Dingin
Marsha mencengkram erat tangan nya di dalam saku varsity berwana hitam yang saat ini ia kenakan. Kaki nya masih enggan untuk berhenti berjalan, hari ini sudah ketiga hari nya ia tak pulang, mungkin saat ini ibunya sudah sibuk mencari atau bahkan melaporkan kehilangan nya ke polisi setempat. Rasa bersalah mulai menyelimuti hatinya tapi berkali kali hati nya berucap kata maaf karena lebih memilih orang yang ia cintai dibandingkan dengan ibu kandung nya sendiri.
Hhh..
Helaan nafas itu lolos berbarengan dengan sesak di dada Marsha karena terus mengingat ibunya.
Mata Marsha menatap sebuah toko tempat pertama kali ia melihat sosok ayah nya yang keluar bersama Freya malam itu. Lagi-lagi sesak itu terasa nyata di hati Marsha, bagaimanapun ia merasa telah kalah telak dengan keluarga baru yang saat ini dicintai ayah nya.
"Sejauh ini aku bisa tanpa ayah, tapi kenapa kali ini rasanya benar-benar sakit" lirih Marsha.
Hubungan yang tak erat dengan sosok sang ibu, mencintai sosok yang tak pernah bisa diakui siapapun, harus terima kenyataan jika ayah nya lebih memilih mencintai keluarga lain, begitu sosok Marsha yang rapuh di balik tatapan nya yang selalu dingin dan hanya satu orang yang bisa peka dengan arti tatapan menyedihkan nya itu. Hanya Zee.
Marsha menendang krikil kecil, mencoba mengalihkan kegelisahan nya malam ini tapi hasil nya terasa nihil sampai ia tak sadar sudah berjalan cukup jauh sejak tadi.
Diatas jembatan tempat pertama kali ia bertemu Adel. Marsha tertawa kecil, ia teringat saat pertama kali Zee marah padanya karena ia dan Adel berada di satu kamar yang sama. Langkah Marsha terhenti, ia bersandar pada jembatan itu sekedar untuk merasakan hembusan angin yang cukup kencang malam ini.
"Hiks.."
Marsha menoleh, tak jauh darinya tampak seorang perempuan naik dan berdiri di pagar pembatas. Jelas Marsha tau dan paham apa yang akan di lakukan gadis itu, tapi semakin ia amati sepertinya wajah gadis itu sangat tak asing untuk nya.
"Hidup gue udah berakhir! Gue benci semua nya! Gue benci!!! Akhh..."
Marsha berhasil menarik tubuh gadis itu, walaupun ini adalah hal yang cukup merepotkan untuk nya bahkan hingga tubuhnya harus rela tertimpa gadis jangkung itu yang cukup berat untuk nya itu.
"Lo gila!" Teriak Marsha sambil bersusah payah ia untuk bangun.
Gadis itu menyeka air matanya, tapi selanjutnya menarik jaket Marsha dengan tatapan tajam nya.
"Lo apa-apaan hah! Gue mau mati.. kenapa lo tari gue!!"
Plaaaak...
Tamparan keras itu melayang di pipi gadis tadi, entah keberanian darimana Marsha dengan gampang nya melayangkan tamparan yang keras untuk nya, bahkan rasanya tangan Marsha pun kebas saat ini.
"Walaupun gue ga kenal lo tapi gue..." Marsha menghentikan kalimat nya saat sesak itu terasa lagi di dadanya.
"Tapi gue ga mau bokap gue sedih karena anak tiri kesayangan nya mati"
Suara Marsha bergetar, jelas sangat terlihat jika ia berusaha mati-matian untuk tidak menangis, walaupun tatap ada air mata yang memaksa untuk keluar.
Gadis itu adalah Kathrin, dengan pipi yang memerah dan masih terasa sakit ia hanya diam, memandang Marsha yang kini sudah berlinang air mata.
Sebuah mobil berhenti di belakang Marsha, membuat Kathrin dapat melihat dengan jelas siapa orang yang turun dari mobil itu.
"Astaga nak, kamu disini"