RCDD | 18. Kabar Duka

31.1K 1.1K 2
                                    

Ada yang nunggu gak nih? Sorry kemarin gak up ya guys. Lagi nyingkronin versi baru sama versi lama. Jugaan masih agak bimbang kemarin mau nambahin konflik ini apa enggak. Soalnya bisa ngerubah alur 60% lebih. 

Setelah author berpikir panjang. Bismillah, akhirnya mantap buat nambahin. 

Kalau ada yang lebih suka versi lama bisa baca di KBM atau goodnovel ya guys. 

HAPPY READING GUYS

SEMOGA KALIAN SUKA

*
*
*

"MAS ... MAS ARIZ ... TOLONG!" DOR! DOR! DOR!

Kaira terus dan terus memukul daun pintu kamar utama kencang-kencang. Berteriak memanggil nama suaminya hingga semakin lama suaranya semakin melemah. Tapi yang dipanggil justru tidak merespon, tidak ada sahutan dari dalam sana.

"Mas Ariz ..." ujar Kaira lagi, kali ini suaranya nyaris tak terdengar. Kaira kehabisan tenaga, pukulannya pada daun pintu juga melemah.

"Mas tolong ..."  kata Kaira putus asa, tubuhnya limbung dan dia duduk bersimpuh di lantai, menghadap daun pintu yang masih tertutup rapat. 

Dua menit menunggu pintu baru dibuka dari dalam. CEKLEK! Disusul sosok Fariz dengan handuk yang hanya menutupi tubuh bagian bawahnya, rambutnya yang masih basah membuat airnya menetes hingga mengenai puncak kepala Kaira yang tertutup kerudung. 

Fariz menunduk dan terbelalak mendapati keadaan Kairan yang mengenaskan. Buru-buru dia ikut berjongkok, menopang tubuh Kaira yang sudah lemah dan derai air mata yang terus menetes. Faris usap air mata itu lalu dia bingkai wajah Kaira dengan tangan besarnya.

"Hei, kamu kenapa Kaira?"

Kaira sesegukan, dia mendongak menatap wajah Fariz yang terlihat khawatir. "Nenek Mas ... Nenek—" lalu menangis lagi.

"Nenek kenapa? Tenang dulu oke?"

Kaira mengangguk. Dia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan. Berulang kali hingga dirasa cukup menguasai diri.

"Mas Ara boleh pinjam mobilnya? Mobil Ara di bengkel."

Fariz menyerngit—bingung.

"Kalau gak boleh bisa minta tolong pinjemin mobilnya Papa? Ara minta tolong Mas." Ujarnya sambil memanyunkan bibir. Hei, ini masalah genting—tapi entah kenapa Fariz justru ingin menggigit bibir yang meruncing milik istrinya itu. 

"Ara janji gak akan ganggu Mas tidur lagi kalau mas bantuin Ara. Tolong Mas."

"Kamu mau kemana?"

"Ke Ambarawa Mas, mau ke rumah nenek, Nenek—" Kaira menangis lagi, ucapanya terpotong dengan tangis. Fariz melotot, buru-buru mengusap air mata Kaira lagi. Dia tidak suka melihat wanita menangis.

"Nenek meninggal Mas. Ara harus kesana sekarang. Kaira pinjem mobil Mas Ariz ya? Ara janji gak bakal rusakin, Ara—"

"SUT!" Fariz mengusap pipi Kaira penuh sayang—berniat menenangkan. "Ummi yang telpon tadi?"

Kaira mengangguk.

"Ummi bilang apa aja?"

"Ummi bilang nenek meninggal, sekarang Ummi sama Abi sudah jalan kesana. Ummi ninggalin Ara sendiri. Gimana cara Ara kesana Mas? Mobil Ara rusak, Mas Ariz marah sama Ara. Bus pasti sudah gak ada jam segini."

Demi Tuhan Fariz tidak bisa jika tidak tertawa sekarang. Tawanya pecah bersama dengan ia yang mencubit hidung Kaira kencang-kencang—menggemaskan sekali. Hingga si empunya berteriak nyaring sekali, "AW ... sakit mas."

Bukanya minta maaf Fariz justru semakin mengeratkan cubitannya, hidung Kaira semerah tomat dibuatnya.

"Boleh ya Mas pinjam mobilnya?"

Fariz menggeleng tegas. "Biar saya antar."

Netra Kaira berkedip-kedip, gadis itu juga terpaku lima detik. "Mas Ariz sudah gak marah?"

"Apa saya kelihatan marah?"

Kaira mengangguk—wajah datar dan bibir datar tandanya marah kan?

"Saya antar Kaira. Gak ada perempuan malam-malam bawa mobil sendiri. Apalagi posisi genting begini."

"Tapi Mas lagi demam—" mengingat itu Kaira buru-buru menempelkan punggung tangan nya di kening Fariz. "Tuh kan masih demam. Ara ke sana sendiri aja lah."

"Terus kamu mau tanggung jawab kalau Abi sama Ummi kamu ngecap saya suami bajingan gak bertanggung jawab?"

Kaira kuncup. Benar juga.

"Buru, siap-siap! Saya antar." Titah Fariz. Kaira justru diam saja, "perlu saya gendong Kaira?"

"Eh, enggak perlu mas." Secepat kilat dia bangkit berdiri. Lari terbirit-birit meninggalkan Fariz yang masih berjongkok di depan pintu.

Sebelum masuk kamar mandi dia sempatkan dulu untuk berucap, "Mas siapin baju mas yang mau dibawa sekalian ya? Nanti Ara biar tinggal masukin koper." BLAM!  Pintu ditutup dari dalam tapi tidak sampai satu menit sudah dibuka lagi. Kaira lupa ambil baju.

Dengan pipi bersemu merah, Kaira memberanikan diri untuk keluar dan bergerak cepat mengambil semua perlengkapan yang dia butuhkan.

Fariz sampai geleng-geleng sambil menahan tawa.

***

Satu jam setengah waktu yang mereka butuhkan untuk sampai di kediaman nenek Kaira—Ambarawa. Buka pintu mobil mereka langsung diserang dinginnya malam yang menusuk tulang, maklum pegunungan. Fariz sampai mengencangkan jaket yang dia pakai—saking dinginya.

"Dimana jaket mu tadi Kaira?" tanya Fariz melirik Kaira yang berdiri di sampinginya sambil menatap pilu rumah kayu khas Jawa Tengah milik Neneknya. Rumah itu sudah ramai oleh para tamu yang datang melawat di malam-malam seperti ini. Ini desa, jiwa kekeluargaan mereka masih kental sekali.

Pintu coklat itu ... biasanya nenek berdiri di sana untuk menyambutnya ketika Kaira datang. Tapi sekarang ....

"Kaira ... dimana jaketmu?"

"Ah ... masih di mobil Mas."

"Ambil!" titah Fariz tidak ingin dibantah. Kaira langsung balik kanan dan kembali dengan jaket yang sudah melekat di tubuhnya.

"Akhirnya kalian sampe juga. Ummi kalian khawatir itu di dalam. Katanya Kaira ditelpon nangis. Terus tiba-tiba mati." Entah datangnya dari mana tahu-tahu Albi sudah berdiri dihadapan keduanya, pria berwibawa itu terlihat kusut dengan sarung dan juga baju kokonya.

"Abi ...." Kaira merengek dan langsung menubruk tubuh ayahnya. Tadi sewaktu Silfi menelpon ponsel Kaira mati kehabisan batrai.

"Alhamdulillah kalian sampai juga nak." Dari dalam rumah Silfi mendekat. Kaira melepas pelukannya dengan Albi, ganti memeluk Silfi.

Kondisi Silfi tak kalah memprihatinkan, masih pakai dres rumahan lengkap dengan kerudung instan jumbo. Nentranya bengkak dan memerah, wajahnya pucat. Kaira yakin selama perjalanan tadi Silfi pergunakan untuk menangis agar sesampainya dirumah duka tidak ada lagi air mata yang tersisa.

"Ummi nenek Ummi."

"SUT! Gak boleh nangis di depan jenazah sayang! Nenek sudah pulang ke yang punya hidup."

"Tapi Ara belum puas disayang-sayang Nenek. Nenek juga bilang mau lihat Ara pakai gaun princes dulu waktu menikah ..."

Fariz yang tidak sanggup melihat itu memalingkan wajah. Melihat Kaira sedih entah mengapa membuat hatinya juga teriris.

To Be Continued
____________

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang