RCDD | 20. Kuatnya Kaira

31K 1K 2
                                    

HAPPY READING

***

Fariz yang dasarnya sudah pendiam, semakin pendiam bahkan tak tersentuh meninggalnya Lina. Komunikasinya dengan Kaira semakin hari semakin buruk, jarang bertemu karena Fariz semakin jarang pulang. Gila kerjanya sampai mencapai level kronis.

Pernah sekali Fariz pulang ke rumah. Hari minggu jam empat sore. Datang-datang langsung masuk kamar. Kaira yang sedang belajar memasak-masak sop iga, sampai berulang kali mengusap mata-memastikan penglihatan nya. Niatnya mau dia kirim ke rumah mertuanya juga.

Bian sudah balik dari rumah sakit setelah satu minggu dirawat. Selama itu Kaira hilir mudik siang ke rumah sakit menjaga Bian, malamnya tahlilan di rumah mertuanya. Begitu terus sampai dia ambil cuti satu minggu full.

Tiga hari jatah cuti kerabat dekat meninggal, empat harinya mengambil cuti tahunan Kaira yang tersisa. Semua demi suaminya yang justru tak pernah menganggapnya ada, melihat batang hidungnya saja selama seminggu itu tidak. Fariz layaknya hilang ditelan bangunan kantor.

"Mas bangun sebentar yuk! Salat magrib dulu, makan, habis itu tidur lagi gak papa." Kaira usap lengan Fariz yang tidur menyamping pelan-pelan, suaranya juga lembut mendayu-dayu. "Mas ..." panggil Kaira lagi.

Terakhir kali yang Kaira tahu, Fariz ini tipikal yang peka akan sentuhan. Disentuh sedikit saja langsung bangun. Namun ini usapan Kaira semakin gencar pun sekedar bergerak pria itu tidak melakukanya.

"Badan Mas juga agak panas loh ini. Ara siapin obat ya? Mas makan dulu nanti minum obat. Ara juga sudah masak kesukaan Mas, mas suka sop iga-" PLAK! AW! Reflek Kaira bangkit lalu mundur dua langkah, tanganya memegang pipinya yang memanas-Fariz menyakitinya. Pria itu menyibak tanganya-berniat melepaskan tangan Kaira dari lengannya. Tapi terlalu kencang hingga mengenai pipi istrinya.

"Bisa kamu biarkan saya tenang sehari saja? Saya muak mendengar ocehanmu. Urus saja dirimu sendiri."

Kaira terisak, suara Fariz keras sekali hingga menembus jantungnya. "Jangan lemah, saya tidak akan membentakmu jika kamu tidak kelewat batas. Jangan seperti dia yang merusak hidup saya, merenggut kebahagiaan saya. SANA PERGI!"

Tepat satu detik setelah Fariz mengatakannya Kaira balik kanan, dia lari tergopoh-gopoh keluar dari kamar mereka.

Bodohnya Kaira tidak ada jeranya, dia tahu hatinya sakit. Mentanya tercabik-cabik tapi dalam sedihnya dia masih mendoakan suaminya.

Dibalik pintu dia mendongakkan kepalanya, matanya terpejam dan berujar. "Ya Allah lindungi suami hamba, ketuk pintu hatinya dan maaf kan lah kesalahan nya." Selepas itu sembari memegang dadanya dia berusar lagi. "It's okay Kaira. Ada Allah, Kaira punya Allah yang maha segalanya. Ini yang terbaik menurut Allah buat jalan hidup Kaira ..."

Fariz keluar dari kamar setelah pukul sebelas malam. Tenggorokannya kering, air di teko yang biasa tersedia di kamar habis. Buka pintu justru langsung disuguhi pemandangan istrinya yang meringkuk di atas sofa ruang keluarga, tanpa selimut dan terus mengigau, "ummi ... ummi sakit." Itu yang keluar dari mulut Kaira.

Buru-buru Fariz berjalan mendekat, "hei Kaira. Bangun!" sambil mengguncang bahu Kaira cukup keras.

Kaira membuka mata perlahan, melihat sosok Fariz dia terbelalak lebar, spontan menjauhkan tubuhnya. Mundur, semakin melesak pada sandaran sofa. Sorot matanya memancarkan kewaspadaan yang tinggi-Fariz bisa melihat itu, sangat jelas.

"Saya tidak akan menyakitimu. Kamu bisa bangun? Pindah kamar badanmu demam."

"Mas sudah minum obat?" Kaira justru bertanya lain.

"Kamu yang sakit, kenapa saya yang harus minum obat. Ayo bangun! Tidur di dalam." Setelah itu dia membantu Kaira untuk bangkit dan berjalan masuk kedalam kamar.

Setelah dirasa Kaira nyaman dalam tidurnya pria itu segera berlalu dan entah kemana. Yang pasti pagi harinya Kaira bangun tidur tidak ada Fariz di seluruh penjuru rumah.

***

Sakit di pipi Kaira akibat Fariz semalam syukurnya tidak meninggalkan bekas. Hanya sedikit nyeri saja jika disentuh. Jadi pagi itu Kaira bisa masuk kerja tanpa harus membuat orang lain berpikir yang tidak-tidak.

Tapi sampai rumah sakit justru disuguhi kondisi rumah sakit yang sedang tidak baik-baik saja. Biasanya sepanjang lorong Kaira bertemu dengan beberapa pegawai yang ingin sarapan atau apapun saja lah, tapi hari ini hanya bertemu satu dua orang saja, itupun mereka nampak tegang.

"SUS, orang-orang pada kenapa ya? Kok sepi banget perasaan?"

Suster Tere yang sedang sibuk menghitung uang di depan lokernya terlonjak kaget, dia sampai terjingkat dan reflek memeluk dompet dan uangnya. "Astaga dok, ngagetin aja loh."

"Maaf-maaf, gak sengaja saya sus."

"Lah yang lain belum datang sus? Partner sampean karu Sinyo kan sus? Saya kira tadi saya loh yang paling terlambat."

"Lagi pada dipanggil ke ruang direktur dok."

"Karu Sinyo?" Tanya Kaira memastikan.

Suster Tere meluruskan. "Sama dokter Boy juga."

"Lah ngapain? Bagi-bagi THR?" Lalu Kaira terkekeh renyah. Tapi suster Tere justru tidak ikut tertawa, wajahnya tetap datar. Kaira jadi makin bingung. Tidak biasanya.

"Kasus pasien keroyok masal waktu itu ada yang gelang hitam dok," di Saida Hospital pasien gelang hitam itu diperuntukan untuk pasien yang meninggal dunia, biasanya mereka menyebut pasien meninggal dengan sebutan pasien gelang hitam, pasien hitam atau pasien plus (tanda tambah).

"Astagfirullah, terus gimana sus? jadi kasus?"

Suster Tere mengangguk, bahunya melorot, wajahnya sedih. "Keluarnya gak terima dok, sudah gitu meninggalnya masih dalam perjalanan balik dari sini mau dibawa ke polda Semarang. Mereka pasien tahanan, dari awal memang datangnya sama polisi jadi ya gitu dok ribet." suster Tere membuang napas gundah.

"Sudah hampir seminggu ini kasus diproses dok. Katanya ini hari terakhir, tapi ya entah. Semoga gak sampe masuk jalur hukum lah dok."

Kaira meng-Aamiin kan langsung. "Kasian banget dokter Keisa. La terus dokter Boy gimana sus?"

"Katanya kemarin sih beliau gak terlalu keseret dok, soalnya kan posisinya emang genting banget. Lebih darurat yang ditangani dokter Boy malah. Kalau dokter Keisa itu yang ruwet katanya dok."

"Ruwet gimana?"

"Ya keluarga tetep menuntut, tapi direktur tetep kekeh buat nolak dengan alibi dokter Keisa masih dokter magang. Belum benar-benar selesai masa pendidikannya kan sama aja?" Kaira menjawab dengan anggukan. "Tapi dengar-dengar mereka memang sudah di briefing sama direktur dari saban hari dok. Pihak atas pasti punya solusi lah dok. Tapi mereka ditanya tetep gak ada yang buka suara"

Kaira percaya itu, menyangkut nama baik rumah sakit soalnya. Mereka saling diam beberapa menit, Kaira sampai sudah selesai merapikan perlengkapannya dan sudah siap dengan jas dokter dan juga stetoskopnya. "Eh, turut berduka cita ya dok buat meninggalnya nenek dokter Kiara. Saya sampai lupa saking asiknya cerita soal tadi."

Kaira tersenyum simpul juga mengangguk. Semua orang tahunya memang yang meninggal hanya nenek Kaira saja tidak dengan mertuanya juga-belum ada satupun yang tahu jika Kaira sudah menikah.

To Be Continued
____________

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang