RCDD | 46. Yang Terlihat

27K 945 11
                                    

Hayo nunggu ya? 🫣 yuk ramein. Kalo banyak yang komen besok author up.

See you and ...

HAPPY READING

***

Bohong jika Kaira mengatakan hatinya baik-baik saja. Istri mana yang tidak kecewa juga sakit hati mendengar suami yang begitu dia gilai dan cintai memiliki momongan dengan wanita lain. Gila, ini benar-benar berita gila hingga rasanya ia tak mampu berkata-kata andai tak ada sekelebat ingatan yang muncul saat itu juga.

"Wah, serius? Bagus dong mas ..." jawab Kaira kala itu setelah sepuluh detik terpaku. Wajahnya merah padam, bibirnya bergetar begitupula dengan kedua tanyan yang sudah meremas gamis erat-erat.

"Ara bermasalah mas. Selama ini Ara khawatir gimana cara Ara bilang sama Mas. Papa pasti mengidam-idamkan cucu. Apalagi papa suka banget sama anak-anak," dia menghela napas, "akhirnya masalah satu ini terpecahkan," ujarnya seolah begitu lega.

Fariz menatap wanitanya dengan ekspresi bingung yang begitu ketara, tatapan matanya seolah menghunus tapi Kaira bersikap seolah tidak terjadi apapun. Wanita itu berusaha tersenyum, dia raih tangan kanan Fariz yang terbebas dari selang infus dan Kaira remas kecil. Keduanya bisa merasakan perbedaan suhu tubuh masing-masing—tangan Kaira yang terlampau dingin mencengkram sedangkan Fariz hangat.

"Kita sudah lama menikah, rutin juga berhubungan. Pasti Mas sama kayak Ara kan bertanya-tanya kenapa Ara kok gak hamil-hamil. Ara juga loh mas, jadi Ara coba periksa ke-"

"Apa ini caramu ingin terlepas dari saya Kaira?" sambar Fariz memotong pembicaraan Kaira.

Kaira mendengar penuturan suaminya itu otomatis langsung bungkam, nentranya berkedip-kedip—tidak paham.

Fariz justru terkekeh, pria itu juga buang muka dan SREK! Tangan Fariz terlepas dari genggaman Kaira. "Setiap hari saya bertanya-tanya kapan kamu akan meninggalkan saya, apa alasan yang akan kamu gunakan. Saya tidak menyangka jika wanita sepertimu pandai memanfaatkan keadaan secepat ini."

"Tapi Mas aku—"

"Silahkan pergi! Saya ingin sendiri." Fariz membaringkan tubuhnya, memunggungi Kaira yang hanya diam dengan segala kebingungannya. "Tolong keluar SEKARANG Kaira!" titah Fariz sedikit meninggi. Kaira tidak punya pilihan selain pergi saat itu juga.

"Jadi alasan apa yang mau kamu pakai buat jelasin ke papa Fariz?" Dalam ruang rawat Fariz. Bian diantar Tian sudah duduk di kursi saling bersitatap dengan Fariz. Yang satu sedang menahan amarah sedangkan satunya terlihat takut namun juga berusaha untuk tenang.

"Sindi itu mantan kamu yang pertama kan?"

"Kedua Pa." Fariz meluruskan.

"Yang pergi ninggalin kamu karena kamu melarat waktu itu?" Fariz diam saja. "Jadi sebesar apa anak mu sekarang?"

"Dia bukan anak Ariz Pa." Bantah Fariz.

"Pernah melakukan?" Bian bertanya, pria tua itu masih berusaha lembut juga sabar. Padahal dalam hatinya sudah gondok ingin mengamuk dan mencaci maki.

"Tapi anak itu beneran bukan anak Ariz Pa," jawab Fariz yang secara tidak langsung membenarkan jika mereka memang pernah melakukannya.

Bian mengusap wajah juga menghela napas keras. "Lakukan tes DNA baru Papa percaya."

"Tapi anak itu memang bukan anak Ariz, Ariz—"

"Kamu bisa jamin? Atas dasar apa kamu bisa seyakin itu kalau kalian belum tes DNA?"

Giliran Fariz yang kini membuang napas gusar, pria itu juga mendongakkan kepalanya sebelum menjawab, "Ariz mandul Pa ..."

KRIK! KRIK! KRIK!

Andai ada jangkrik mungkin saat ini terdengar seperti itu, tapi yang terdengar hanya dengung pendingin ruangan dan lemari pending yang mesin otomatisnya menyala dan berhenti setiap sepuluh menit sekali-selama itu mereka saling adu bungkam.

"Aku dan Kaira mungkin akan berpisah Pa ..." celetuk Fariz setelah sekian purnama.

Bian menyerngit—tidak paham dan Fariz menjelaskan. "Ya untuk apa lagi dipertahankan, dia juga gak bahagia jadi istri Ariz."

"Mantu Papa bilang begitu?"

"Dia bahagia waktu Ariz bilang Ariz punya anak dari wanita lain," Fariz meluruskan. "Dia justru bilang bagus alih-alih marah. Mantu kesayangan Papa itu pintar memanfaatkan keadaan Pa," lalu ia terkekeh getir.

Bian menghela napas, berdecak juga sekali. Situasi ini begitu rumit dan serba salah. Bian merasa menjadi ayah yang buruk. Pantas tidak ada menantunya sejak ia datang tadi, padahal Bian sudah membawa aneka makanan ringan untuk menantunya itu. Tapi entah mengapa Bian juga meragukan semua ucapan putranya itu. Benarkah menantunya seperti itu? Kok rasanya mustahil, itu pikirnya.

"Papa gak perlu khawatir. Anak itu bukan anak Ariz. Masalah Abi nanti Ariz bakal nemuin Abi sendiri setelah keluar dari Rumah sak—" ucapan Fariz terpaksa terhenti karena terdengar ketukan pintu satu kali disusul daun pintu yang terbuka dari luar.

Itu Kaira beserta Albi dan Silfi. Senyum di wajah Kaira begitu merekah meski kedua matanya sedikit bengkak. Silfi meletakkan buah tangan diatas meja depan sofa, Albi dan Kaira menghampiri Bian, berjabat tangan lalu menemui Fariz. Terpancar sekali aura dingin Fariz sekalipun Kaira menyalaminya dengan senyum yang merekah ruah.

"Jangan terlalu dipikirin pekerjaan itu Le, kalau sakit yang sedih kan semua orang. Istrimu tu sampe seharian tadi nangis-"

"UMMI ..." Kaira menegur. "La yo Ummi kan bilang apa adanya. Iya kan Abi ..."

Albi hanya terkekeh tidak membela keduanya sedanhkan Bian hanya tersenyum kecil. "Gimana kata dokter Nak, kapan bisa pulang?"

"Dokter Timo lagi keluar kota Abi, besok sore beliau baru bisa periksanya. Abi sama Ummi gimana kabarnya?" jawab Fariz canggung.

"La kok tegang men to Le ... Le ... Abi sama Ummi ya gini-gini aja, sehat. Kita yo baru seminggu gak ketemu to. Kamu malah mondok gini. Anak Ummi gak bikin kamu darah tinggi jadi tertekan to? Apa jangan-jangan Ara banyak maunya." Silfi yang menjawab.

"Ummi-" Kaira menegur Silfi lagi, wanita berkerudung panjang itu hanya terkekeh sedangkan Kaira sudah cemberut maksimal. Silfi mendekati keempatnya, menyapa Bian dengan anggukan kepala—dibalas dengan hal serupa oleh Bian lalu berjabat tangan dengan menantunya.

"Oh iya Mas ... Ummi masak sop buntut loh tadi. Sama Ara juga, tapi ara cuma bantu kupas wortel sama kentangnya aja. Eh, motong-motong juga deng."

"Ummi bawain banyak, ada bakwan udangnya juga. Istrimu nah Le, disuruh makan dirumah aja biar bawaannya gak berat tetep aja ngeyel katanya mau makan bareng kamu aja." Ujar Silfi, Fariz dan Bian serepak menatap Kaira yang nampak malu-malu.

Setelah itu Bian, Albi dan Silbi berbicang bersama sedangkan Kaira dan Fariz melahap bekal buatan Silfi dengan Kaira yang menyuapi Fariz juga dirinya sendiri. Semua itu atas usulan Bian tentu saja. Jelas dia tidak ikhlas kehilangan menantu kesayangannya. Dasar tua bangka banyak maunya.

To Be Continued
_____________

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang