Hai semua. Kalian pasti sudah mengenalku dari membaca kisahku kan?
Bagaimana? Apa kalian ikut menangis?
Masih ada banyak lagi kesulitan-kesulitan lain yang tak kalah menyedihkan dari itu.
Tolong baca baik-baik okay!
Ada satu nasehat yang selalu aku ingat dan sebagai penguatku dikala badai cobaan itu datang menerpa. Begini bunyinya, "kehidupan ini memang tempatnya susah dan butuh perjuangan. Ibaratnya ... di dunia ini ya susah-susah semua yang dirasakan. Kalau pun merasa senang, itu bukan bahagia melainkan ketenangan."
Karena kalimat itu aku kembali tersadar jika, ya hidup ini memang sulit, butuh pengorbanan (kesenangan dunia).
Jadi saat ini, disaat badai itu datang menerpa diri kami atau keluarga kecil kami. Itu bukan hal yang besar lagi, justru disaat kesenangan itu hadir terus menerus kekhawatiranku datang menggerogoti. "Kalau jatah senang-senangnya dihabisin di dunia, gimana bisa nikmati di akhirat?" atau "kalau jatah senang-senangnya di habisin di sama sekarang (gak mau berkorban kesenangan), gimana nanti bisa menikmati ketenangan di hari tua."
Kalian paham kan sampai di sini?
Putra pertama kami telah lahir ke dunia. Teren Qoir Kamran namanya, dia tumbuh menjadi bocah tampan, shalih dan pandai. Di usianya yang ke tiga tahun dia sudah mampu menghafal surah-surah pendek dalam Al-Qur'an. Aku dan Fariz tak henti-hentinya mengucap kata syukur.
Kami juga dikaruniai putri cantik diusia Tener yang ke dua tahun. Namanya Tania Qiara Kamran. Putri kami begitu cerewet hingga rasanya dunia akan baik-baik saja ketika ada dia bersama kami. Dia yang menghibur kami disaat badai itu datang menerpa hingga melumpuhkan hatiku.
Terlebih badai terbesar hadir. Saat itu usia Teren menginjak ke lima tahun dan Tania berusia dua tahun. Teren didiagnosa mengidap Autoimun. Badan gembulnya mengurus dalam sekejap, rambutnya perlahan rontok dan hingga akhirnya dengan berat hati harus kami pangkas hingga tak tersisa.
Tidak perlu dijelaskan kan bagaimana terlukanya aku sebagai Ibu. Duniaku seolah runtuh tak tersisa. Aku mengurung diri hingga tiga hari lamanya.
Tapi ... kini semua sudah berlalu. Penderitaan itu sudah bagai kenangan yang tak akan pernah kami lupakan. Si tampan Teren kini sudah kembali ceria bahkan melepas topinya-percaya dirinya perlahan sudah mulai tumbuh lagi.
"Amma, Kakak mau pakai topi ke sekolah hari ini boleh?" ujar putraku yang kini sudah berusia tujuh tahun. Dia sudah masuk di taman kanak-kanak.
Aku berjongkok, menyamakan tingginya agar kami bisa bertukar pandang. Begini kan parenting untuk anak laki-laki?
"Kenapa sayang? Kan sekarang Kakak sudah punya rambut." Untuk menimbulkan kepercayaan dirinya aku memang selalu mengenakan topi padanya jika berada di luar rumah. Sudah dua hari topi itu ia tinggalkan, karena memang rambutnya sudah kembali tumbuh.
"Apa tidak boleh Amma?" tanyanya hati-hati.
Aku berikan senyum terbaikku, "boleh dong. Tapi boleh Amma tau apa alasan Kakak mau pakai topi lagi?"
Ia sempat diam sejenak dan aku menunggunya dengan sabar. "Aundi bilang rambut Kakak jelek, warnanya putih seperti kakek-kakek."
Jantungku seakan berhenti berdetak. Kutarik nafas dalam, aku tak langsung menjawab, lebih tepatnya tak bisa langsung menjawab jika tidak ingin ada air mata yang tumpah saat ini juga di hadapan putra kebanggaanku.
"Kakak sedih?" dia mengangguk. "It's okay kalau mau menangis. Amma akan kasih Kakak waktu sebelum kita berangkat sekolah," ujarku. Tapi putraku justru menggeleng.
"Kakak sudah baik-baik saja Amma. Aundi tidak berbohong, tapi Kakak tetap tidak suka ..." aku mengangguk. "Kakak juga gak marah Amma sama Aundi. Kan kata Om dokter Kakak sudah mau sembuh kan Amma? Kalau sudah sembuh rambut Kakak seperti dulu lagi kan?"
Demi Allah, bulir itu hampir jatuh. Tapi aku masih berusaha menahannya. "Betul ... semua kan butuh waktu. Kita harus bersabar lagi, berdoa lagi, berusaha lagi."
"Amma ... terima kasih sudah jadi Amma terhebat buat Kakak, buat adek juga. Kakak Sayang sekali sama Amma. Banyak sekali sayangnya ..." sambil merentangkan tangan seperti lingkaran.
Aku menangis, rasanya sudah tidak sanggup lagi menahan. Bulir itu jatuh juga. Kubawa tubuh mungil itu dalam dekapanku-kencang-kencang. Tak lupa ku ucapkan kata maaf dan terimakasih sebanyak yang aku bisa.
"Eh ... eh ... eh ... ada apa ini kok teletubisnya gak ajak-ajak Appa sama Adek?" suara itu, suara Fariz.
Aku dan Teren melepaskan pelukan satu sama lain. Kami kompak menatap Fariz yang sedang menggendong Tania dengan tatapan yang seperti bingung.
Ketika kami merentangkan tangan kami, mereka mendekat dan ikut memeluk. Dan saat itu kesedihanku hilang seutuhnya disaat Tania mulai mengeluarkan celotehannya. "Amma ... tadi kan ... tadi adek beyi es cim. Adek ihat kuda umping ... kata Appa ecok mindu anti hayi inggu kita naik kuda Amma."
Aku paham apa yang dikatakan putriku, kutatap Fariz saat itu juga-meminta penjelasan. Dia hanya menganggukkan kepala sekali.
Aku yang tidak puas masih menatapnya meminta penjelasan. "InsyaAllah minggu ini beneran libur cinta, kan nyepi." Dan kami menghabiskan hampir 15 menit hanya untuk berpelukan.
_______________
Akhirnya rampung juga. Setelah drama ngaret up. Sorry ya guys. Semoga kalian puas walaupun masih kentang begini
Buat yg mau baca versi lama bisa baca di kbm atau good novel. Tapi outhor sendiri lebih puas yang versi ini.
Ah iya, buat yang masih mau dan sabar tentunya ikutin ongoing nya author bisa banget baca "when dream come true"
Lope-lope sekebon buat kalian🥰🥰🥰
Thank you guys, sampai bertemu dikisah-kisah selanjutnya😘

KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)
Romance❌️SUDAH REVISI❌️ Banyak yang berubah guys jadi yg mau baca ulang dijamin tetep dugun-dugun. Buat yang belum pernah baca cus merapat. Dijamin gak akan ada ruginya. Justru nagih Kalau gak percaya coba aja😋 ______________________ Disandera oleh trauma...