

'Okay.'


✿✿✿



| Setan Kosan KB: 5mins top
| Setan Kosan KB: Ron im sorry

Rona meluruskan kakinya sembari duduk di pinggiran pendopo. Setelah pulang dan ganti baju dia langsung mengabari lokasi di mana dirinya dan Beka akan bertemu untuk bicara. Karena Rona sudah malas untuk bepergian, akhirnya dia memilih untuk bicara di kosan.

Sesuai apa yang dijanjikan, Beka tiba dalam lima menit setelah pesan terakhir terbaca. Pria itu tidak peduli dengan jaket serta helm yang masih dikenakan dan langsung menghampiri Rona di pendopo.

"Gue tau lo mau ngebahas apa—"

"Lepas dulu helm sama jaket lo."

"But you want to—"

"Emangnya nggak panas?" sela Rona untuk kedua kalinya sambil menyodorkan sebotol air mineral pada lelaki yang berdiri di hadapannya. "Gue yang ngeliat ikutan pengap."

Patuh Beka menuruti keinginan Rona. Dilepasnya jaket dan helm yang kemudian dia letakan di antara dirinya dan Rona. Setelah menenggak air mineral pemberian Rona dan menenangkan diri, barulah ia kembali berujar, "gue minta maaf, Ron."

Rona tidak merespon.

Dia menghelakan napasnya lalu terdiam menatap kakinya yang bergerak terayun.

"Gue nggak suka sama Bu Mul," aku Rona terang-terangan. "Dia cuma perawat di klinik itu, bukan pimpinan atau owner. Ngegaji gue pun nggak, tapi gayanya kayak yang paling sempurna di dunia."

"Don't get me wrong. Gue mau kok belajar dan menerima kritik ataupun saran kalau memang itu bisa membantu gue bekerja dengan lebih baik. It's just ... I don't like the way she yelled at me." Rona melanjutkan, "kayak yang dia bilang, gue orang baru yang masih perlu belajar dan adaptasi. Sejatinya, orang baru itu harusnya dibimbing supaya bisa. Dia kira dengan marah-marah kayak gitu gue otomatis bisa pelayanan dengan baik?" Rona menghelakan napasnya dengan keras. "Sampe kapan sih senioritas kayak gini bakal terus ada? Gue kira begitu keluar dari ULILA, semuanya bakal lebih baik. Nyatanya sama aja."

"Senioritas my ass!" umpat Rona sambil memukul lantai pendopo yang didudukinya. Dia terdiam lalu tiba-tiba menoleh ke arah Beka. "Lo juga! Gue udah capek sama Si Mul Nggak Jelas, malah lo tambahin drama ngaku-ngaku kakak-adik. Nggak bisa ya, Bek? Sekali aja lo nggak nambah masalah di hidup gue? Emangnya nggak cukup bikin gue jadi bulan-bulanan waktu koas?"

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang