RCDD | 8. Fariz Menyerah

30.2K 1.1K 2
                                    

HAPPY READING

***

Berbeda dengan Kaira yang tengah menyantap makan siangnya diiringi canda dan tawa, Fariz justru sebaliknya. Lagi-lagi ia harus menghadapi amukan beruang kutub. Alias kedua orang tuanya, yang tiba-tiba datang ke kantornya tanpa diundang.

Jika kemarin hanya Bian seorang, kali ini bersama Lina. Wanita itu sudah berceramah dari Sabang sampai Merauke, ke sana kemari dari A sampai Z sambil hilir mudik di hadapan Fariz dan juga Bian.

Sedangkan kedua pria itu hanya mampu memijat pelipis masing-masing sambil menghela napas panjang. Mau kabur tak bisa, menghentikan tak berani, bertahan lama-lama telinganya kok panas—kan serba salah itu namanya.

"Mama tu cuma gak mau kamu jadi jomblo bangkotan loh Nak ... Nak. Tolong ngertiin Mama dong ..."

"Mama juga tolong ngertiin Ariz dong Ma ... Ma. Siapa juga coba yang mau jadi jomblo bangkotan. Ariz loh masih muda, masih bugar."

"Bugar kok nggak nikah-nikah."

Loh ... loh ... apa hubungannya. Tapi Fariz tidak membantah. Panjang jika diteruskan. Ini saja sudah panjang. Lina kembali mengomel.

"Mama tu capek loh Riz. CAPEK. Capek hati, capek jiwa, capek mulut, capek telinga. Masak tetangga ada yang bilang kamu gay. Yang benar aja. Gak terima lah Mama."

BRUK! Suara tangan Bian yang membentur sandaran sofa. Ia mendadak lemas mendengar kata "gay" yang istrinya ucapkan tanpa filter. Dan Fariz sudah melotot maksimal di balik meja kerjanya. Sandaran tangan nya juga sempet meleset sedikit.

"Mama tu capek jawab pertanyaan tetangga. Malu juga Mama lama-lama. Bingung mau kasih alasan apa lagi."

"Bilang aja Ariz lagi sibuk-sibuknya kerja Ma. Banyak tender."

"Bos kok sibuk sampai gak sempet cari istri ... itu kata tetangga." Cibirannya Lina buat semirip mungkin dengan yang katanya dari tetangga itu.

Fariz menghela napas putus asa. "Ariz juga sebenarnya capek Ma. Tapi gimana hilal jodoh memang belum keterawang. Boro-boro jodoh, pacar aja gak nongol-nongol. Masih mendelep (tenggelam) dia."

"La wong gak mbok gali ya mendelep." (La orang gak kamu gali ya tenggelam). Lina mendengus. "Yang kamu lihat loh setiap hari cuma Tian, Tiara, kertas, laptop. Rumah aja jarang. Mau Mama jodohin sama Tiara kamu gak mau."

Lina memang sudah sering menjodoh-jodohkan Fariz dengan sekretarisnya. Cantik memang, sopan jika kata Lina. Tapi, sayang bukan tipe Fariz. Dia lebih suka yang Hot alih-alih yang lemah gemulai.

"Tiara tu kurang apa coba ... sudah cantik, baik, sopan, ramah—"

"Sudah punya calon suami dia Ma—" potong Fariz asal-asalan. Lina balik memotong. "La wong kamu kelamaan, terus gak mau juga ya dia cari orang lain lah."

"Tiara pacaran sudah lama Ma." Bantah Fariz sok tahu. Lina tidak bisa membantah. Kuncup, lima detik. "Mama cariin kamu jodoh ya? Mama sakit mata kalau lihat kamu gini terus. Sakit telinga juga."

"Sakit mata sama telinga ya ke dokter THT to Ma ... Ma ..." Bian menyambar. Mendapat tatapan tajam dari Lina detik itu juga. Buru-buru dia memperagakan tangan mengunci mulut. 

Fariz bedecak nyaring. "Ma, kapan sih Mama biarin Ariz tenang. Berhenti buat bahas soal nikah, nikah, nikah mulu. Ariz pusing Ma dengarnya." Keluh Fariz mengharap belas kasih.

"Nunggu Mama mati baru Mama bisa berhenti. Kayaknya kamu juga nunggu Mama sekarat dulu kok baru mau ngabulin permintaan Mama."

Mati lagi mati lagi. Kok muak lama-lama Fariz dengarnya. Kobaran api amarah sudah terpancar jelas di wajah Fariz. Tapi Lina tak ada takutnya. Dia masih bersikukuh dengan argumen dan keinginannya.

"Kenapa sih Mama selalu bilang itu terus, itu lagi. Lagi pula apa kaitanya coba Fariz nikah sama Mama kenapa-kenapa?"

"Jadi kamu beneran mau Mama cepet mati?"

"MA—"

"Ya sudah makanya nurut."

"Nurut buat cepet nikah? Cari dimana Ma?"

"Ya cari di mana aja lah. Kalau kamu ngerem (mengerami) mulu ya gak akan ketemu. Mama bantu cariin."

"Maksud Mama, Mama mau jodohin Ariz?" Tuduh Fariz tepat sasaran. Tanpa takut Lina mengangguk mantap.

"Apa? Mau bilang apa?" Lina menantang, ketika Fariz sudah mau angkat suara lagi—membantah. Ia berkacak pinggang. Kepalanya sedikit mendongak. Khas Lina ketika sudah terlampau kesal.

"Mama bukannya mau keras sama kamu. Selama ini Mama Papa juga gak pernah nuntut apapun. Kamu pilih buka usaha sendiri alih lanjutin usaha Papa, kita ya gak larang. Padahal kamu anak tunggal."

"Mama gak bohong Ariz kalau umur mama itu gak panjang. Makin hari Mama tu makin bau tanah. Mama makin tertekan mikirin kamu yang sudah tua gak nikah-nikah. Mama takut kamu kaya apa yang orang bilang—"

Fariz tahu arah pembicaraan Lina kemana. Dia menyela. "Ariz normal ma, Ariz gak gay."

Terdengar helaan napas lega dari Lina. "Syukurlah." Cicitnya. Fariz melotot maksimal. "Mama pikir kamu beneran 'gitu' karena trauma mu."

Yang benar saja Mama nya ini. Fariz mendengus, dia buang muka.

"Ma—" tegur Fariz kelemah. Kembali menatap Lina tapi wanita tua itu yang ganti buang muka.

Ruang kerja Fariz lenggang sesaat. Bian juga tak berani angkat bicara. Sekali angkat bicara saja sudah kena tatapan maut. Mana berani lah.

Namun kini tatapan ditebarkan pada Fariz. Tatapan yang dalam sekali penuh banyak arti—Fariz tak berdaya. Ia hanya mampu memejamkan kedua matanya beberapa saat, lalu menghela napas panjang—otaknya terasa ingin meletus.

"Oke Fariz nurut, sekarang terserah Mama mau gimana. Mama mau jodohin Ariz, Ariz terima," ujarnya final. 

Senyum merekah terbit sudut bibir Bian dan Lina. Mereka saling adu pandang dalam diam.

"Tapi Ariz minta, selama itu berlangsung. Tolong jangan ganggu Ariz waktu lagi kerja. Kerjaan Ariz banyak Ma. Apalagi beberapa hari ini kalian kayak neror Ariz habis-habisan. Mau orangnya kaya apa pun Ariz bakal setuju. TERSERAH MAMA."

TITIK!

Semua selesai dan sepasang suami istri itu pulang dengan hati yang berbunga. Berbanding terbalik dengan buah hatinya yang lemas meronta. Badannya meriang dadakan, kepala ya cenut-cenut brutal.

"Tuhan kali ini tolong jangan kecewakan aku." Keluhnya putus asa.

To Be Continued
______________

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang