HAPPY READING
***
Wanita mana yang tidak panik jika mendapat kabar jika suaminya yang jauh disana sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Saat menerima telepon tadi Kaira baru saja selesai melakukan konsultasi dengan keluarga pasien. Niat hati ingin minum malah dapat telpon dari nomor tidak dikenal.
Kaira sempat tidak percaya tadi, dia juga takut jika ternyata itu modus penipuan. Banyak bertebaran di internet tentang berita yang satu itu. Tapi ternyata rasa takutnya tidak sebanding dengan ketakutannya berita sakitnya Fariz itu benar adanya.
Kaki Kaira sampai seperti jelly saking lemasnya.
"Dok ... sampean kenapa?" Suster Tere bertanya. Wanita paruh baya itu ikut berjongkok, memegang bahu Kaira dengan raut wajah khawatir.
Kaira yang masih lemas dan tubuhnya juga bergetar hanya diam. Dia masih berusaha mengontrol dirinya. Seumur hidup dia belum pernah sepanik ini mendengar atau menangani orang sakit.
"Dok ... ayo bangun dulu. Kita duduk di dalam dulu." Yang Suster Tere maksud dalam itu ruangan khusus pegawai.
"Sus tolong siapkan brankar buat di bawa ke depan, ada—" ucapan Kaira tercekat dengan tangis. Tanpa dikomando Suster Tere langsung mendekap tubuh Kaira.
"Tenang dulu dok, kuasai diri sampean dulu ..." kata suster Tere sembari mengusap-usap punggung Kaira. Setelah dirasa Kaira mulai tenang dia baru bertanya lagi. "Kerabat dokter Ara ada yang sakit dan sudah dalam perjalanan kemari?" tanya suster Tere menebak.
"Suami saya sus, dia demam tinggi. Tapi tadi sudah minum panadol. Kayaknya lambungnya juga bermasalah, dia—" belum sempat Kaira melanjutkan ucapannya mobil Fariz sudah terlihat. Di Depan pintu IGD kartu Sinyo sudah siaga.
"Dokter Ara tenang dulu. Suami sampean bisa di pegang dokter Boy." Suster Tere memapah Kaira untuk bangun dan berjalan mendekati Fariz. Fariz yang tak sadarkan diri diangkat ke brankar hingga memasuki ruang IGD semua nampak jelas dipandangan Kaira.
Kaira yang tidak siap melihat itu hingga nyaris terhuyung ke belakang. Untung suster Tere masih merangkulnya.
Dipapah Suster Tare Kaira mendekat. Wajah pucat Fariz yang layaknya mayat hidup membuat tangis Kaira semakin deras lagi. Dokter Boy yang baru datang sempat melirik Kaira dengan bingung sebentar, lalu balik pada si pasien.
"Kenapa ini sus?"
"Demam dok, tadi sudah sempat diberi paracetamol—"
"Sekitar lima belas menit yang lalu." Kaira memotong.
"Dugaan dokter Ara asam lambung juga dok—"
"Suhu nya 41.5 dok. Tensinya 80/50."
"Wah tinggi sekali ini demamnya. Ada riwayat hipotensi kah?"
Kaira menggeleng—dia tidak tahu. Yang ditangkap dokter Boy menggeleng nya Kaira artinya tidak. "Tapi akhir-akhir ini dia jarang istirahat dok. Makan juga gak teratur, banyak pikiran juga."
"Wah ya ini ni—sudah pasang infus, mondok. Minta orang analis cek darahnya. Tipes ini ... " Lalu dia menoleh pada Kaira lagi. "Gak papa dok. Aman—" dokter Boy menjeda ucapanya, suster Tere yang paham meluruskan, "suami dokter Ara dok."
Dua detik, lima detik, sepuluh detik mereka sama-sama diam. Tapi ketika mencapai hitungan ke lima belas Karu Sinyo yang sedang pasang infus di tangan kiri Kaira menoleh dan berteriak. "SUAMI?" katanya.
Kaira yang fokusnya ada pada Fariz hanya diam tidak menjawab. Suster Tere yang mengangguk. "Saya juga gak percaya waktu dokter Ara bilang tadi. Tapi lihat paniknya beliau saya yakin saya gak mungkin salah dengar."
Mereka hanya bisa ternganga-nganga berusaha percaya.
***
"Saya baik-baik saja Kaira," kata Fariz. Ini entah sudah yang keberapa kali. Tapi Kaira masih saja diam, meski sudah berhenti menangis tapi ia tetap bungkam sembari memegangi tangan kanan Fariz. Wajahnya ditenggelamkan disana.
Seperginya para rekan Kaira, Fariz memang langsung membuka mata. Tadi dia tidak pingsan, hanya terpejam karena sudah tidak sanggup sekedar buka mata saja.
"Kaira ... kamu dengar saya?"
Kaira mengangguk. "Tatap mata saya kalau dengar."
Perlahan Kaira mengangkat kepalanya, dia menatap Fariz dengan mata yang sudah sebesar biji kenari. "Kenapa nangis, hem?"
"Gara-gara Ara Mas Ariz sakit gini ..." menangis lagi—Kaira mengeluarkan air matanya lagi.
"Hei, kenapa nangis lagi. Saya gak papa Kaira." Fariz yang panik berusaha mengulurkan tangannya yang terbebas, ingin menggapai wajah istrinya yang kembali basah dengan air mata. Tapi sayang tenaganya ternyata belum ada.
Kaira menggeleng—tidak sependapat.
"Hapus air mata kamu! Saya tidak suka melihatnya." Titah Fariz. Buru-buru Kaira mengusapnya dengan kasar. Takut dibentak atau dimarahi Fariz lagi.
"Kamu se-khawatir itu lihat saya kaya gini?" Kaira mengangguk. "Tapi saya gak papa Kaira. Saya baik-baik saja."
"Tapi Mas kena maag, tipes juga." Hasil cek darah sudah keluar lima menit yang lalu. Hasil positif dan itu semakin membuat Kaira merasa bersalah. "Apa yang Mas rasain sekarang?"
Fariz diam sesaat, pria itu nampak menimbang-nimbang. Mungkin merasakan dulu. "Pusing, tapi sudah tidak sepusing tadi. Mual tapi gak bisa muntah. Dingin juga sama badannya sakit-sakit." Padahal Fariz sudah mengenakan selimut milik Kaira yang memang ditinggal di lokernya tapi dia masih merasa menggigil.
"Mas pasti belum makan kan? Ara beliin makan dulu ya?"
"Kamu sendiri sudah makan?"
Kaira justru mematung, Fariz sampai mengulang pertanyaannya. "Kamu sudah makan?" ulang Fariz.
Kaira menggeleng, dia memang belum sempat makan. Jatah makan malamnya dia simpan di kotak bekal tadi, niatnya ingin dimakan agak malaman karena pasien hari ini ramai. Tapi justru dia lupa ditabrak kondisi Fariz yang memperhatikan.
"Ya sudah sana keluar. Isi perutmu dulu baru rawat saya lagi. Kalau tidak hubungi pak Manut, minta tolong beliau belikan kalau kamu tidak tega ninggalin saya."
Percaya diri sekali suaminya ini, tapi Kaira juga tidak mengelak nyatanya ya memang begitu.
"Pak Manut emang masih di sini mas?"
Fariz mengangguk. "Tadi saya suruh beliau tunggu disini. Takut-takut kamu butuh sesuatu. Kunci mobil saya juga masih sama beliau." Fariz menjelaskan. "Telepon saja, handphone saya—" Fariz meraba saku celananya. Mengulurkan benda persegi itu dari dalam sana setelah susah payah mengambilnya. "Namanya pak Manut. Sandi ponsel saya tanggal pernikahan kita."
Kaira membeku, dia menatap Fariz. "Cepat ambil Kaira saya tidak mau kamu ikut-ikutan sakit juga. Siapa yang urusi saya nanti kalau kamu ikutan sakit."
Bersengut-sengut, kesadaran nya kembali. Kaira mengambil alih benda itu dan melakukan perintah Fariz.
Fariz yang melihatnya menarik sudut bibirnya simpul. Dia tidak menyangka ternyata semenyenangkan ini meski hanya melihat istrinya yang merajuk. Bolehkah kali ini Fariz berharap Tuhan?
To Be Continued
____________Hari ini habis guys, besok lagi yoo. See you🥰

KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)
Romance❌️SUDAH REVISI❌️ Banyak yang berubah guys jadi yg mau baca ulang dijamin tetep dugun-dugun. Buat yang belum pernah baca cus merapat. Dijamin gak akan ada ruginya. Justru nagih Kalau gak percaya coba aja😋 ______________________ Disandera oleh trauma...