Epilogue : Chapter 2

782 128 32
                                    

Wriothesley terbangun dan menatap langit-langit kamarnya dengan mata yang setengah mengantuk. Ia perlahan menoleh dan menatap wajah [Name] yang masih tertidur lelap.

Wajahnya pagi ini terlihat lebih baik daripada kemarin, terlebih dengan wajah tersenyum dan matanya yang terpejam itu. Wriothesley menatap wajah istrinya beberapa saat dengan hangat, kemudian dengan tenang dan hati-hati menarik selimut kearahnya, mengecupnya singkat lalu bangun dari ranjangnya.

Pria itu mengenakan mantel, berjalan perlahan dan pergi menuju dapur.

Sejak ia menikah dengan [Name], Wriothesley sudah menyiapkan Mess khusus untuk mereka berdua di dalam Benteng Meropide layaknya rumah sederhana untuk keluarga kecilnya.

Saat Wriothesley sedang menyiapkan sarapannya, memotong-motong sayur di atas nampan, tiba-tiba sebuah kata terucap dalam benaknya.

Anak.

Sejak pembicaraan dan pertanyaan memiliki anak muncul ke permukaan, dia mulai takut. Ia takut itu akan membebani istrinya dan membuatnya semakin khawatir.

Sejujurnya Wriothesley sendiri berpikir jika melahirkan dan membesarkan seorang anak akan memberikan arti yang lebih dalam untuk kehidupannya apalagi jika anak itu tentunya akan sangat mirip dengan [Name], dia pasti akan sangat bahagia dan merasa hidupnya akan sempurna. Namun di waktu yang sama ia juga mengkhawatirkan hal lainnya.

Wriothesley tidak pernah memiliki keluarga.

Keluarga yang seutuhnya, orang tua yang mencintainya dengan sungguh-sungguh, saudara yang memperhatikannya. Dia tidak memiliki semua itu, ia sendiri tidak tahu bagaimana wajah orang tua kandungnya dan bagaimana mereka memperlakukannya sebelum dia bertemu "orang tua" angkatnya di panti.

Saat ia memikirkan bagaimana rasanya menjadi orang tua—seorang Ayah—dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan itu membuatnya takut karena dirinya berpikir, bagaimana jika dia gagal lalu membuat anaknya membenci dirinya seperti ia membenci kedua "orang tuanya"? Perasaan buruk langsung menyerangnya saat itu juga.

Di samping itu, Wriothesley juga tidak bisa berhenti membayangkan hari-harinya yang lebih bahagia jika malaikat kecil itu muncul diantara keduanya.

"Umm... masakan Yang Mulia enak ssperti biasanya!"

"Begitu?" Wriothesley tersenyum sumringah. "Apa kau baik-baik saja? Tidak merasakan sakit?"

[Name] menggeleng. "Aku baik-baik saja, tidak mual sama sekali."

"Mual?"

"Ah, terkadang aku merasa kurang nafsu makan dan mual," jawabnya. "Tapi kurasa sekarang sudah baik-baik saja."

"Kau yakin baik-baik saja? Tidak apa-apa kalau kau ingin beristirahat dulu untuk hari ini."

"Iya, tidak apa-apa. Jadwal Yang Mulia hari ini sangat padat, aku harus membantumu."

"[Name]...." Ekspresi cemas Wriothesley tidak berubah. Ia menghelakan napasnya pasrah. "Kau ini masih sangat keras kepala sekali, ya? Baiklah, tapi jika kau merasa letih atau mual, langsung beristirahatlah di Klinik."

"Baik, Yang Mulia."

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

"Duchess, apa kita bisa bicara sebentar?"

Saat Navia mengakhiri percakapannya dengan Wriothesley setelah menyerahkan laporan logistik padanya, wanita itu menoleh pada suaminya yang langsung dibalas dengan anggukkan.

[Name] pun keluar dengan Navia dari kantor Duke, lalu saat itu pula ia bertanya dengan ekspresi berharap cemas, "maafkan aku, [Name]. Saat itu aku tidak bermaksud...."

✅️ [21+] I'll Taming the Duke and Marry Him! | Wriothesley x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang