RCDD | 24. Hari Menegangkan

31.4K 1.2K 5
                                    

Maafkan typo ya bertenaran guys. Silahkan koreksi jika berkenan😘

HAPPY READING

***

Malamnya Fariz merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Badan nya tiba-tiba meriang—menggigil, lemas, pegal dimana-mana. Suhu tubuh meningkat drastis, kepalanya sakit seperti tertimpa puluhan ton batu.

Dia sudah merasa gejala seperti ini sejak beberapa hari yang lalu. Paling sering demam dan pusing. Tapi rasanya tidak sedahsyat ini. Fariz tidak kuat lagi. Dia memutuskan keluar ruangan—menari pertolongan.

Perhitungannya tepat sasaran. Sepuluh langkah Fariz berjalan di lorong kantor, dia menemukan langkah kaki yang berjalan mendekat, disusul teriakan seseorang, "Astagfirullah pak bos Fariz." Orang itu pak Manut lagi, sedang patroli malam.

"Pak Manut tolong saya—"

"Iya pak Bos saya antar ke rumah sakit ya?"

"Tolong hubungi istri saya aja pak. Ponsel saya ada di kantong celana sebelah kiri," ujar Fariz setengah berbisik—lemas. Tenaganya seolah tersedot habis hingga sekedar berbicara saja dia tidak punya tenaga. Tapi sudah seperti itu pun Pak Manut justru menganggapnya tengah bergurau.

"Bos jangan bercanda lah, sudah sakit begini masih saja mengajak bercanda. Ayo saya antar ke rumah sakit terdekat!"

Fariz menggeleng lemah, dia menepuk berulang kali punggung Pak Manut yang sedang memapahnya meminta untuk Pak Manut menghentikan langkah mereka. Pak Manut menuruti, dia sandarkan lagi tubuh Fariz di dinding. "Tolong pak, hubungi istri saya. Saya sudah tidak kuat lagi rasanya."

"Eh tidak bercanda to ternyata ..." celetuk Pak Manut, Fariz jadi teringat percakapan mereka tadi pagi. "Ya sudah mana Hpnya pak Bos?"

"Di Kantong celana kiri."

Setelah mengucapkan kata permisi pak Manut mengulurkan tangannya mengambil benda itu. Cukup sulit karena tubuh Fariz yang semakin lama semakin condong ke kiri karena tidak kuat menopang berat badannya sendiri. "Ini sandi nya apa bos?"

"120623." Itu tanggal pernikahan. Dulu sewaktu Lina masih ada, wanita itu sering bertanya random. Jadi agar tidak lupa Fariz mengatasinya dengan hal semacam itu. Tidak mau ambil resiko.

My Wife, itu namanya. Pak Manut menemukannya setelah bertanya dengan Fariz. 20 detik si empunya baru menerimanya—panggilan terhubung. Pengeras suara diaktifkan, suara lembut mendayu-dayu terdengar dari seberang sana. Pak Manut sempat melirik Fariz dulu sebelum menjawab.

"Ah maaf ibu Bos. Ini saya satpam di kantor Pak Bos Fariz. Ini pak Bos sakit bu. Beliau minta tolong saya hubungi sampeyan. Ini mau gimana ya bu? Pak Bos mau saya bawa ke rumah sakit terdekat gak mau soalnya."

"Astagfirullah. Lalu ini suami saya dimana Pak? Berikan dulu ponselnya dengan beliau? Saya ingin bicara."

Mendengar suara Kaira yang nampak tenang dan was-was. Fariz tebak gadis itu belum memiliki nomor ponselnya dan sepertinya belum percaya jika yang menghubungi ini orang suruhan suaminya.

Fariz sempat terbatuk sekali sebelum mulai bicara. "Kaira ini saya. Bisa tolong kamu jemput saya?" Terbukti setelah mendengar suara Fariz nada suaranya berbeda. Jauh dari kata tenang—terdengar sekali paniknya.

"Dimana bapak itu tadi Mas?"

"Saya di sini Bu." Jawab Pak Manut.

Terdengar suara riuh memanggi-manggil Kaira dari seberang sana. Gadis itu juga sempat berbicara lebih dulu dengan rekannya. "Tolong ditangani dulu ya sus! Sebentar lagi saya ke sana." Itu kata Kaira yang mereka berdua dengar. "Halo pak. Apa masih disana?" Pak Manut menjawab "iya" sambungan masih terhubung.

"Pak saya minta tolong dengan sangat. Tolong bawa suami saya ke Rumah Sakit Jiwa Saida Hospital ya pak! Saya tunggu di sini. Saya takut kalau saya yang jemput justru terlalu lama."

"Bisa bu. Saya bawa Pak Bos ke sana sekarang."

"Ini gimana kondisi suami saya pak?" Kaira bertanya.

"Pak Bos badanya panas banget bu, menggigil juga, badan nya lemas ..." pak Manut menatap Fariz lebih cermat, Fariz yang sedang memijat keningnya sudah tidak perduli lagi dengan sekitar. "Sakit kepala juga kayaknya."

Terdengar helaan napas gundah dari seberang sana. "Di sana ada kotak obat tidak pak?"

"Ada bu ada dipentri ada."

"Di ruangan saya juga ada pak." Fariz menyahut. Kaira bisa mendengar itu juga karena memang pengeras suara masih di aktifkan.

"Saya minta tolong pak. Sementara Mas Fariz tolong kasih obat paracetamol dulu, kalau tidak ada ibuprofen juga gak papa Pak. Tolong ya pak."

Pak Manut mengamati Fariz dari atas sampai bawah, tampak menimbang-nimbang. "Sebentar bu saya ambil dulu." Dia bawa ponsel itu bersamanya meninggalkan Fariz seorang diri dan lari terbirit-birit.

Tidak butuh waktu lama, satu menit dia sudah kembali lagi. Pak Manut berjongkok, dia letakkan ponsel Fariz dilantai begitu pula kotak obatnya. "Adanya panadol itu. Ibu tadi bilangnya obat apa ngeh?"

"Itu gak papa pak. Panadol yang warna apa pak?"

"Biru bu."

"Kasih itu aja gak papa pak, kalau ada roti atau biskuit juga tolong suruh makan dulu walaupun cuma sesuap. Mas ... Mas Ariz masih dengar suara Ara kan?"

"Masih ... ya saya akan makan."

Setelah semua terkendali, Kaira baru mematikan sambungan telepon. Dia harus menyiapkan segalanya untuk kedatangan Fariz. Agar saat suaminya datang tindakan bisa langsung dikerjakan. 

To Be Continued
_____________

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang