RCDD | 2. Petunjuk

1.2K 39 0
                                    

HAPPY READING

***

Malam harinya, di kediaman Albi (Kaira).

Albi, duduk termenung seorang di kursi kayu yang sudah renta, di teras depan rumahnya. Ditemani secangkir kopi hitam yang mulai mendingin. Pikirannya menerawang entah kemana, pandanganya kosong meskipun terarah pada pohon mangga yang berdiri tegak cukup jauh darinya.

Semilir angin berhembus sepoy-sepoy, tak ada satupun bintang. Bulan pun hanya mengintip malu-malu karena tertutup awan mendung. Sesekali kening pria tua itu berkerut, matanya menyipit, terkadang ia juga menghembuskan napasnya berat tanpa sadar. Hatinya gelisah, ada setumpuk pertanyaan yang sebenarnya memenuhi pikirannya.

Albi memegangi dagunya sendiri, lalu mengusap dagu yang hanya ditumbuhi beberapa helai rambut dan mulai memutih itu secara berulang.

"Abi kenapa? Ada masalah?" tanya Silfi, istrinya. Umurnya tak terlalu jauh dari pria tua itu. Hanya tiga tahun lebih muda saja. Entah sejak kapan wanita itu sudah duduk di sisinya, menatapnya dengan kening berkerut.

Albi menoleh, meletakkan tangannya pada pegangan kursi lalu tersenyum simpul.

"Gak ada Ummi." Bohongnya.

"Ada sesuatu di sekolah? Apa di majelis?" tanya Silfi belum puas.

Albi menggeleng, dia lenggang sesaat. Tangan kanannya meraih cangkir kopi yang tinggal setengah dan menyeruputnya perlahan setelah menghirup aromanya dalam.

"Ada sepasang suami istri yang minta Abi buat dicarikan menantu. Pasangan buat putra tunggalnya Ummi."

Silfi menyerngit. Dari tatapannya seolah bertanya. "Lalu? Bukannya sudah biasa?" Tapi mulutnya justru bungkam. Dan Albi, sadar dengan itu.

"Tapi yang kali ini sedikit berbeda Ummi." Imbuh Albi menjelaskan.

Silfi mengerutkan keningnya. Ia masih bingung. "Beda gimana Abi? Kriterianya terlalu rumit gitu?"

Mereka diam sepuluh detik, Albi justru menatap lurus ke depan sana. Padahal Silfi sudah menunggu tidak sabaran, tegambar jelas di wajahnya.

Bukannya menjawab, pria tua itu justru menghela napas panjang, bahunya melorot dan masih sempat-sempatnya meletakkan canhkirnya lagi ke atas meja dengan santai.

Silfi mulai geram, tapi ia berusaha untuk sabar. "Perasaan Abi justru bergerak buat jadiin sepasang suami istri itu besan kita Ummi." Lalu Albi terkekeh ringan. Masih tanpa menatap istrinya.

Beda dengan Albi beda pula dengan Silfi yang mengerjapkan matanya berulang, otaknya tiba-tiba blank, dia mematung sampai satu menit. Sebelum akhirnya kembali ke daratan karena mendengar suara tawa Albi yang lama-lama terdengar memprihatinkan—seperti dipaksakan.

"Abi sudah pikirin semua matang-matang kan?"

Albi menoleh menatap Silfi dalam. "Abi sendiri gak tau Ummi, Abi cuma merasa hati Abi condong ke arah sana. Abi juga sudah Salat Istikharah selama satu bulan ini. Tapi hasilnya justru semakin yakin." Jawabnya enteng tidak seenteng beban mentalnya.

Pantas saja suaminya itu sering melamun dan terlihat tidak bersemangat belakangan ini. Ternyata ini alasannya.

Kaira putrinya mungkin tidak merasakan perubahan-perubahan itu, tapi Silfi adalah istri dan ibu di sini. Pemegang kunci kenyamanan dalam rumah sekaligus berperan sebagai rumah itu, ia pasti memahami perubahan sekecil apapun yang terjadi dari penghuni rumah tanpa terkecuali.

"Yang meminta itu jama'ah Abi di majelis, mereka baru mulai berhijrah tiga bulan terakhir. Sepasang orang tua sama seperti kita. Mereka sama kaya kita Ummi, anaknya cuma satu. Mereka khawatir karena putranya sudah berumur 36 tahun tapi belum ada niatan buat nikah." Albi menjelaskan.

"Mungkin belum dikenalin aja ke orang tuanya kali Abi." Silfi menimpali.

Albi menggeleng. "Putranya itu punya trauma mendalam Ummi, sampai mungkin gak percaya sama hubungan, dia juga gila kerja. Jadi itu kenapa beliau-beliau khawatir."

Entah sadar atau tidak, tapi Silfi spontan menggigit bibir bawahnya sendiri—sangat keras hingga membekas. Informasi mengejutkan yang membuat hatinya jadi ragu dan gelisah secara bersamaan. 

Cukup lama mereka saling diam. Silfi masih syok dan Albi tahu itu. "Abi tau Ummi. Tau kalau dengan kita merelakan Ara. Sama aja kita mempertaruhkan masa depan putri kita, buah hati kita satu-satunya." Dia menjeda ucapannya dengan helaan napas panjang, wajahnya tegang dan kembali kusut. 

"Itu kenapa selepas Abi salat istikharah selama sebulan ini hati Abi semakin mantap tapi rasa gak ikhlas Abi juga makin besar. Kenapa harus anak seperti itu? Gimana sama kebahagiaan Kaira kalau sampai Ara nikah sama anak kaya gitu. Abi ragu, tapi Abi juga takut kalau itu perintah dari Allah yang kalau Abi tolak Abi dosa. Padahal kita ini buta akan masa depan. Cuma Allah yang tau dan maha tau."

Silfi mengulurkan tangan kanannya, meraih punggung tangan kiri Albi dan mengusapnya lembut--menanangkan suaminya.

"Ummi coba bicara sama Ara dulu baik-baik ya Abi? Kita lihat respon putri kita dulu ...." Albi manggut-manggut. Silfi menarik sudut bibirnya simpul. "Terimakasih sudah bersedia bersedia berbagi segalanya sama Ummi, Abi. Ummi tau kekhawatiran Abi. Ummi memang kaget, Arapun pasti sama Abi. Tapi insyaAllah sama kayak Ummi, walaupun kaget tapi Ara pasti bisa menerima informasi ini dengan baik."

"Kalau Ara gak mau gak apa-apa Mi. Abi gak maksa, Abi bisa cariin yang lain. Justru bisa jadi jawaban Ara itu juga salah satu petunjuk dari Allah."

Silfi mengangguk, wanita tua itu juga mengukirkan senyumnya sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Albi untuk menemui putrinya.

To Be Continued
___________

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang