Udah dapet 4 bab aja nih. Gimana guys? Lebih enak gaya bahasa yang sekarang atau yang sebelumnya.
Ayo dong ramein! Biar makin semangat nih🤭
THANK YOU
AND
HAPPY READING GUYS
*
*
*Fariz Ziddan Kamran
CEO and FounderPapan nama dengan ukiran tajam dan besar-besar mempertegas seberapa besar kedudukan seseorang yang menjabat. Benda persegi itu berdiri kokoh di atas meja, permukaannya akan berkilat-kilat ketika tersorot cahaya terang.
Fariz menghela napas berulang, keningnya berkerut, tangannya masih dengan gencarnya memijat pelipisnya yang sejak pagi tadi berdenyut nyeri.
Tapi ini bukan soal pekerjaan dan kedudukan yang dia emban. Fariz memang sedang bekerja. Duduk lunglai dengan balutan pakaian kerja lengkap, celana bahan, kemeja lengan panjang yang lengannya dilipat sampai siku. Dasi yang mengendur dan jas yang tergantung di sudut ruangan.
Pikirannya menerawang pada kejadian beberapa jam silam. Masa bodo dengan setumpuk berkas yang seolah berteriak memanggil, dia sedang "galau" sekarang. Tidak nafsu makan, tidak ingin apa-apa. 12 jam dia hanya diam merenung tanpa ada pencerahan. Mentok, buntu.
Mama
Tolong Ariz pikirkan baik-baik permintaan Papa
Satu pesan masuk di ponselnya, lagi-lagi Fariz hanya mampu menghela napas berat-dia seperti diteror oleh kedua orang tuanya. Menyebalkan sekali.
Pukul dua dini hari. Itu yang terlihat di layar ponselnya. Fariz baru sadar jika sudah sejauh ini dia membuang-buang waktu berharganya.
Dia mendengus, mengusap rambut yang sedikit panjang, karena belum sempat cukur dengan kasar lalu mendongakan. Oke, dia benar-benar butuh tidur dan mandi sekarang. Tanpa membuang waktu lebih lama Fariz bangkit menyambar segala macam keperluan nya dan berjalan gontai—balik ke rumah.
Butuh 30 menit, sampai akhirnya dia sampai di kediaman kedua orang tuanya. Pria berumur 36 tahun itu memang masih tinggal bersama kedua orang tuanya. Bukan karena ia tidak memiliki tempat tinggal lain, melainkan karena Lina—ibu tercintanya yang tak pernah ikhlas melepaskan putra gila kerjanya dari jangkauan matanya.
Lina tahu betul tabiat Fariz yang satu itu, tidak bisa diragukan lagi. Bisa-bisa putra semata wayangnya itu akan berbeda alam jika tanpa pengawasan atau ada yang merawat.
"Baru pulang?" suara lembut namun tegas menghentikan langkah Fariz yang baru saja ingin meniti anak tangga pertama, balik kanan Fariz menoleh ke sumber suara. Melihat Lina yang tengah bersedekap di depan pintu kamarnya masih mengenakan mukena berwarna biru tua.
"Sampai kapan kamu mau gini terus hem?" tanya Lina lagi.
Fariz menghela napas panjang, memejamkan kedua matanya erat dan membukanya lagi setelahnya. "Kenapa? Capek, atau ngantuk?" cecar Lina. Fariz tak minat menjawab.
"Kamu memang pingin Mamamu ini cepat mati kok Fariz."
"Ma—" baru saja ia ingin membantah, Lina lebih dulu memotongnya.
"Kenapa? Keberatan? Mau kamu duluan atau Mama duluan yang mati? Kamu pikir kamu bakal terus sehat dengan pola hidup kacau kayak gini?"
"Mama kok ngomongnya gitu sih?"
Lina terkekeh sinis. Membuang pandangannya sekilas sebelum akhirnya menatap Fariz nyalang lagi. "Lah gimana? Kalau bukan kamu yang mati duluan berarti Mama kan? Apa Mama salah? Mama mati karena tiap hari harus mikirin tingkahmu itu. Kamu mati karena pola hidupmu berantakan. Mama pusing mikirin kamu itu, Ariz ... Ariz ...."
"MA STOP MA!" Cela Fariz sedikit meninggi. "Ariz tu capek Ma, butuh tidur, mandi. Tolong kasih Ariz waktu itu kali ini aja. Ini juga hampir pa—"
"Hampir pagi? Iya?" Lina menyela. "Itu kamu tau, kenapa baru pulang? Bosan hidup atau bosan lihat Mama kamu?"
"MA—"
Semakin Fariz meninggikan suaranya, semakin Lina juga tak terbantahkan. Ia justru menarik keningnya-bertanya tanpa kata.
Tapi Fariz justru buang muka, dia juga menghela napas sambil berkacak pinggang. Muak tapi juga takut dosa. Dia sadar sudah keterlaluan malam ini, tak bisa mengontrol emosinya seperti biasa. Andai saja Fariz tidak sedang sekalut ini pasti dia akan diam saja sebanyak apapun Lina mengomel. Seperti biasanya.
"Lupa pulang, lupa makan, lupa tidur. Dikira itu badan robot? Robot cleaning aja istirahat, cast baterai." Sewot Lina.
"Ariz sudah tidur kok tadi-"
"Lagu lama." Potong Lina meremehkan. Tapi Fariz memang tidak bohong, walau Lina tidak percaya. Tadi Fariz memang sempat tidak sengaja tertidur mungkin 15 menit, karena kelelahan dengan tekanan mental. Paksaan, desakan menikah yang tidak ada slow.
Lina terkekeh. "Lain kali kalau mau bohong, lihat dulu siapa yang kamu bohongi anak bau kencur!"
Kok, mustahil jika Fariz tidak tersungut emosi rasanya. Tapi mau membantah kok-ah sudahlah. "Diam itu emas," kata orang.
Tapi Lina ya Lina, si ibu rempong dengan mulut seribunya. Identiknya wanita—banyak bicara.
"Mama aja sudah nglilir, sudah salah Tahajut. Sudah mau tidur lagi terus bangun lagi siapin sarapan. La kamu—" ucapan Lina menggantung. Fariz masih diam saja. Tidak minat membantah dan berujung dosa
"Boro-boro salat tahajud, tidur aja katanya gak sempet. Mama sudah gak tau mau gimana ngatasin kamu tu. Kalau Mama mati besok kali kamu baru mau nurut."
"Mati terus ... mati terus. Gak ada kata-kata lain selain MATI tah Ma? Kalau Mama terus bilang Mati, semoga besok Ariz yang mati biar Mama puas ..." balik kanan Fariz, seribu langkah Fariz meninggalkan Lina yang membatu.
To Be Continued
_____________

KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)
Romansa❌️SUDAH REVISI❌️ Banyak yang berubah guys jadi yg mau baca ulang dijamin tetep dugun-dugun. Buat yang belum pernah baca cus merapat. Dijamin gak akan ada ruginya. Justru nagih Kalau gak percaya coba aja😋 ______________________ Disandera oleh trauma...