HAPPY READING
***
Tidak ada yang memulai pembicaraan selepas pulang dari rumah sakit. Kaira seakan bisa membaca kondisi mental suaminya—yang sedang tidak baik-baik saja selepas bertemu dengan Milla dan Ibunya tadi.
Entah apa gerangan yang terjadi di antara keduanya, Kaira bahkan tidak berani hanya sekedar menduga-duga. Dia lebih memilih memberi Fariz waktu dan tidak akan memaksa ketika memang Fariz tidak ingin bercerita.
Lebih tepatnya, Kaira akan membaca situasi. Selagi itu tidak berdampak besar akan kondisi mental Fariz yang sudah mulai jauh lebih baik ini makan Kaira akan membiarkan—itu rencananya.
Saking heningnya suasana perjalanan mereka, Pak Manut yang biasanya hobi bernyanyi ketika menyetir mendadak bisu, sesekali pria tua itu melirik kedua majikanya dari balik kaca spion depan.
Sampai Apartemen Kaira turun. Lepas menjabat tangan suaminya dan Fariz mencium kening Kaira diantar Pak Manut Fariz yang semula ingin ambil cuti hari ini mendadak batal, ada kerjaan dadakan—katanya. Tapi nyatanya Fariz justru kembali ke rumah sakit dan di ruangan Dokter Timo lah Fariz berada saat ini.
"Mohon maaf sekali lagi dok. Sudah mengganggu waktu sampeyan," ujar Fariz masih tidak enak hati karena mengganggu waktu berharga dokter Timo di luar jadwal check up-nya.
Dokter Timo hanya terkekeh sambil manggut-manggut dia menyodorkan segelas kopi instan yang asapnya masih mengepul tepat dihadapan Fariz—diletakkan di atas meja. "Terima kasih dok ..." ujar Fariz.
"Jadi gimana Pak Fariz ada masalah apa?" serang dokter Timo langsung, tanpa basa-basi. Jelas ada masalah tidak mungkin ketika baru saja mereka selesai konsultasi Fariz sudah menghubungi meminta untuk bertemu jika tidak ada hal apapun yang terjadi padanya.
"Masa lalu saya datang lagi dok," ujar Fariz tanpa pikir panjang, dia menarik napas dalam sebelum kembali melanjutkan ucapannya, "karena dia saya punya trauma ini. Saya harus gimana?"
"Apa dia melakukan sesuatu?" tanya dokter Timo.
Fariz menggeleng cepat, "belum. Tapi saya yakin dia pasti melakukannya."
"Terus apa yang sekarang sampeyan rasain Pak?"
"Saya takut, khawatir. Saya takut istri saya ninggalin saya dok."
Kening dokter Timo terlihat berkerut tipis-tipis tapi pria tua itu berusaha mengendalikan ekspresi wajahnya. Sembari mengontrol diri dengan hati-hati dia bertanya, berniat memancing Fariz untuk bercerita "apa Pak Fariz melakukan sesuatu yang kiranya istri sampeyan bakal ninggalin sampeyan?" katanya, tapi Fariz justru bungkam—tidak menjawab. Dokter Timo kembali berujar, "tidak usah terlalu dipikirkan apa yang belum terjadi Pak. Begini saja, sampeyan percaya kan sama istri sampeyan?"
Fariz mengangguk mantap, jelas dia percaya pada Kaira, selain Bian dan Lina ya Kaira yang paling dia percaya, tambah Pak Manut juga.
Dokter Timo tersenyum simpul, dia meraih gelas kopi yang dia buat tadi untuk dirinya lalu meneruputnya dua kali. Gelas diletakkan kembali hingga menimbulkan suara TAK! Dan pria tua itu kembali menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, terlihat santai berbeda jauh dengan Fariz yang tegang maksimal. Fariz duduk sedikit condong kedepan dengan tubuh yang dibebankan pada kedua tangan yang terletak di atas paha.
"Lalu kenapa sampeyan belum bisa terbuka dengan istri sampeyan pak kalau memang percaya dengan istri?" tanya dokter Timo.
Fariz mati kutu, dia tidak bisa menjawab dan dokter Timo kembali berujar, "bisa pelan-pelan untuk terbuka dengan dokter Kaira Pak Fariz, insyaAllah semua akan jauh lebih baik. Usahakan jangan simpan semua sendiri, jika memang keberatan bercerita dengan dokter Kaira dan saya, sampeyan bisa pada keluarga yang lain atau mungkin orang lain yang dipercaya." Itu adalah akhir dari komsultasi mereka.
Bohong jika Fariz bilang selepas bertemu dengan Dokter spesialis Jiwa khawatirnya berkurang atau bahkan hilang. Nyatanya dia justru semakin khawatir lagi, sampai-sampai alih-alih pulang Fariz memboyong pak Manut ke ruangan kerjanya di kantor. Duduk bersila di atas karpet dengan ditemani gorengan yang sempat mereka beli di pinggir jalan dan juga dua gelas es teh.
Pak Manut sudah melarang, Tian dan Tiara pun sama. Kedua sekretarisnya itu hingga menawari ingin dipesankan jus apa saat minta dibuatkan es teh. Tapi dasarnya Fariz memang kepala batu, dengan santainya dia beralasan, "kepala saya panas lagian Tiara, butuh yang dingin-dingin."
"Tapi pak gorengannya?" bantah Tiara sambil melirik satu plastik gorengan yang permukaannya tampak berembun—efek uap panas. Tiara menelan ludahnya susah payah, hatinya berteriak nyaring, "matilah aku kalau sampai bu bos tau—" dia belum selesai membatin sudah terdengar lagi suara Fariz yang tidak terbantahkan. "Cepat Tiara! Apa kamu mau saya turunkan posisinya?"
Lari terbirit-birit Kaira meninggalkan ruangan Fariz dan kembali dengan dua gelas es teh.
Jadilah Pak Manut dan Fariz seperti sedang piknik di ruangan ber-AC.
"Pak Bos lagi berantem ya sama Bu Bos dokter? Kalau iya mending pengakuan dosa langsung deh Bos!" ujar Pak Manut. Belum-belum sudah curi stak menyerang aja pria tua kepala botak ini. "Kalau perlu penebusan dosa deh bos entah pake apa. Seblak misalnya, apa mie ayam—"
"Istri saya gak suka makan begituan Pak," potong Fariz membantah.
Pak Manut manggut-manggut, benar juga Bu bosnya kan manusia penganut makanan sehat.
"Sampeyan pernah ngelakuin salah Pak?" Fariz akhirnya bertanya.
"Ya sering to Bos. Saya nikah sudah 24 tahun yo jelas sudah banyak salahnya sama istri," jawab Pak Manut bangga.
"Terus apa yang sampeyan lakuin kalau lakuin salah begitu?"
Pak Manut lenggang sesaat, ia justru mengusap-usap dagu yang rambutnya sudah dicukur. "Ya tergantung seberapa besar salahnya Bos. Kalau misal kecil ya saya sogok pakai makanan atau enggak diajak ke pasar belanja. Kalau pas gajian gitu nah gak pake bujuk-bujuk segala, langsung kasih aja uangnya ntar baik sendiri. Tapi kalau salahnya besar yo saya minta maaf."
"Bapak gak malu minta maaf sama istri?"
Pak Manut menyeringai, dia tidak menyalahkan pertanyaan Fariz. Spontan saja keningnya berkerut seperti itu.
"Yo jelas enggak to Bos-bos. Harga diri pria gak akan hilang cuma karena minta maaf doang mah," mereka lenggang satu menit, pak Manut berhenti karena menyeruput es tehnya dan Fariz sibuk dengan pikirannya.
Kemudian Pak Manut yang kembali membuka percakapan. "Sebesar apapun kesalahan sampeyan sama Bu Bos dokter. Saran saya ya Bos, mending bu Bos Dokter tau dari mulut sampeyan sendiri Bos daripada dari orang lain."
"Kalau istri saya merasa dicurangi terus ninggalin saya gimana Pak?"
"Pak Bos ngerasa kalau Bu Bos bakal ninggalin Pak Bos cuma karena Pak Bos buat salah?"
Fariz bungkam.
Pak Manut mendecih, "cetek sekali lah pikiran sampeyan bos."
Fariz melotot seketika, pak Manut yang sadar dengan ucapannya buru-buru menampar bibirnya sendiri hingga suaranya terdengar cukup nyaring, PUK! "Aduh Maaf Bos, gak maksud begitu saya."
Nasib buruk, mood Fariz sudah terlanjur buruk. Wajahnya justru semakin suram, tanpa aba-aba dia bangkit berdiri, meningalkan Pak Manut untuk duduk dibangku kebesarannya.
Jelas pak Manut jadi panik sendiri, tapi dia tidak bisa berbuat apapun saat itu selain pamit undur diri. Tidak lupa membawa semua gorengan dan juga es teh miliknya.
Benar-benar cari mati pria tua bau tanah itu sepertinya. Hei, mana ada orang panik karena dimarahi Bos masih sempat-sempatnya ambil gorengan, mana yang beli bosnya pula. Apa namanya jika bukan cari mati kan?
To Be Continued
_____________

KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)
Romance❌️SUDAH REVISI❌️ Banyak yang berubah guys jadi yg mau baca ulang dijamin tetep dugun-dugun. Buat yang belum pernah baca cus merapat. Dijamin gak akan ada ruginya. Justru nagih Kalau gak percaya coba aja😋 ______________________ Disandera oleh trauma...