HAPPY READING
***
"Berapa Sus?"
"140/80 dok."
Dia Kaira, yang dipanggil Sus itu rekan kerja perawatnya. Suster Indri namanya. Sedang ada pasien gastrointestinal, badan lemas karena Dehidrasi—diare dan muntah terus menerus. Wanita berusia empat tahun lebih tua dari Kaira itu baru selesai melakukan pemeriksaan tekanan darah pasien-sedang membereskan kembali alat Tensimeter.
"Ibu ada riwayat hipertensi sebelumnya?" Kaira bertanya sambil mengetuk-etuk perut wanita yang usianya jauh di atas Silfi, ibunya. "Gak kembung ..." batinnya berkomentar.
"Gak ada dok, biasanya malah rendah. Gak sampai 100 tensinta. Mentok 90/70 mmHg, kalau periksa di bu Bidan dekat rumah." Wanita tua itu menjelaskam. "Pantas dari kemarin kepala saya itu pusing dok. Lagi banyak pikiran. Tapi gimana ya, namanya manusia kan dok? Masak gak boleh mikir."
Kaira terkekeh. Dia manggut-manggut. "Tidak apa-apa. Insya Allah nanti bisa normal lagi kalau istirahatnya cukup terus patuh minum obat. Belum terlalu tinggi kok bu. Tapi juga tidak bisa diabaikan."
"Dirawat inap ya bu? Dehidrasi berat ini soalnya."
Yang diajak bicara hanya diam saja. Justru wajahnya terlihat takut-takut.
Kaira yang biasa mendapati hal semacam ini seakan sudah paham dia kembali menjelaskan. "Ibu kekurangan cairan, sampai suternya tadi buat pasang infus saja susah kan? Setidaknya semalam saja. Besok pagi jika keadaannya sudah lebih baik boleh pulang. Diare dan muntah nya juga lebih mudah ditangani jika dengan obat yang dimasukkan lewat suntikan."
"Apa bener-bener gak bisa dirawat jalan aja ya dok? Saya gak punya uang buat bayarnya kalau harus mondok (dirawat)," keluh si pasien jujur.
"Ibu ada asuransi atau bantuan kesehatan dari pemerintah?"
"Ada, bantuan dari tempat kerja almarhum suami. Tapi sudah lama dok, sudah tiga tahun lalu. Gak tau masih hidup apa enggak."
Kaira bisa melihat kekhawatiran itu, terlihat jelas sekali. Ia berdehem cukup panjang, berpikir sebelum kembali berujar.
"Tadi ibu kes ini diantar siapa?"
"Diantar putranya dok," yang menjawab suster Indri.
Kaira paham. Dia kembali melanjutkan. "Anak ibu tadi bisa tanya ke bagian pendaftaran. Beliau-beliau di sana Insya Allah bisa bantu cek, masih bisa digunakan atau memang tidak. Nanti jika memang sudah tidak bisa, anak ibu bisa datang temui saya lagi. Kita cari solusinya bersama. Tapi kita usahakan dulu ya bu."
"Tapi biasanya orang admin sudah tanya kok Dok sewaktu urus pendaftaran." Suter Indri menimpali. Semua mata berpusat padanya.
Ucapan suster Indri itu bagai "gong" dan penenang.
Benar, pihak administrasi menanyakan mengenai asuransi, bantuan kesehatan dan sejenisnya. Nasib baik, meski sudah dikatakan mati, tapi masih bisa digunakan kembali jika diurus dan membayar sedikit denda.
Singkat cerita, Rumah sakit sabar menunggu dan pasien wanita renta itu bisa ditangani dengan baik. Sebagai gantinya sembari menunggu proses mengurus itu. Si pasien harus dirawat setidaknya dua hari. Alhamdulillah.
***
Mati satu tumbuh seribu, itu kata pepatah. Selesai masalah pasien gastrointestinal tak sampai sepuluh menit, datang pasien baru lagi.
Dadakan.
Jelas, namanya saja UGD (Unit Gawat Darurat). "Sukanya dadakan dan suka bikin panik," jika kata dokter Andi.
Tak tanggung-tanggung. Enam orang sekaligus. UGD digemparkan dengan itu.
Pasien kecelakaan mobil, dua arah. Dua luka ringan, tiga luka parah dan satu hingga tak sadarkan diri.
Suster Indri sampai mengeluh tiada akhir saking lelahnya. Beres menangani pasien ganti urus rekam medik pasien. Yang jika ada bentuk fisiknya mungkin sudah setinggi gunung Semeru. Untungnya semua sudah menggunakan sistem. Simpel tapi tetap melelahkan.
"Gila sih dok, hari ini apes banget IGD. Rasanya mau patah ini tulang belulangku," keluhnya sambil merenggangkan otot, ini sudah keluhan yang kesekian kalinya sejak satu jam yang lalu.
Kaira terkekeh sambil gekeng-geleng, sudah tidak heran lagi dia. Sudah biasa, suster Indri memang suka hiperbola (melebih-lebihkan sesuatu). Tapi kali ini Kaira juga setuju. Karena ada dua kecelakaan di separuh hari ini. Pagi tadi kecelakaan tunggal. Siangnya mobil dengan mobil, keadaanya jauh dari kata baik-baik saja.
"Oh ya Sus, pasien kecelakaan pagi tadi gimana jadinya? Sudah mau ngasih sempel urin nya?"
Suster Indri menggeleng ogah-ogahan, "belum dok. Ditanya-tanya sama sus Lin juga belum mau jawab. Diem aja masihan. Dibujuki keluarganya juga masih alot."
"Curiga dokter Andi pemakai dok, makanya gak mau di cek. Kecelakaan itu mungkin oleng gara-gara masih kena efeknya. Ya kali dok jalan lebar, sepi pula. Dia main tabrak-tabrak pembatas jalan sampe ringsek. Untung gak ada korban lain." Imbuhnya.
"Mungkin ngantuk Sus." jawab Kaira berpikir positif.
"Bilangnya ya gitu dok. Ngantuk katanya. Tapi coba deh dokter lihat orangnya! Pasti bisa nyimpulin sendiri. Polisi aja maksa minta di tes urin atau darah. Pasti juga curiga. Tapi mentalnya keren Dok, gak ada takut-takutnya dia sama polisi."
Mereka kerja di Rumah Sakit Khusus Jiwa. Jelas masalah-masalah yang membutuhkan rehabilitasi sudah jadi makanan sehari-hari. Sudah khatam.
"Nanti coba saya cek Sus, sekalian coba bujuk. Siapa tau mau."
"Nah ... siapa tau luluh sama bujukan cewek cantik. Single pula. Masih muda dia dok. Umuran 27 tahun. Belum nikah juga."
Kaira diam saja. Lagu lama, panjang jika diladeni.
Mereka kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Kaira membalas pesan dari saudaranya yang sedang konsul via chat. Suster Indri sudah tenggelam dalam layar komputer di hadapannya. Sedang membuat asuhan keperawatan.
To Be Continued
____________Guys sorry ya kalau masih tetep banyak typo. Author sudah berusaha semaksimal mungkin😔
KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)
Romance❌️PROSES REVISI❌️ Mohon bersabar karena author tetep mikir ulang. Banyak yang berubah guys jadi yg mau baca ulang dijamin tetep dugun-dugun. Buat yang belum pernah baca cus merapat. Dijamin gak akan ada ruginya. Justru nagih Kalau gak percaya coba a...