HAPPY READING
***
Dugaan Fariz tidak melesat barang satu senti pun. Wanita itu (masa lalu Fariz) datang tidak pakai menunggu nanti-nanti. Pukul sepuluh pagi, selayaknya nyonya besar, dia masuk ke perusahaan Fariz tanpa permisi melewati meja sekretaris dan berniat masuk begitu saja ke ruang kerja Fariz.
Tiara sampai kelabakan—saking paniknya dia hingga tersungkur-sungkur.
"Aduh Mbak Sindi, Pak Bos lagi gak ada mbak," tegur Tiara sambil lari tergopoh-gopoh, menghentikan Sindi (mama Milla) yang sudah menarik handle pintu membuka pintu ruangan Fariz.
Wanita berpenampilan serba merah menyala itu menoleh, rambutnya yang menjuntai panjang hingga mengibas dan beberapa helainya menutupi sebagian wajah penuh make up nya—efek terlalu semangat menoleh. Mungkin wanita itu juga sama terkejutnya mendengar suara menggelegar Tiara.
Tiara berhenti di jarak dua meter dari Sindi, tatapnya spontan jatuh pada tas jinjing berkilap-kilap yang bertengger di bahu kiri Sindi.
Pintu kembali tertutup secara perlahan.
"Aduh sampeyan kok diizini masuk sih mbak sama orang depan..." celetuk Tiara tanpa sadar. Raut wajah Tiara juga tergambar jelas ekspresi tidak sukanya. Tidak ada yang ditutupi.
Tiara memang tidak ingin bersusah payah menutupi apapun. Mereka memang tidak ada masalah, tapi ini menyangkut hidup dan mati rumah tangga atasannya itu akan berkesinambungan juga dengan nasib hidupnya.
Entah mendadak perasaan Tiara jadi tidak enak saja dengan kedatangan wanita dari masa lalu Fariz ini.
"Kemana Fariz Tiara?" tanya Sindi ramah, sudut bibirnya dia tarik lebar-lebar—berusaha untuk ramah.
"Bapak lagi ada rapat Mbak."
"Kapan selesainya?"
"Kurang tau kemungkinan masih lama," jawab Tiara asal, berharap wanita itu menyerah dan pergi. Sayang tidak sesuai harapan Tiara, Sindi justru hanya manggut-manggut. Mereka juga sempat lenggang 20 detik.
Tiara yang belum menyerah kembali mengeluarkan aksinya. "Mbak datang ke sini lagi aja lusa, besok bapak juga ada jadwal di luar, kalau saya gak lupa nanti saya sampein ke bapak kalau sampeyan dateng," bohong Tiara.
"Saya gak bisa kalau harus nunggu besok Tiara. Saya tunggu Fariz sampai selesai aja ..." bantah Sindi dia sudah ingin membuka pintu ruangan Fariz lagi, tapi buru-buru dicegah oleh Tiara.
"Aduh maaf mbak Sindi, bukannya saya lancang sama sampeyan, tapi sampeyan bisa nunggu di ruang tunggu itu aja ya?" Tiara menunjuk sofa di depan meja sekretaris dengan ibu jarinya.
Sindi ikut memandang pada objek yang Tiara maksudkan, lalu pada Tiara lagi sebelum akhirnya mengajukan protes. "Kenapa? Kan dulu sudah biasa saya nunggu di dalam."
Reflek saja mendengar itu Tiara menarik sebelah bibirnya hingga sebelah alisnya ikut terngkat. Wajahnya semakin masam dan hatinya berkomentar heboh, "biasa matamu. Dulu-dulu, sekarang ya sekarang. Siapa suruh nyia-nyiain pak Bos."
"Peraturan baru seperti itu Mbak," jawab Tiara sekenanya.
Sindi tidak mendebat atau sekedar membantah, tangannya terlepas otomatis dari handle pintu lalu mejalan melewati Tiara menuju tempat yang dimaksudkan.
Hanya sepuluh menit Sindi menunggu.
Dari arah Lift terdengar dua langkah kaki yang berjalan mendekat.
Sindi dan Tiara yang sudah kembali ke mejanya spontan bangkit berdiri, menyambut Fariz dengan ekspresi yang berbeda.
Sindi dengan senyum merekahnya sedangkan Tiara dengan wajah pucat pasi dan tangan yang bergetar hebat. Lebih-lebih ketika mendapati penampilan Fariz yang—ah entahlah.
Dua kancing kemejanya terlepas, rambut berantakan sana sini, lengan kemeja yang sudah digulung asal hingga batas siku, wajahnya garang memancarkan aura kegelapan.
Dibelakangnya Tian tak kalah suramnya, tapi pria itu lebih terlihat seperti frustasi juga lelah.
"Sindi kenapa kamu di sini?" ujar Fariz menyapa lebih dulu, ekspresinya terlihat terkejut, tapi hanya sebentar karena sesaat setelahnya Fariz berhasil menguasai diri.
"Fariz ada yang mau aku bicarain sama kamu."
"Soal apa? Saya sedang sibuk," ujar Fariz tak bersahabat.
"Soal hubungan kita," jawab Sindi cepat dan mantap.
Fariz menatap wanita muda itu seksama, diri ujung kaki hingga ujung kepala.
Banyak perubahan yang terjadi setelah bertahun-tahun lamanya mereka tidak bertemu. Sindi yang dulu itu cantik dengan tubuh idealnya dan penampilannya yang elegan. Sekarang justru lebih kearah kurus tak terawat, riasan dan juga penampilannya juga sedikit "glamor" sangat kontras dengan seleranya sembilan tahun silam.
"Hubungan kita sudah selesai sembilan tahun lalu Sindi, setelah kamu sendiri yang memilih meninggalkan saya. Tidak ada yang perlu kita bahas lagi."
"Ada Fariz, ada yang perlu kita bicaraain," bantah Sindi tetap bersikukuh. "Fariz hubungan kita belum selesai," sambungnya.
Fariz terkekeh masam, dia sempat membuang muka sekilas sebelum menatap Sindi remeh.
Wanita ini adalah wanita yang menorehkan luka paling dalam. Wanita yang memberikan harapan setinggi langit juga melemparnya bagai sampah tak berharga. Apa katanya tadi, hubungan mereka belum selesai?
CUIH! Fariz bahkan ingin meludah diwajah wanita itu sekarang. Memuakkan.
"Fariz please, kita perlu bicara. Ini demi kebaikan kita, demi—"
"Saya tidak ada waktu, pekerjaan saya banyak. Jadi mohon maaf silahkan pergi ..." potong Fariz lalu melangkahkan kakinya melewati Sindi, baru juga dua langkah Fariz berjalan dia kembali menghentikan langkahnya, balik kanan dia bersedekap sembari menunjukkan jari-jarinya.
Hanya lima detik, karena Fariz sadar akan kebodohannya. Niat hati ingin pamer cincin pernikahan selayaknya di film-film. Tapi setelah mengangkat kelima jari kanannya dia baru sadar jika benda berkilau itu tak pernah ada. Tolong ingatkan Fariz untuk membeli selepas ini.
Sebagai gantinya Fariz mengangkat kepalanya angkuh, sambil bersedekap dan menatap Sindi merendahkan dia berujar. "Ah iya, saya sudah menikah sekarang. Sepertinya kamu sudah mengenalnya. Dia wanita cantik dan hebat kan? Yang pasti dia menerima saya apa adanya. Jadi mohon jaga sikap anda karena saya tidak ingin istri saya cemburu!"
"Fariz—" seru Sindi sambil melangkah mendekat, terpaksa terjeda dengan Fariz yang juga melangkah mundur sambil melambaikan jari telunjuknya—melarang.
"NO SINDI, istri tercinta saya pencemburu," tegur Fariz lancar.
Sindi reflek berdecih nyaring.
Interaksi mereka berdua tak luput dari pandangan Tian dan Tiara yang saat justru kompak sedang menahan tawa. Tiara hingga membekap mulutnya dengan satu tangan untuk meredam tawanya itu.
Balik kanan Fariz berniat meninggalkan Sindi lagi, tapi lagi-lagi langkahnya harus terhenti disaat dia baru berjalan dua langkah. Kali ini karena ulah Sindi yang mengatakan suatu hal yang saat itu juga berhasil menghentikan langkah Fariz juga detak jantung Fariz beberapa saat.
"Fariz Milla anakmu, dia darah dagingmu. Anak kita, dia butuh kamu Fariz," seru Sindi tanpa jeda dan dengan suara yang cukup lantang, buru-buru wanita itu mendekat dan meraih lengan kanan Fariz tapi buru-buru dihentakkan oleh si empunya.
Fariz sempat mematung lima detik tadi, jelas dia kaget, tapi buru-buru Fariz menguasai diri. Terkekeh nyaring sambil mendongakkan kepala dia berujar, "tidak perlu berbual Sindi. Saya bahkan tidak mengenal anakmu," selepas itu berjalan dengan langkah seribu meninggalkan Sindi yang menatapnya penuh luka dan Tian juga Tiara yang mematung di tempatnya.
To Be Continued
______________

KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)
Любовные романы❌️SUDAH REVISI❌️ Banyak yang berubah guys jadi yg mau baca ulang dijamin tetep dugun-dugun. Buat yang belum pernah baca cus merapat. Dijamin gak akan ada ruginya. Justru nagih Kalau gak percaya coba aja😋 ______________________ Disandera oleh trauma...