Wajib banget loh ya kalian ramein kolom komentar. Sampe begadang ni.
HAPPY READING GUYS
YUK KITA MENGAMUK BERSAMA
***
"Fariz ..." sapa sindi berbinar. Buru-buru menghampiri Fariz yang sudah berdiri menjuntai di depan pintu masuk. Jam sembilan pagi, resto Jepang tempat Silvi bekerja baru saja dibuka. Sindi bahkan baru saja selesai menurunkan meja. Harapannya Fariz menjadi pelanggan pertama mereka.
Sindi sampai dihadapan Fariz, pria itu langsung menyerang, "saya mau tes DNA," ujar Fariz to the point, senyum di wajah Sindi pun musnah. "Kamu bisa nentuin dimanapun tempatnya asal itu rumah sakit terbaik. Saya gak mau ambil resiko," imbuhnya.
Sindi toleh kanan kiri, suara Fariz cukup kencang untuk ukuran restoran yang sepi, untungnya tidak ada siapapun selain mereka berdua di sana. "Kita bicara di luar, jangan di sini!" pinta Sindi, ingin meraih jemari Fariz tapi Fariz dengan refleknya yang baik lebih dulu menjauhkan tanyanya.
"Tunjukkan saja jalannya!" titah Fariz.
Tanpa banyak kata Sindi berjalan lebih dulu, Fariz mengekor. Mereka keluar dari restoran dan masuk jalan kecil sebelah restoran dan berhenti hingga cukup dalam—jauh dari jalanan utama. Mereka berdiri saling berhadapan.
"Langsung saja saya ingin tes DNA hari ini juga," ujar Fariz.
"Anak kita lagi sekolah Far—"
"Anakmu, hanya kamu," Fariz memotong, "saya tidak merasa memiliki anak terlebih itu dari wanita sepertimu."
Terdengar helaan napas dari Sindi, sepertinya wanita itu sedang berusaha mengontrol emosinya terlihat dari bahunya yang sedikit merendah dan tatapannya pada Fariz tersirat keputus asaan yang begitu nyata.
"Milla lagi sekolah Fariz, dia baru pulang jam dua siang nanti. Lagian kenapa sih harus tes DNA segala, istrimu gak percaya? Dia anakmu Fariz ... kamu gak mendadak amnesia kan kalau kita pernah lakuin itu dulu? Walaupun cuma sekali tapi kamu gak pake pengaman waktu itu," ujar Sindi panjang lebar.
"Jika dia memang anakku kenapa kamu baru mencariku sekarang?"
Sindi terlihat terkejut, bola matanya berputar asal—enggan membalas tatapan Fariz yang setajam silet. "Ya ... ya aku baru berani nemuin kamu sekarang. Aku takut kamu gak bisa nerima anak kita," jawabnya kelabakan.
"Karena sekarang saya kaya?" tebak Fariz menyerang. Sindi menelan ludah susah payah—wanita itu semakin terlihat gelisah. "Asal kamu tau ya Sindi, saya masih sama kaya dulu—"
"Tapi katanya kamu sekarang sudah sukses," potong Sindi reflek.
Fariz manggut-manggut, mulutnya juga terbuka. "Aa ... jadi benar karena saya sekarang sudah kaya makanya kamu drama kayak gini?"
Sindi semakin panik, dilihat dari berdirinya yang tidak tenang juga kedua tanganya yang saling meremas.
"Aku berusaha cari kamu selama ini, tapi gak ketemu."
"Cari aku?" Fariz bertanya—tidak percaya, "sejak kapan mencariku itu sesusah itu Sindi? Nama usahaku masih sama, letak kantorku juga masih sama. Cuma bangunannya aja yang nambah. Jangan sok drama kamu Sindi. Saya sudah gak mempan sama sandiwaramu, saya muak."
Sindi menciut, nyalinya seakan hilang ditatap sebegitu tajamnya juga diserang sebegitu brutalnya oleh sosok dihadapannya saat ini. Terlebih besar tubuh mereka yang begitu kontras, Sindi terlampau kurus dan Fariz terlampau tinggi dan besar.
Fariz mendongakkan kepalanya lima detik, selepas itu dia terkekeh tiba-tiba membuat Sindi akhirnya terpaksa menatap pria itu—ingin tahu. "Kamu bodoh Sindi kalau nganggep aku sebodoh itu. Aku memang cuek tapi aku gak bodoh. Kamu pergi dengan alasan yang kamu buat sendiri. Muak, bosan, ketemu pria lain yang lebih kamu cinta dan mencintaimu. Blusit."
"Tapi kamu yang buat aku gitu Fariz, kamu terlalu gila kerja sampai lupa sama aku."
"TAPI USAHAKU LAGI KRISIS WAKTU ITU SINDI. AKU HAMPIR BANGKRUT." Bantah Fariz membentah. Sindi hingga terlonjak kaget, wanita itu spontan mundur satu langkah dan menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.
"Aku tau kamu lebih milih dia karena dia lebih kaya dari aku. Aku tau kamu juga masukin sesuatu ke minumanku malam itu padahal aku yakin seribu yakin kalau aku cuma minum satu teguka. AKU TAU SEMUANYA SINDI, AKU TAHU SEMUA KEBURUKANMU DULU—" Demi Tuhan, suara Fariz begitu menggelegar hingga mungkin saja bisa menembus dinding restoran dan didengar oleh semua orang yang ada di dalam sana.
Wanita mana yang tidak ciut jika diperlakukan seperti itu, dibentak, dicaci maki, disudutkan dan terlebih semua ucapan Fariz itu adalah kebenaran, bukan hanya tuduhan semata. Namun, Sindi yang keras kepala masih berusaha menyelamatkan diri, "tapi kita emang ngelakuin itu Fariz," katanya meski dengan suara yang bergetar.
"Persetan dengan semua itu. Anggap begitu ..." Fariz lebih dulu mendongakkan kepala untuk kedua kalinya. Menyugar rambutnya perlahan dan menghirup napas dalam-dalam sebelum akhirnya kembali menatap Sindi.
"Anggap aja kita memang melakukan itu. Tapi ... tapi aku belum pernah mabuk cuma karena satu teguakan alkohon Sindi. Sama ..." Fariz menarik napas dalam sejenak. "Aku bermasalah Sindi. Aku bisa jamin seribu persen kalau anak harammu it—"
"JAGA UCAPANMU FARIZ!" Bentak Sindi berkali-kali lipat lebih keras. Ibu mana yang rela anaknya dikatai terlebih dengan ucapan seperti itu.
Fariz yang tak gentar tetap melanjutkan. "Anakmu itu bukan anak ku. Tanpa atau dengan tes DNA sekalipun," ujarnya mantap.
"Kalau kamu memang seyakin itu kenapa masih mau tes DNA?" Sindi terkekeh, entah kebarinian darimana sehingga ia bisa seberani itu memancing amarah Fariz. Bahkan Sindi sudah berkacak pinggang dan membusungkan dadanya sekarang.
"Istrimu meragukanmu? Dia ternyata gak sebaik itu dan secinta itu sama kamu ya Fariz?"
"Ah, bukan dia yang bermasalah tapi K-A-M-U. Wanita mana yang bisa tahan sama pria gila kerja, gak berperasaan, gak peka kaya kamu kan?"
Berhasil, Fariz benar-benar terpancing sekarang. Wajah pria itu sudah merah padam menahan amarah. Andai dihadapannya ini bukan wanita mungkin ia sudah menyerangnya dengan membabi buta.
"Kenapa ha? Kenapa? Gak bisa jawab?"
"Diam kamu Sindi!"
Sindi semakin menjadi wanita itu bahkan sudah tertawa. "Kamu begitu mencintainya Fariz?"
"SANGAT. Dia hidup dan matiku. Separuh jiwaku," jawab Fariz tanpa ragu.
HA-HA-HA! Sindi tertawa lagi. Namun yang kali ini justru tawa hambar penuh luka, tersorot jelas dari kedua nentranya juga raut wajahnya.
"Kamu mau menyerah atau aku yang melakukan semuanya dengan caraku. Putuskan segera! Aku tunggu sampai besok pagi jam sepuluh." Lalu Fariz menyelipkan sebuah kartu nama di saku apron Sindi sebelum pria itu berlalu pergi.
To Be Continued
_____________Maafkan typo yang bertebaran ya guys. Sudah tinggal seperempat wat ini mata🥱
See you guys

KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)
Любовные романы❌️SUDAH REVISI❌️ Banyak yang berubah guys jadi yg mau baca ulang dijamin tetep dugun-dugun. Buat yang belum pernah baca cus merapat. Dijamin gak akan ada ruginya. Justru nagih Kalau gak percaya coba aja😋 ______________________ Disandera oleh trauma...