RCDD | 27. Berjuang Untuk Menyerah

32.6K 1.2K 1
                                    

HAPPY READING

***

Kaira sampai rumah sakit Fariz tidak sadarkan diri. Kata Karu Sinyo hanya tidur. Tapi ini terlalu nyenyak untuk ukuran Fariz yang mudah terjaga. Sampai Kaira genggam tangan nya kencang-kencang sekalipun tetap tidak terbangun.

"Sama dokter Boy dikasih Diazepam tadi dok. Kayaknya suami sampean lagi kebanyakan pikiran deh dok. Jadi tidurnya gak berkualitas. Kaya ketakutan juga," ujar Karu Sinyo.

Kaira genggam tangan Fariz lagi. Melihat wajah Fariz yang damai dalam tidurnya membuat hati Kaira semakin teriris pilu. "Mama mertua saya baru aja meninggal, Papa sekarang belum benar-benar pulih dari kecelakaan itu. Baru dua minggu. Beliau ini anak tunggal ..."

Karu sinyo tidak bisa berkata-kata. Mulutnya mendadak kelu. "Dia kehilangan banget, yang dia lakuin buat mengalihkan semua itu ya cuma kerja, kerja dan kerja." Kaira menatap wajah Fariz lebih dulu lalu menatap Karu Sinyo yang berdiri di sampingnya, sedangkan Kaira duduk dibangku sebelah brankar.

"Makasih ya Karu Sinyo sudah jagain suami saya sewaktu saya gak ada. Nanti saya tanya sendiri ke dokter Boy soal kondisi suami saya. Saya jadi gak enak sama sampeyan."

"Gak usah pakai sungkan segala dok, kita ini keluarga. Dokter yang sabar ya, dokter kuat suami dokter Ara juga gitu. Beliau cuma butuh dukungan sampeyan. Perlindungan sama penguat yang nunjukin ke dia kehilangan ibu bukan berarti kehilangan segalanya. Beliau sudah punya sampean yang selalu ada buat dampingi."

"Makasih banyak Karu Sinyo. Hari ini sampean dan yang lain sudah bantu saya banyak banget. Terima kasih." Ujar Kaira tulus, dia sungguhan. Jika tidak ada mereka—rekan-rekannya di sisinya tadi dan saat ini Kaira tidak tahu bagaimana nasib dirinya. Semua yang terjadi melemaskan otot-ototnya, menghilangkan fokusnya dan memporak porandakan hatinya.

Karu Sinyo hanya mampu menjawab jika semua bukan masalah berat untuknya sebelum akhirnya pamit pergi. Tinggalah Kaira dan Fariz yang masih memejamkan matanya rapat-rapat.

***

Fariz dipindahkan di ruang perawatan 30 menit lebih lambat dari yang dijadwalkan. Di jam sebelas malam. Di kamar perawatan terbaik di Saida Hospital. Kamar yang Fariz tempati ini mungkin tak sebagus kamar-kamar utama di RS Umum Swasta atau bahkan Negeri sekalipun di luaran sana.

Yang mereka sediakan ala kadarnya seperti ruang kamar yang luas, toilet yang nyaman, televisi, lemari dan kulkas mini. Ada sofa juga di dekat pintu masuk tapi hanya muat untuk tiga orang. Maklum rumah sakit khusus Jiwa, yang mereka unggul kan perawatan khusus jiwa. Jika pasien umum seperti Fariz ini ya hanya ala kadarnya seperti inilah yang mereka berikan meski katanya ini sudah kamar nomor satu di ruang perawatan umum.

Selama proses pemindahan pria itu belum juga tersadar. Jadi butuh brankar untuk membawa Fariz dan dua pria dewasa, karu Sinyo dan perawat jaga bagian perawatan, untuk mengangkat tubuh kurus Fariz—pria itu kehilangan banyak berat badannya.

Fariz sadar-sadar besok paginya, sudah pukul sembilan pagi saat dokter melakukan visite pasien.

"Pak Fariz sudah lama ya punya penyakit asam lambung. Nanti kita USG ulang ya biar bisa lihat sama-sama separah apa? Dokter Kaira ini suaminya sudah dikasih makan?"

Kaira yang sedang mengamati Fariz disisi brankar berseberangan dengan dokter spesialis penyakit dalam yang memeriksa Fariz pun mengangkat kepala—memandang wajah yang mengajak bicara. "Belum dok, baru bangun soalnya."

"Pak Fariz ini kayaknya tipe orang yang ngeyelan, jadi beberapa hari kedepan sampai bener-benar sembuh nurut dulu ya sama dokter Kaira. Harus sering-sering makannya, tapi sedikit sedikit. Sudah gak bisa makan sehari tiga kali lagi. Jarak dua jam makan tiga empat suap, begitu seterusnya."

"Kapan saya bisa pulang dok?" Fariz bertanya.

Si dokter justru menatap Kaira, "aduh gimana ini dok, sudah minta pulang saja." Keluh pria itu lalu terkekeh. Kaira hanya mampu mengusap tengkuknya yang tertutup kerudung.

"Yo besok kalau sudah sehat betulan Pak. Sekarang nikmati surga dunia dulu. Makan disuapin, mau ini dituruti, mandi dibantu. Mau apa-apa ada yang ngerawat, banyak lagi."

"Di rekam mediknya ada Nefrolitiasis nya dok. Itu gimana?"

Si dokter menepuk keningnya, dia mundur satu langkah—pemeriksaan selesai dia lakukan. Kini giliran konsultasi. "Sampai lupa saya, gara-gara istri pasiennya juga dokter sih ini jadi saya lebih santai. Iya dok ada nefrolitiasis-nya, di ginjal sebelah kanan." Lalu dokter pria itu menatap Fariz. "Ada batu ginjalnya di ginjal pak Fariz sebelah kanan. Mulai sekarang kurangi minuman yang berwarna dan banyak minum air mineral ya pak."

Di rekam mediknya tertulis ukurannya juga, masih bisa dikatakan kecil jadi Kaira sudah tidak bertanya lagi.

"Ya sudah, saya ke pasien yang lain dulu. Permisi ya dokter Kaira, cepat sembuh Pak Fariz."

"Terimakasih dokter Abra." Ujar Kaira sedangkan Fariz diam saja. Fokusnya justru tertuju pada istri cantiknya yang terlihat tidak baik-baik saja. Pucat, kantung mata menghitam, baju kusut dimana-mana, mata membengkak hingga sebesar biji kenari. "Kamu tidak tidur semalam?"

Spontan Kaira menunduk, dia jalan memutar yang tadi di sisi kanan jadi kembali ke sisi kiri tempat kursi berada. Demi kenyamanan dokter Abra memeriksa jadi tadi Kaira memilih mengambil sisi lain untuk dia singgahi.

"Tidur kok Mas, sebentar semalam. Mas Ariz makan dulu ya, obat buat pagi ini juga sudah dianterin sama perawatnya."

Fariz hanya diam saja, tapi menurut ketika Kaira menguapi. Menu sarapan Fariz bubur ayam dengan rasa berantakan di lidahnya-pahit, tidak enak. Ada buah apel dan telur rebus.

"Mas Ara sudah mikirin mateng-mateng soal yang semalam ..." ujar Kaira tiba-tiba, dia juga menghentikan kegiatannya sejenak. Menatap Fariz dalam sedangkan Fariz masih dengan sikap tenangnya balas menatap Fariz. "Jadi istri Mas juga gak mudah. Tapi lihat mas kaya semalem jauh buat hidupku hancur. Sakitnya perlakuan dingin mas, itu gak ada apa-apanya dibanding gak bisa mastiin gimana kesehatan mas sendiri ..."

Kaira lenggang lagi, dia letakkan mangkuk bubur itu diatas pangkuannya, lalu membuang napas panjang. Fariz masih menunggu dalam diamnya, tidak ada ekspresi khusus yang pria itu tunjukkan—hanya datar.

"Untuk kedepan nanti gimana, aku gak tau dan gak mau mikirin itu sekarang Mas. Tapi yang pasti aku mau lakuin sesuai narumiku. Aku pingin rawat mas dengan baik, pingin jadi istri yang baik juga. Buat sekarang aku pengen egois lakuin apa yang pengen aku lakuin tanpa terbebani apa mas nyaman atau enggak. "

Kaira menarik napas dalam. "Biar adil kalau seandainya itu semua sama sekali gak bisa luluhin sampeyan dan justru buat sampeyan muak. Sampean boleh lari menjauh atau bahkan ngelawan dan kalau menyakiti dirasa itu wajar dan buat mas lega silahkan mas lakuin. Aku cuma pengen bertahan dan berjuang sampe selesai. Walaupun belum pasti selesainya itu gimana "

Selepas itu Kaira menegakkan tubuhnya, dia angkat lagi mangkuk bubur yang isinya hanya berkurang tiga sendok. Kaira juga menarik sudut bibirnya lebar-lebar. "Huh, lega pol rasanya. Ayo makan lagi Mas. Ara mau ke HRD habis ini. Mau ambil cuti kalau bisa, kalau enggak ya resign," katanya santai.

Fariz hanya diam, diam seribu bahasa. Di paham arti ucapan istrinya itu "berjung hingga lelah dan akhirnya menyerah". Itu kan maksudnya?

To Be Continued
_____________

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang