RCDD | 47. Kejujuran Fariz

27.2K 952 3
                                    

Part ini ada kilas baliknyan ya guys, jadi tolong baca perlahan biar gak mumet.

HAPPY READING

***

"Ara mandul Mas, Ara sudah periksa ke dokter kandungan. Belum dikatakan 100 persen tapi sudah 50 persen karena ada penyumbatan di tuba falopi Ara sebelah kanan," ujar Kaira tiba-tiba, saat para tetua baru saja meninggalkan ruang rawat Fariz. Kaira tidak ingin menunda-nunda lagi dan berujung menjadi kesalahpahaman yang panjang.

"Bohong kalau Ara bilang Ara baik-baik aja. Siapa sih Mas perempuan yang terima dengan berita itu. Tapi ..." Kaira menarik napas guna mengontrol emosinya, bulir bening mulai menetes. Cepat-cepat Kaira mengusapnya.

"Aku—" dan dia terisak," aku cuma berusaha untuk kuat, berusaha untuk yah meyakinkan hati kalau semua bukan suatu hal yang masalah. Itu masa lalu mas, semua orang punya masa lalu begitupun Mas."

Fariz hanya diam, dia memandangi Kaira dengan seksama dari atas ranjang rumah sakit sedangkan Kaira duduk di sofa panjang yang jaraknya dua meter darinya. Suara Kaira terdengar begitu tenang meski isak tangis yang berusaha ia tahan seakan berusaha menghalangi segalanya.

"Aku pikir buat apa marah kan mas? Semua sudah terjadi, ditambah fakta yang aku dapat tiga hari lalu. Disatu sisi ada kelegaan, 'Ah, akhirnya masalah ini terpecahkan'. Setidaknya dengan Mas punya momongan perasaan bersalah itu sedikit berkurang."

"Tapi kamu tau kan hukum agama mengatakan percuma kalau pun dia anak biologisku, aku gak punya hak apapun atas dia dan begitupun dia ke aku," Fariz memotong tiba-tiba.

Ara tahu, dia tahu itu. Meski mengangguk Kaira tetap memberi alasan. "Setidaknya Mas masih bisa menyayangi anak itu."

"Tapi percuma Kaira, dia gak akan bisa mewarisi kekayaanku, aku gak bisa jadi wali nikahnya dan masih banyak lagi. Dia milik ibunya bukan milikku."

Kaira mengangguk lagi, dia tahu dengan sangat. "Tapi mas masih bisa melakukannya dengan niatan sedekah kan?"

Fariz bungkam, tidak bisa membantah. "Apa yang dokter bilang soal kondisimu?" tanya Fariz mengalihkan pembicaraan.

"Penyumbatan tuba falopi, kemungkinan hamil hanya 50 persen, bayi tabung-"

"Bayi tabung?" Fariz mengulang, Kaira mengangguk. "Dokter Helen bilang begitu, mas juga tau kan soal bayi tabung?" ia bertanya tapi dengan santainya Fariz justru menggeleng. "Intinya bukan secara alami."

"Berarti masih bisa kan?"

Kaira mengangguk.

"Tapi saya yang mandul Kaira." Kini giliran Fariz yang mengungkapkan fakta. "Saya mandul bahkan sejak dulu, bukan mandul seutuhnya tapi saya juga bermasalah. Oligospermatozoa."

"Tapi Milla?"

"Kalau saya bilang anak itu bukan anak saya kamu percaya?"

Kaira terpaku sesaat, dia syok. "Tapi tadi mas bilang ..."

"Itu yang wanita itu katakan. Saya hanya menyampaikan."

"Tapi kan—" Kaira ingin membantah seperti itu, namun sayang hanya sampai di ujung tenggorokannya saja. Tidak sampai terucap.

"Saya memang pernah melakukan-kesalahan. Saya mabuk dan yah terjadi seperti itu. Tapi hanya sekali, saya takut waktu itu. Saya takut sama mama. Lagi pula saat itu saya masih miskin Kaira. Usaha juga masih naik turun bahkan banyak ruginya. Wanita itu bahkan ninggalin saya karena hal itu. Karena saya takut jadi saya konsul ke dokter kandungan,"

Kaira sudah melotot maksimal, Fariz tahu apa yang ada dipikiran wanitanya itu jadi buru-buru dia meluruskan. "Bukan untuk aborsi kalau seandainya jabang bayi itu ada tapi saya konsultasi ke dokter apa melakukan hanya sekali itu bisa jadi."

Fariz tidak memiliki teman satupun, jelas tidak mungkin juga bertanya dengan Lina atau pun Bian. Jadilah hal itu yang ia lakukan kala itu-lebih tepatnya sepuluh tahun yang lalu.

"Dokter menyarankan buat tes kesuburan dan saya melakukannya. Ternyata saat itu sperma saya bermasalah, kemungkinan kecil bisa jadi. Justru saya yang mandul Kaira. Satu bulan yang lalu saya coba periksa lagi ke Dokter spesialis andrologi dan hasilnya masih sama. Sekarang saya masih dalam masa perawatan juga ..." Fariz berhenti sejenak.

Pikiran Kaira jadi mundur pada momen-momen satu bulan silam. Dimana Fariz yang jadi rajin GYM, Fariz yang anti minum kopi, Fariz yang selalu pulang lebih awal dan anti lembur-lembur club. Kaira baru mengingat semuanya sekarang, jika diruntun dan disambungkan terlihat jelas jika itu terlihat masuk akal jika berkaitan.

"Saya memang berandal, saya gak percaya Tuhan, saya suka mabuk. Tapi untuk yang satu itu saya takut Kaira. Tanggung jawabnya besar dan saya juga hanya melakukan satu kali itu saja. Hubungan kami berakhir setelah satu bulan dari kejadian itu karena saya miskin."

"Kemarin saya hanya panik dan takut, saya lupa kalau mustahil wanita itu hamil sedangkan kamu saja belum hamil—"

"Ara juga bermasalah Mas." Potong Kaira sedikit meninggi. Entah keberanian dari mana di kondisi Fariz yang seperti ini ia masih seberani ini. Tapi Kaira tidak peduli.

"Apapun itu, tapi saya yakin dia bukan darah daging saya karena saat kami melakukan pertama kali itu wanita itu sudah tidak tersegel," ujar Fariz bersikukuh, tanpa dijelaskan Kaira paham maksudnya.

"Tapi kenapa wanita itu nemuin Ara dan yakin seribu yakin jika Milla darah daging Mas?"

"Wanita itu menemuimu?"

Kaira mengangguk. Tadi siang, saat Kaira keluar dari ruang rawat Fariz dengan kondisi yang super berantakan. Ia tak sengaja bertemu dengan Sindi—seorang diri. Wanita ramping itu menghampiri Kaira dengan begitu angkuhnya, menceritakan seberapa bebasnya gaya pacaran keduanya.

"Sebaiknya dokter Ara tidak menghalangi putri kami untuk bertemu dengan ayah kandungnya," kata Sindi sambil bersedekap. Bicaranya begitu percaya diri dan tidak ada takut-takutnya terlebih malu ataupun merasa bersalah. "Dokter Ara bisa bertanya langsung dengan Fariz, dia pasti tidak akan mengelak jika kami memang pernah melakukan hubungan intim."

Kaira berusaha tenang, dia lebih dulu menarik napas dalam sebelum akhirnya menjawab. "Benar dan tidaknya hanya bisa dibuktikan dengan tes DNA mbak. Kalau memang Milla benar-benar darah daging suami saya, saya akan dengan senang hati menerimanya. Kalau perlu Milla bisa tinggal dengan kami. Saya akan menganggapnya anak kandung sendiri. Saya harap mbak Sindi tidak keberatan jika Milla memanggil wanita lain dengan sebutan Ibu."

Kaira sudah ingin pergi tapi dia kembali mengangkat kepala dan mentap Sindi tak kalah angkuh. "Ah, saya juga tidak masalah jika dipanggil Mama," timpal Kaira menyindir. Sindi pucat pasi. Setelah itu barulah Kaira berlalu pergi.

"Apa yang dia katakan Kaira?" tanya Fariz nyaris berteriak menyadakan Kaira dari lamunannya. Ini sudah ketiga kalinya pria itu mengulang pertanyaan, tapi Kaira tetap terpaku dalam lamunannya.

"Ya begitu lah Mas. Malas aku bahasnya lagi," jawab Kaira jujur, sebenarnya tidak berniat menghindar.

"Kamu percaya sama ucapan dia?"

"Apa aku kelihatan percaya?" tanya balik Kaira, Fariz tidak bisa menjawab. "Jadi gimana ini kesimpulan akhirnya? Tes DNA atau mau gimana?"

"Sindi bukan orang yang mudah menyerah, jelas kita lakukan tes DNA untuk menyerangnya. Bukan berarti aku ragu ya Kaira?" Fariz menegaskan.

Kaira berdecak nyaring, dia bangkit dari posisi duduknya menghampiri Fariz untuk membantu pria itu berbaring. "Kita pikirin lagi besok kalau Mas sudah keluar dari rumah sakit. Ara sudah lelah, mas juga harus tidur," ujarnya sembari membenahi letak selimut Fariz.

Fariz hanya menurut, bibirnya otomatis terkatup rapat saat Kaira juga mematikan sebagian lampu—hanya tersisa satu lampu di depan pintu toilet.

Mereka segera melesak ke alam mimpi dengan Kaira tidur di sofa panjang yang bisa diubah menjadi ranjang tidur.

To Be Continued
______________

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang