Kamu punya kalung seperti ini?
Engga Tante, tapi aku pernah liat seseorang pakai itu
Shani mengetuk ngetuk jemarinya di atas meja lebar penuh kaca yang menjadi meja kerja nya, pikiran nya melesat jauh dan rasanya sangat tak nyaman di hatinya.
"Aku sudah berharap banyak padanya dan tak pernah terbesit sedikitpun jika anak yang aku cari itu bukan dia, apa wajar jika aku kecewa Git"
Gita hanya diam, mendengarkan setiap keluh kesan Shani adalah pekerjaan nya sehari-hari.
"Hasil tes DNA nya masih belum keluar Bu, kita masih punya harapan, lagi pula jika Bu Shani sudah menyayangi Zee apa salahnya jika ibu mengadopsi nya"
Shani beranjak lalu berjalan menuju jendela kaca, menatap kosong kearah bangunan-bangunan tinggi di luar sana.
"Yang aku mau hanya anak kandung ku, aku menyesal telah membiarkan Ayah membawa anak ku, hidup ku tak tenang selama ini Git"
Gita menatap nanar punggung Shani, sosok yang sudah ia kenal bertahun-tahun dan ia sangat paham melebihi siapapun tentang Shani. Shani bisa menjadi sosok yang kejam bagi lawan bisnis nya tapi jauh di lubuk hatinya ia sangat berhati lembut.
"Aku akan cari gadis pemilik kalung itu"
****
"Bagaimana Zee? Kenapa bisa jadi seperti ini"
Zee menunduk tak berkata sepatah kata pun, sementara Shania terus menatap nya menunggu jawaban yang logis dari mulut Zee.
"Nilai mu turun drastis, ini bisa mempengaruhi beasiswa kamu tahun depan Zee, ada apa? Kamu bisa cerita pada ibu kalau kamu ada masalah" Shania mengusap halus telapak tangan Zee. Baginya ia bukan hanya seorang wali kelas saja tapi juga ibu untuk anak-anak nya di sekolah terutama Zee, anak yang selalu menuruti dan mendengarkan saran nya.
"Aku cuma kurang belajar bu, maaf"
Shania terdiam, semenjak Ayah nya Zee meninggal ia memang sudah merasakan penurunan nilai Zee walaupun tidak terlalu parah, di hatinya masih ada rasa iba sekaligus kagum pada Zee yang kini hanya tinggal seorang diri.
Sementara Marsha saat ini tengah gelisah, mendengar kabar jika Zee dipanggil ke ruang guru membuat hati nya cemas.
Zee keluar dengan lesu, Marsha dan Adel langsung saja menghampirinya.
"Ada apa?" Tanya Marsha, Zee hanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya
"Di tegur ya lu gara-gara nilai nya jelek"
Tepat sasaran, Adel memang sangat blak-blakan tapi kali ini ucapan nya memang tepat.
"Emang iya Zee?" Marsha semakin khawatir, ia jadi teringat perkataan Ashel saat itu.
"Engga, ngaco.. udah ah, aku mau ke perpus daah.."
"Eh ta..pi.." Marsha tak bisa menghentikan Zee karena ia sudah berlari begitu saja membuat pikiran nya kembali menerka-nerka.
"Udah biarin aja, sedeket apapun lo sama Zee, biarin dia punya privasi sendiri juga, kalau waktunya tepat gue yakin dia pasti cerita sama lo" ucap Adel yang mengerti dengan rasa khawatir Marsha.
Marsha hanya mengangguk walaupun hatinya tetap gelisah.
Saat ini bertambah sudah beban pikiran Zee, dalam diam nya ia terus berfikir kenapa masalah datang secara bertubi tubi.
Putus sekolah bukan hal yang sempat ia bayangkan seburuk apapun kondisinya Zee adalah seorang yang tak pernah mau mengabaikan pendidikan nya."Kenapa?"
Ternyata Ashel cukup peka dengan kondisi Zee, jelas saja karena sejak tadi Zee hanya diam menatap kosong pada buku di hadapan nya.