RCDD | 3. Keputusan Kaira

41.6K 1.5K 10
                                    

HAPPY READING GUYS

***

Silfi baru benar-benar menemui putrinya setelah selang waktu sepuluh menit, ia memilih menenangkan hatinya yang terguncang lebih dulu sebelum akhirnya menyampaikan berita mengejutkan itu pada Kaira.

Di depan pintu berwarna putih tulang yang tertempel tulisan "ARA ROOM" besar-besar, Silfi menghembuskan napasnya berulang. Tangannya sudah memegang gagang pintu sejak tiga menit yang lalu. Setelah melafalkan Basmalah akhirnya mantap Silfi mengetuk daun pintu itu sebanyak tiga kali dan membukanya setelah terdengar suara nyaring putrinya dari balik pintu.

"Masuk aja Ummi, gak Ara kunci kok pintunya!" Ujar Kaira dari dalam kamar, sedikit meninggikan suaranya. Gadis itu belum beralih dari posisi duduknya, bahkan menoleh pun tidak. Hanya mulutnya saja yang bersuara.

KREKK! Disusul Silfi yang kepalanya menyembul dari balik pintu."Ummi mengganggu ya?" Dia bertanya basa basi. Barulah dia masuk dan menutup pintu lagi.

Kaira menggeleng cepat, menoleh dan menatap Silfi, kepalanya sedikit menunduk karena pandangannya terhalang oleh kacamata baca yang sudah melorot hingga menutupi hidungnya.

"Enggak kok Ummi, Ara cuma lagi baca-baca aja. Ada apa ya Ummi?"

Silfi duduk di pinggir ranjang tidur Kaira menghadap Kaira yang sedang duduk di kursi depan meja kerja.

"Emm—" Silfi mendehem panjang, ragu-ragu ingin mulai bicara.

Kaira menautkan kedua alisnya, keningnya berkerut, kemudian ia melepas kacamatanya dan meletakkannya di atas meja. "Ada apa Ummi? Ada sesuatu?" Runtun Kaira mulai curiga.

Silfi menarik napasnya dalam, wanita tua itu masih terlihat ragu-ragu. Bisa dilihat dari hembusan napas kasarnya. 

"Mmm ... sebelumnya Ummi mau minta maaf dulu sama Ara. Maaf ya sayang? Ini mungkin bakal bikin Ara kaget. Tapi, apapun yang Ara dengar dari Ummi selepas ini tolong pikirkan dulu baik-baik ya sayang?"

Kerutan di kening Kaira semakin menajam, tapi dia tetap manggut-manggut. Terdengar lagi helaan napas panjang dari Silfi. "Apa aku buat kesalahan hari ini?" Itu pikir Kaira saat ini.

"Putri Ummi sama Abi sudah dewasa sekarang. Sudah jadi dokter umum. Umurnya juga sudah 28 tahun, sudah siap buat membina rumah tangga."

Silfi lenggang sejenak. Ia menatap Kaira dalam, memindai setiap ekspresi yang putrinya tujukam. 

Tapi ekspresi Kaira masih sama. Tenang, meski juga terlihat bingung secara bersamaan.

"Tadi sebelum Ummi kesini, Abi sempat bicara sama Ummi, menyangkut Ara dan itu sudah mengganggu pikiran Abi selama satu bulan ini."

Kaira menegang seketika, dia mencengkram ujung bajunya erat-erat. Susah payah dia mengontrol agar Silfi tidak menyadarinya. 

"Satu bulan lalu, waktu Abi isi tausiah di Masjid Agung Semarang, ada jama'ah yang baru mulai hijrah. Sepasang suami istri ... beliau minta Abi carikan calon istri untuk putra tunggalnya yang gila kerja plus punya masa lalu yang buruk."

"Tapi Abi justru ada kecondongan buat menjadikan anak itu sebagai menantu Abi. Suami Ara kelak. Abi bilang Abi sudah salat istikharah selama satu bulan ini dan jawabanya justru hatinya semakin condong dan mantap." Jelas Silfi panjang lebar.

Kaira hanya bungkam, ekspresinya pias. Dia masih berusaha mencerna berita super dadakan ini. 

Mereka lenggang sangat lama, hanya denting jam dinding dan dengung AC yang mengisi kesunyian kamar girly ini. Perpaduan antara merah muda, putih dan kuning.

"Tadi Abi juga bilang Abi gak memaksa, justru jawaban Ara kata Abi final dari salat istikharah Abi selama sebulan ini. Mau atau enggak."

Kaira membuang napas sedikit keras, ia juga menggigit sebentar bibir bawahnya. "Ummi, mungkin Ara kelihatan gegabah kedengaranya kalau Ara jawab sekarang. Tapi Ara mau jawab sekarang Umi. Kayak yang Ummi bilang, Abi sudah salat istikharah selama satu bulan full ... jadi gak ada alasan lagi buat Ara ragu kan Ummi?" Silfi diam saja—tidak bisa menjawab.

"Abi orang yang beriman, yang Abi rasakan, dapatkan, itu gak bisa kita anggap remeh kan Ummi? Bisa jadi itu petunjuk dari Allah."

"Jadi, tolong sampein ke Abi kalau Ara terima dengan ikhlas dan kelapangan hati lapang tanpa paksaan." Ujar Kaira.

Silfi menegang, matanya membola, bibirnya kelu. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Demi Allah, Silfi tidak menyangka dengan jawaban Kaira.

Bukan ... bukan jawaban menerima tanpa ragu dari Kaira. Tapi kenapa harus secepat ini? Dia saja butuh waktu bermenit-menit untuk mencerna dan menerima berita mengejutkan ini. Tapi Kaira? Ah, otaknya seperti mati. 

Tanpa sadar bulir bening luruh juga di pipi kanan Silfi. 

Putrinya, gadis kecil yang akan ia anggap kecil selamanya ini sudah menjadi gadis dewasa dengan kelapangan hati yang seluas samudra.

Tanpa membuang waktu lama, setelah keluar dari kamar putrinya Silfi langsung membagi kabar gembira itu pada suaminya. Albi yang masih di tempat yang sama—mengaga karena apa yang Silfi sampaikan.

"Bi ... Abi ... Abi dengar Ummi bicara kan?" tegur Silfi karena Albi justru melamun.

Albi kembali ke daratan. "Eh, dengar Ummi. Abi cuma kaget aja." Jawabnya.

Silfi tersenyum simpul. "Ummi tadi juga kaget Abi, apalagi waktu lihat Ara justru seyakin itu seolah bukan hal yang besar."

"Mungkin sebenarnya putri kita juga kaget Ummi, tapi sungkan juga buat menolak. Semoga aja gak terpaksa."

Silfi manggut-manggut. "Aamiin." 

"Abi yakin Ara pasti punya alasan kuat makanya nerima gitu aja tanpa ragu Mi. Putri kita selalu jadi anak penurut Ummi. Abi kadang merasa berdosa."

Apa yang Albi katakan memang benar adanya. Kaira bukan anak yang pembangkang, gadis itu justru nyaris tidak pernah menolak permintaan kedua orang tuanya dengan alasan apa yang kedua orang tuanya putuskan untuk hidupnya itu adalah yang terbaik, dan ridho orangtua adalah separuh dari ridho Allah.

"Abi ... kalau misal Ara tiba-tiba berubah pikiran gimana?" tanya Silfi.

Albi justru terkekeh. "Gak masalah. Abi kan sudah bilang gak maksa Ummi."

"Tapi menurut firasat Abi, Ara bakal berubah pikiran gak?"

Albi menggeleng, senyumnya terbit begitu cerah. "Firasat Abi bilang sih enggak Mi. Dia sedih pasti ... tapi putri kita bukan orang yang mudah goyah. Masa bodo dengan waktu sesingkat yang kelihatan, atau dia mungkin nangis sampai sembab sekarang. Tapi Abi yakin dia sudah memikirkan matang-matang dan pasti punya alasan."

"Putri kita punya prinsip yang kuat Ummi." Imbuh Albi.

Silfi hanya mampu mengangguk sebagai akhir dari perbincangan mereka tentang Kaira.

Benar dugaan Albi, tidak melenceng sedikitpun. Di dalam kamar seorang diri, Kaira tengan menangis tersedu-sedu. Membenamkan wajahnya permukaan bantal untuk bisa meredam suara tangisnya. Ia tidak ingin kedua orang tuanya tahu jika ia menangis.

Kaira tidak menyesali keputusannya. Apa yang Kaira katakan pada Silfi itu sebuah kejujuran. Albi itu seorang ulama, orang beriman, orang shalih yang insyaAllah dicintai Allah. Firasatnya, mimpinya, itu tidak boleh dianggap sepele dan remeh. Ia juga tidak tahu kenapa ia menangisi semua ini jika bukan karena menyesal.

Kaira mendongak, mengibas-ngibaskan kedua tangan di depan wajah—dia menangis dalam diam.

"It's okay Kaira Qistina, ridho orang tua itu separuh ridhonya Allah. Keputusan Abi Ummi mustahil menyesatkanmu. Jalani dengan sabar, terima dengan hati yang lapang, dan percaya jika Allah tidak mungkin memberi sesuatu tanpa maksud didalamnya." Gumam Kaira di sela tangisnya.

To Be Contined
_____________

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang