Pasien No. 54

3.2K 327 134
                                    

"Kalau begitu kami pamit dulu, Nak Ganesa. Kabari saja perkembangannya bagaimana, ya?"

Ganesa mengangguk dan menunggu sampai Pak RT serta Pak RW pergi dari gedung kosan barulah ia bisa menutup pagar. Begitu pintu tertutup rapat, bahunya melorot.

"Maaf, Gen. Karena gue semuanya jadi kacau begini."

Rona sejak tadi berdiri mendampingi Ganesa dan Pak RT. Dimulai saat melerai Beka hingga akhirnya mereka berhasil menyuruh keluarga Rona untuk pergi dari wilayah mereka. Bahkan Rona pun sudah memberikan keterangan pada Pak RT tentang kondisi sebenarnya dan berjanji hal seperti ini tidak akan terulang.

"Kok jadi elo yang minta maaf?" Ganesa bertolak pinggang. "Jelas-jelas mereka yang cari ribut duluan. Lagian kita semua sepakat emang keluarga lo wajib dipukulin minimal sekali seumur hidup."

Pria itu merangkul bahu Rona, mengusapnya beberapa kali, lalu menepuk kepala Rona. "Sorry, ya. Dari tadi gue nemenin lo ngadepin mereka, tapi nggak bisa nolong apa-apa. And I'm sorry you need to hear those cruel things. Merasa gagal gue sebagai pemilik kos yang nggak bisa melindungi warganya."

"I'm used to it," aku Rona sambil lalu. "Dari kecil bokap nitipin gue ke mereka. Sindiran dan omongan kayak gitu udah biasa gue dengar. Tante Siska, yang pake hijab kembang-kembang—"

"Mereka semua pake hijab kembang-kembang," sela Ganesa mengingatkan.

"—ah, right. Yang anaknya minta minum es teh." Ganesa terlihat mengangguk. "Dari dulu dia emang selalu minta dilayani. Jangankan bikin minum, potong kuku aja nyuruh gue. Dan seumur-umur, baru tadi dia nyebut nama gue. Biasanya cuma 'Eh!', 'Lo!', atau 'Heh, Anak Haram!'. Kadang kalo lagi PMS suka main tangan juga."

Mendengar cerita dari Rona, Ganesa meringis. "And you, just now, sounded like it never happened. Kok bisa lo se-chill ini, Ron? Kalo jadi elo kayaknya mereka gue siram satu-satu pake air comberan."

"Like I said; it's not worth it," ulang Rona sambil menggeleng. "Orang kayak mereka nggak akan inget dan sadar pernah nyakitin orang lain. Liat aja buktinya mereka ke sini menuntut hak, seolah-olah nggak pernah ada apa-apa. Ngebales orang kayak gitu cuma buang-buang energi dan waktu."

Dengan satu helaan napas, Rona menyudahi obrolan mereka. "Gue cuma pengen hidup tenang dan jauh dari orang-orang kayak mereka, that's why I moved here," tutupnya sebelum bersama Ganesa menghampiri Beka dan Jacob di lantai atas.


✿✿✿


Di lantai dua, Beka sedang mengobati luka di tangannya. Ditemani oleh Jacob yang sedang memangku kotak P3K.

Menyadari Rona sudah tiba, Beka langsung menunduk dan merebut kapas yang telah dibasahi cairan NaCl 0,9% untuk membersihkan luka.

"Jack, c'mon! Bantuin gue beresin meja di bawah," ajak Ganesa yang berdiri di belakang Rona. Ia melotot pada Jacob dan gerak tangannya sudah terlihat ingin buru-buru meninggalkan Rona dan Beka. Jacob menurut saja dan langsung diseret Ganesa turun.

"Gue nggak mau minta maaf." Belum apa-apa, Beka sudah membela diri begitu Ganesa dan Jacob terdengar menuruni tangga. Sepertinya ia tahu apa yang akan Rona bicarakan. "Tapi kalo mereka nuntut ganti rugi biaya pengobatan, I'll pay everything."

"Dengan ngebayar biaya berobat, lo kira semua selesai?" Kedua tangan Rona bersilang di depan dada. Dia hanya diam memperhatikan bagimana Beka membersihkan lukanya dengan kapas basah. "Emangnya lo kira tipe manusia kayak om gue ... nggak, gue ralat ... tipe manusia kayak keluarga gue bakal jujur berobat ke ahlinya, bawa bukti bayar, lalu setelah lo transfer uangnya mereka akan, 'Wow! Terima kasih, Bakti Kharisma. Kami sangat terbantu. Mari kita lupakan semua ini pernah terjadi.', gitu? Se-naif itukah pandangan lo terhadap keluarga gue?"

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang