RCDD | 11. KEJUTAN

30K 1.1K 3
                                    

❌️WARNING❌️

Part ini kek ada yang kurang gitu guys. Tapi ntah apa, kek kurang greget aja. Udah di revisi berulang kali dari kemarin tapi ttp aja😭

HAPPY READING GUYS

***

Ada udang di balik batu.

Baiknya Lina kemarin memang ada maunya.

Hari senin, pukul dua siang. Masih jam kerja, kantor bahkan sedang sibuk-sibuknya sekarang. Tapi Fariz sudah memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Dapat pesan dari Lina tadi. Katanya, "pulang sekarang Nak. Ada masalah genting, penting banget. Ini perkara hidup dan mati. Mama tunggu Ariz di rumah." Tergopoh-gopoh Fariz keluar ruangan, meninggalkan setumpuk berkas yang menanti. Hingga mengabaikan Tian dan Tiara yang berulang kali memanggil namanya.

Masa bodo, ini perkara hidup dan mati.

Dan benar, sesampainya dia di rumah sudah disambut dengan sosok Lina yang berdiri menjuntai di depan pintu. Merentangkan tangan lebar-lebar, menyambut putranya yang jalan tersenggal-senggal. "Akhirnya kamu pulang juga nak," ujar Lina di tengah-tengah dekapan itu.

"Kenapa Ma ... Papa mana?" tanya Fariz panik. Pelukan mereka terlepas. Otomatis nentra Fariz memindai, mengamati penampilan Lina dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gamis, wangi semerbak, bibir merah merona, pipi kepiting rebus—ulah blush on. Fariz memicingkan mata, keningnya berkerut. "Mama mau kemana? Kondangan? Sepupu Ariz ada yang mau nikah dadakan? Siapa yang mau meninggal Ma? Apa hamil di luar nikah?"

Loh ... loh ... kok.

Lina melotot lebar, reflek menepuk lengan Fariz kencang. POK! "CANGKEMU—" (mulutmu). Ditambah cubitan di perut, kencang sekali sampai tubuh Fariz memancing ke atas. "Au ... sakit Ma."

"Kalau ngomong—" Lina tidak jadi bicara. Sedangkan Fariz sudah sibuk mengusap-usap perutnya yang bekas cubitan Lina. "Masih ingat gak kamu kalau punya janji sama Mama?"

"Janji apa?"

"Soal Mama yang mau cariin kamu calon istri."

Fariz diam sejenak, lalu mengangguk.

"Masih ingat kan janjimu mau nurut sama Mama?" Fariz mengangguk lagi. Dia selalu menurut asal bukan soal istirahat kerja dan soal menikah—Fariz terbelalak, dia menatap Lina intens. Jangan-jangan.

"Nah hari ini kita bakalan ketemu sama calon mantu Mama, calon istrimu." Benar ternyata.

"MA—"

"Kamu sudah janji sama Mama." Potong Lina memperingati. Tatapan nya tajam, setajam pisau daging.

"Kapan—" buru-buru Fariz menggeleng. Mengoreksi ucapanya. "Bukan maksud Ariz kenapa harus kayak gini Ma?"

Lina justru menatap Fariz penuh tanda tanya-dia tidak paham. Ucapan putranya itu terlalu berputar-putar. Dan Fariz juga sadar dengan itu. Dia terlalu syok. Sampai jadi orang bodoh.

"Kenapa harus gini caranya, Mama kan bisa kasih tau Ariz dulu. Semua juga butuh persiapan."

"Mama sudah siapin semuanya. Perhiasan 30 gram cukup kan buat lamaran. Mama sudah beli."

Seperti dihipnotis Fariz mengangguk tapi selang tiga detik langsung menggeleng.

Lina menggaruk kepalanya yang dilapisi kerudung. "Masih kurang ya?"

Bukan itu maksud Fariz. Fariz sudah ingin menjawab, tapi Lina lebih dulu menyela. "Ah, cincin ya?" Lina menepuk keningnya sendiri. "Mama lupa belinya. Lagian juga gak tau ukurannya geh. Nanti nyusul aja ya?"

Kok jadi begini—jadi makin salah paham. Fariz menggeleng—menyadarkan dirinya sebelum akhirnya menyerang Lina. "GAK—" Bentaknya tanpa sadar. Lina sampai mundur satu langkah saking kagetnya. "Ariz gak mau Ma. Ariz belum siap. Mama jangan seenaknya sendiri main mutusin sepihak gitu dong."

"Tapi kan kemarin—"

"Ariz cuma bilang nerima kalau mama mau jodohin Ariz. Tapi bukan berarti kaya gini Ma. Ini masalah besar, seenggaknya kasih tahu Ariz dulu kek fotonya. Kalau ternyata tu cewek bukan tipe Ariz gimana? Gimana kalau dia ternyata kelek, item, apa gendut. Ariz gak suka cewek pendek Ma. Gak banget."

Wajah ceria Lina hilang sudah, diganti dengan wajah sedih penuh penyesalan. "Maaf—" cicitnya putus asa, lalu wanita tua itu menundukkan kepala.

Fariz terpaku, saat ini juga dia ingin menenggelamkan dirinya di laut terdalam.

"Cangkemu Fariz. Masuk neraka mampus kau." Itu kata setan kecil dalam hati Fariz.

"Bukan ... Ariz bukan gak mau nolak mentah-mentah Ma. Tapi malam ini Ariz harus terbang ke Jakarta Ma. Besok pagi ada kerjaan di sana. Penting soal tender besar yang gak bisa seenaknya dibatalin."

Ada secercah harapan timbul di hati Lina. Ia mengangkat kepalanya lagi, menatap putranya yang terlihat "putus asa" dengan tatapan penuh harap. Jika sudah begini mana bisa Fariz menolak lagi.

"AH ..." Fariz mengusap rambutnya kasar. Menumpahkan semua kekesalannya. "Gini aja, acaranya jam berapa?"

"Lepas Magrib."

"Jam tujuh malam?" Lina mengangguk. "Penerbangan Ariz jam setengah sembilan. Harusnya jam setengah delapan Ariz sudah harus berangkat dari rumah. Kalau misal Ariz ikut acaranya gak sampai selesai gak papa? Nanti Ariz berangkat dari sana."

Lina tak langsung menjawab, dia diam cukup lama. "Rumah calon istrimu di daerah Pandanaran. Harusnya kalau misal berangkat dari sana itu lebih dekat kan?"

Fariz gantian yang sekarang bungkam, tapi tak lama setelahnya dia mengangguk. Keputusan akhir sudah ditentukan. Tapi Fariz tetap menghela napas panjang. Jika acaranya masih lepas magrib seharusnya dia bisa menyelesaikan semua berkas dulu tadi sebelum dia tinggal dua hari besok.

Dan sekarang, dia sudah membuang-buang waktunya. Mau kembali, kok rasanya lebih buang-buang waktu terlebih ketika setelahnya Lina sudah memperingati, "Mama mau ke toko kue dulu, buat dibawa ke rumah calon besan. Kamu ... JANGAN BALIK KANTOR LAGI. Tidur! mama gak mau ya kamu ketemu calon mantu Mama mukanya kaya zombie begini. Yang ada dia takut nanti."

Tidak sempat menjawab dia sudah ditinggal Lina masuk ke dalam seorang diri. Entahlah hati Fariz rasanya nano-nano sekarang.

To Be Continued
___________

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang