Ada yang nunggu ya. Sorry guys, author lagi sibuk pol kemarin-kemarin. Niatnya semalem mau Up tapi mata tak sanggup rasanya.
Tolong bantu koreksi typo ya guys. Thank you.
SEHAT-SEHAT BUAT KALIAN🥰
HAPPY READING
*
*
*"Ternyata punya istri tu enak juga ya?" Itu kata Fariz setelah lima hari merasakan dirawat Kaira dengan sepenuh hati. Layaknya Malika, kedelai hitam yang dirawat seperti anak sendiri.
Meski tetap saja ada bumbu-bumbu "kesal" saat Kaira manja dan banyak maunya. Tapi rasa syukur itu jauh lebih mendominasi.
"Tak masalah, masih sebanding lah. Hitung-hitung bayar jasa rawat gratis," kata hatinya lagi.
Bohong jika Fariz sesabar itu. Tetap ada mengeluhnya meski hanya sekedar helaan napas berat diiringi wajah masam dan kesal.
Seperti saat ini contohnya. Mereka adu argumen perkara rumah mana yang mereka singgahi selepas dari rumah sakit ini. Rumah Albi atau Bian. Karena Kaira menolak mentah-mentah ketika Fariz mengajak pulang Apartemen saja.
Alasanya, "kalau pulang ke rumah papa itu sama aja kita pulang apartment. Ara gak mau. Mas tu sembuh juga baru, sudah mau kerja rodi lagi. Dikira itu badan robot. Robot aja butuh istirahat," bantah Kaira tak terbantahkan ketika Fariz merekomendasikan rumah Bian saja yang jadi tempat persinggahan mereka.
Memang itu maksud Fariz. Jika di rumah Albi, sudah pasti tidak bisa bebas bekerja. Apalagi sekarang ini tangannya sudah gatal, badan juga pegal-pegal—sudah ingin bekerja.
"Saya gak enak sama Abi kamu Kaira. Katanya waktu itu kamu mau tinggal sama papa buat sementara kan? Hitung-hitung nemenin papa biar gak kesepian."
"Itu kemarin, sekarang sudah enggak lagi," bantah Kaira.
"Kenapa?"
"Ya karena kemarin mas nolak lah. Pakai tanya segala." Jawab Kaira sewot. Nada suaranya memang tenang dan pelan. Tapi nyatanya cukup mampu membuat Fariz menelan ludah susah payah.
Mereka lenggang cukup lama. Kaira duduk bersedekap di pinggiran ranjang dengan kaki yang disilangkan, sedangkan Fariz di sofa, posisinya sama—mereka saling berhadapan.
"Kalau semalam mau?" tawar Fariz pada akhirnya.
Kaira menoleh. "Satu minggu."
"Dua hari deh."
"Lima hari atau enggak sama sekali. Gak usah pulang, kita nginep di rumah sakit aja terus."
Fariz mendengus, dia buang muka sebentar. "Empat hari gimana? Selama itu saya kerjanya ikutin jam kerja kamu."
Kaira menyerngit, dia menatap Fariz dalam. "Emang bisa? Gak dimarah sama bos mas?"
Fariz terpaku sesaat—cukup terkejut. Tapi setelahnya dia mengangguk sekali. "Bisa diatur. Gimana?"
"DEAL." Secepat kilat Kaira menubruk tubuh Fariz dan CUP! Satu kecupan mendarat di pipi kanan Fariz.
Fariz melotot, tubuhnya menegang. Sedangkan Kaira pun sama, bedanya wanita itu butuh jeda hingga satu menit untuk tersadar dan akhirnya buru-buru melepas pelukan dan lari tergopoh-gopoh masuk toilet.
BRAK! Pintu toilet tertutup kencang-kencang tanpa menyadarkan Fariz yang masih membantu dalam keterkejutannya.
***
TARA. Sampai kediaman Albi-ayah Kaira. Dugaan Fariz tidak meleset barang satu centi meter pun. Sudah tidak bisa bekerja, masih canggung dengan Kaira—sepanjang jalan mereka hanya diam membisu karena sama-sama malu. Ditambah sungkan juga dengan mertuanya serta tidak bebes plus kewalahan.
Kewalahan ketika Ayah mertuanya itu mengajak salat berjamaah di masjid.
Hei, seumur hidupnya. Hanya dua kali dalam satu tahun itu Fariz menginjakan kakinya di tempat suci itu.
Saat hari raya idul fitri dan hari raya kurban. Jangankan masuk masjid untuk salat lima waktu dirumah saja seingat Fariz hanya ketika Lina sudah menggedor pintu ruang kerjanya sembari menenteng penggorengan—teflon.
"Keluar sekarang apa mama timpuk kepala kamu sama bakar laptopmu itu Fariz Kamran." Ancam Lina waktu itu sembari menggedor pintu. BRAK! BRAK! BRAK.
Jika sekedar mengomel hingga berbusa, ya Fariz hanya melengos tidak menanggapi. Dan sekarang dia menyesal karena sudah membantah ucapan ibunya itu. Nyatanya kekesalannya dengan semua kecerewetan Lina tidak sebanding dengan rasa sakitnya tidak bisa mendengar itu lagi.
"Ara, ambilin suamimu peci Abi itu nah nak! Di mushola." Ujar Albi dari ruang keluarga ketika mendapati Fariz yang keluar kamar hanya dengan kemeja lengan pendek dan juga celana bahan. Kaira dan Silfi sedang berada di dapur—katanya sih membuat kue. "Mau pakai sarung juga gak le?"
"Mboten Bi. Niki mawon." (Tidak Bi. Ini saja), maksudnya cukup dengan memakai celana.
Selang dua menit Kaira datang dengan membawa peci hitam, disusul Silfi yang langsung menghampiri suaminya. "Yang ini Abi?"
"Yang baru kan ada to ndok di lemari atas." Justru Silfi yang menjawab.
Fariz menyela. "Sampun Ummi, yang ini saja tidak apa-apa," katanya sembari mengambil alih benda itu dari tangan Kaira.
Pandangan mereka bertemu dan ... BLUS! Semburat merah itu itu timbul lagi di pipi Fariz dan Kaira terlebih ketika meniru adegan cium tangan dan kening ala Albi dan Silfi saat berpamitan. "Mas aku malu ..." keluh Kaira setengah berbisik.
Fariz terkekeh, dia kecup lagi kening Kaira untuk kedua kalinya. Lalu Fariz mendekatkan bibirnya di sebelah telinga Kaira yang tertutup kerudung. "Saya juga, nikmati selagi bisa oke." Ujar Fariz lalu menjauhkan tubuhnya. "Abi kita berangkat sekarang?"
Selepas itu kedua pria itu berlalu, meninggalkan Sifli yang melepas dengan senyuman hangat sedangkan Kaira yang menegang maksimal. Demi Tuhan, jantungnya dugun-dugun.
"Ummi Ara malu ..." lalu terbirit-birit balik dapur.
Silfi hanya bisa geleng-geleng kepala, menyusul langkah putrinya. "Anak muda jaman sekarang," ujarnya berkomentar.
To Be Continued
___________
KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)
Romance❌️PROSES REVISI❌️ Mohon bersabar karena author tetep mikir ulang. Banyak yang berubah guys jadi yg mau baca ulang dijamin tetep dugun-dugun. Buat yang belum pernah baca cus merapat. Dijamin gak akan ada ruginya. Justru nagih Kalau gak percaya coba a...