RCDD | 12. Wejangan Menuju

1.2K 55 0
                                    

AUTHOR LAGI SEMANGAT UPDATE NIH

JADI

HAPPY READING GUYS

Mohon tinggalkan jejak jika berkenan. Komen-komen manjah diharapkan 

*
*
*

Di kediaman Kaira. Sibuknya bukan main.

Silfi yang paling antusias menyiapkan ini dan itu. Mau kedatangan "tamu agung" katanya. Albi juga libur mengajar. Katanya ini hari spesial, harus disiapkan sebaik mungkin. Padahal acaranya saja masih nanti malam.

Yang lain saja libur apalagi si calon manten, dari pagi hingga siang ini dia hanya terkurung di dalam kamar. Silfi tidak mengizinkannya melakukan hal apapun selain untuk dirinya sendiri. Hiruk pikuk dari arah dapur tidak mempengaruhi dirinya untuk diizinkan sekedar melihat.

Mulut dan tubuh diam, tapi tidak dengan hati dan pikirannya yang terus gelisah. Kaira masih belum menyangka jika akan dipinang se-mendadak ini. Rasanya seperti mimpi, tapi ketika melihat gamis biru navy bahan brokat yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Rasanya kok mustahil jika ini hanya mimpi. PLAK! PLAK! PLAK! Berulang kali Kaira menampar pipinya sendiri. "Cuma mimpi, cuma mimpi," harap-nya dan PLAK! AW! Sakit sekali. Dia tidak sedang mimpi.

"Kok belum jadi tidur Nak. Katanya tadi mau istirahat sebentar?" ini kunjungan Silfi yang kelima di kamar Kaira selama sehari ini. Entah mengantar makanan, atau sekedar memastikan Kaira sedang apa. "Ummi mau tau aja Ara lagi apa." Itu jawaban yang Silfi berikan ketika Kaira bertanya ada apa.

"Gak bisa tidur ya? Semalam juga?"

Kaira diam saja—tandanya benar. "Wajar kalau deg-degan mah. Ummi juga dulu gitu. Ummi dulu malah takut rasanya."

"Ummi juga dijodohin gini?"

Silfi tersenyum simpul, dia duduk di pinggiran ranjang putrinya. Pintu dibiarkan terbuka. Sedangkan Kaira duduk bersandarkan sandaran ranjang. Dengan mantap Selfi mengangguk. "Ummi dulu malah baru umur 18 tahun. Walaupun waktu itu badan Ummi sudah kelihatan dewasa karena tinggi dan gemuk, tapi usia itu gak bisa bohong kan nak?" Silfi bertanya, Kaira membalas dengan anggukan. Wanita tua itu kembali melanjutkan ceritanya.

"Dulu mental Ummi benar-benar belum siap. Ummi tertekan, keberatan. Menyalahkan nenek, kakek bahkan juga Allah. Tapi ... nenek bilang gini sama ummi. 'Hidup, mati, jodoh, rezeki itu sudah ada yang mengatur. Kita hidup itu ibarat wayang dan Tuhan itu dalangnya'. Waktu itu umur ummi belum cukup mencerna itu semua selain 'oh berarti memang harus nurut'. Gak tau kalau ada makna terdalam yang Nenek sampaikan itu."

"Kaira tau apa maksudnya?"

"Perkada takdir kah Ummi?"

Silfi mengangguk, dia diam lima detik—menatap Kaira dalam. "Lebih tepatnya, kita manusia itu nasib hidupnya sudah dituliskan. Kaira pernah baca novel kan?" Kaira mengangguk, jelas siapa yang belum pernah baca novel. Setidak sukanya manusia pada buku dan membaca pasti pernah mencoba untuk membaca, minimalnya baca cerita di buku pelajaran bahasa Indonesia.

"Novel itu isinya tentang kisah si tokoh utama betul?" Kaira mengangguk lagi. "Dan itu ada pengarang nya betul?" tidak ada lain hal yang bisa Kaira jawab selain mengangguk. Dia seperti digiring oleh Silfi masuk ke dalam pembahasan melalui pertanyaanya.

"Nah hidup ini ibarat novel sayang. Setiap manusia itu tokoh utama dalam ceritanya masing-masing yang Allah buat. Jadi sederhananya kaya Allah itu penulis novel terhebat lah yang bisa nyiptain cerita-cerita sebanyak dan sekopleks itu."

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang