HAPPY READING
***
Mereka datang 30 menit lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. Kepergian Fariz menjadi penyebabnya. Tapi Bian sudah mengabari calon besan dan syukurnya mereka siap menerima.
Pukul enam lewat tiga puluh menit keluarga besar Fariz. Si calon pengantin, Bian, Lina, Pakde dan Bude dengan satu mobil Avanza berisi buah tangan sampai di kediaman Kaira. Si tuan rumah, Albi dan Silfi sendiri yang menyambut.
Ramah tamah singkat diikuti singgung menyinggung hingga akhirnya sampai di puncak acara.
Ya seperti pada umumnya, semula si calon mempelai wanita di dalam kamarnya. Lalu dipanggil, mereka dipertemukan. Fariz mematung, tanpa berkedip dia menatap sosok anggun yang kini dipapah sepupunya mendekat ke arahnya. "Cantik kan pilihan Mama—" bisik Lina di telinga kanan Fariz.
"Kalau Papa sih ini gak bakal nolak. Papa nikahin langsung." Bian di telinga Kiri.
Eh, spontan Fariz menoleh. Menatap Bian nyalang. Yang ditatap hanya angkat bahu sekali.
"Emm ... maaf Abi, kalau seandainya hari ini tidak jadi lamaran bagaimana?" celetuk Fariz tiba-tiba. Semua pandangan tertuju padanya. Lina sudah menatap nyalang—siap menerkam putranya hidup-hidup.
Kaira yang sudah berlutut ingin duduk terhenti, dia menatap Fariz. Sama halnya dengan Fariz yang menatapnya.
Mereka berkumpul di ruang keluarga rumah Kaira, yang pernak perniknya sebagian sudah disingkirkan. Duduk lesehan beralaskan ambal tebal—memutar. Banyak hidangan makanan ringan di tengah-tengah mereka.
"Maksud nak Fariz bagaimana? Nak Fariz tidak suka dengan putri Abi?" Albi bertanya, nada suaranya memang terdengar tenang—setenang air. Tapi tatapan tajamnya seolah menuntut penjelasan. Tak gentar Fariz balik menatap Albi. "Saya ingin menikahi putri sampeyan langsung. Apa boleh?"
KRIK! KRIK! KRIK!
Andai ini di desa tempat nenek Kaira tinggal pasti sudah terdengar suara jangkrik malam yang suaranya nyaring sekali—saking heningnya.
Silfi dan Bian kompak melongo, Albi dan Silfi mematung. Kaira lemas langsung duduk, dengan sigap sepupunya menahan tubuhnya agar tidak limbung ke belakang.
"Wooo ... sabar Le. Nganggo rem mbarang to. Ojo main trabas-trabas." (Woo ... sabar nak. Pakai rem juga to. Jangan terobos-terobos)
Fariz menoleh, dia menatap si yang berbicara. Itu pakdenya Kaira. Namanya Pakde Wiro, dia juga yang menyambut kedatangannya dan keluarga tadi. Orangnya memang lucu dan tidak ada takutnya.
"Mama setuju, jika memang ustad Albi tidak keberatan dan nak Kaira juga bersedia saya setuju. Lebih cepat lebih baik, kita juga tidak tau umur kan?"
"Nak Fariz yakin tidak ingin lebih kenal dulu dengan Kaira? Setidaknya tanya-tanya? Tidak terlalu buru-buru?" Albi bertanya.
Pandangan Fariz terpusat pada Kaira saat itu juga, sedangkan Kaira justru menunduk dalam—jantung nya sedang berdemo hebat. "Aku gak lagi takikardia kan?" ujar Kaira dalam hati. pasalnya detak jantungnya memang berdetak melebihi normal. Suaranya pun keras sekali. DUK! DUK! DUK!
"Ada satu hal yang ingin saya tanyakan pada Kaira. Apa boleh?"
Kaira mendongak—pandangan mereka bertemu. Malu-malu Kaira mengangguk. "Sedikit banyak mungkin kamu sudah tau tentang saya. Mereka tidak berbohong dan tidak melebih-lebihkan. Saya memang gila kerja. Bagaimana pendapatmu?"
Netra Kaira spontan berkedip-kedip. Dia mematung cukup lama, tapi selama itu tidak ada yang menyela. Hanya tatapan semua orang yang kini berpusat padanya. Harap-harap cemas dari Fariz dan keluarganya. Ekspresi ambigu dari keluarga Kaira terlebih Silfi. Seperti belum menginjak daratan.
"Segila apa?"
"Segila dalam bayanganmu. Saya bisa lupa makan dan lupa pulang."
"Apa setelah menikah juga akan tetap tetap seperti itu?"
Kali ini Fariz yang bungkam. "Saya tidak tau, tergantung sejauh mana kamu bisa merubah saya."
"Tapi apa yang ada dalam diri sampeyan hanya sampeyan yang bisa merubahnya Mas. Bukan atas dasar orang lain atau perintah orang lain. Tapi atas kesadaran diri Mas sendiri."
SKAK MAT. Fariz mati kutu.
"Saya gak bisa janji, tapi jika saya mengatakan ingin belajar apa kamu menerima?" tanya Fariz lagi.
Alih-alih menjawab, Kaira justru menatap Albi yang duduk cukup jauh darinya. Albi duduk berserongan dengan Kaira ataupun keluarga Fariz. Ditemani Silfi.
Ayah dan anak itu saling adu pandang dalam diamnya. Cukup lama sampai satu menit. Seakan berdiskusi tanpa kata.
Helaan napas berat terdengar dari Kaira. "Dari awal menerima semua ini. Saya tidak berharap apapun pada siapapun terlebih sampeyan Mas. Ini perkara bakti saya pada Abi Ummi. Abi bilang Abi punya firasat baik, petunjuk Allah Insya Allah. Semua petunjuk Allah itu baik meskipun nanti endingnya buruk di mata kita—"
"Jadi?" tanya Fariz tidak sabaran. Dapat hadiah cubitan maut dari Lina di pinggang belakang. Fariz hingga sedikit terjingkat karena kaget. Tapi pandangan dan fokusnya tidak goyah sedikitpun—masih pada wanita cantik di seberang sana.
"Kalau Ara bilang Ara bersedia apa Mas Ariz siap membimbing Ara menuju surganya Allah?"
Ara, Ariz. Kata ganti nama yang Kaira sebutnya cukup menggelitik relung hati Fariz yang terdalam. Tanpa dikomando dia mengangguk mantap. "Saya bersedia."
"Tapi ada yang mau Ara tanyain dulu sama Mas Ariz."
"Apa?"
"Ara terlahir sebagai anak tunggal. Sedikitpun belum pernah dibentak Abi Ummi, Ara juga manja. Gimana tanggapan Mas Ariz."
Kesimpulan yang Fariz tangkap "Kaira tidak ingin dibentak dan dikasari" dia cukup paham.
"Tidak masalah. Saya juga tidak suka dengan kekerasan." Ini penutup sesi ta'aruf mereka. Ala kadarnya tapi sangat cukup untuk keduanya.
Fariz yang tertarik dan sudah bosan mendengar rengekan dan desakan Lina. Kaira yang memang sudah mantap untuk menerima perjodohan ini. Menurutnya hari ini, besok atau lusa itu sama saja.
Dan terjadilah akad nikah itu, dengan wali nikah Albi—ayah kandung Kaira. Saksi para saudara dan ada pak RT yang dipanggil dadakan. Mas kawin yang Lina bawa karena Kaira ditanyapun justru menyerahkan pada Fariz. Katanya, "yang tidak memberatkan Mas Ariz, tapi juga tidak merendahkan Ara."
Semua selesai di jam tujuh tepat. Sesuai rencana awal, Fariz harus terbang ke Jakarta di jam setengah delapan malam.
"Ara gak mau ikut suamimu aja nak? Masak pengantin baru malam pertama sudah pisah rumah." Lina menawar dia masih merasa prihatin dengan keadaan menantu dan putranya.
Karia terkekeh, dia menggeleng. Tangan kanannya masih dalam genggaman Fariz—pria itu sedang berpamitan, di antara semua orang di teras depan rumah Albi.
"Kalau enggak biar diantar Ara sampai bandara. Ara biar ditemani Ila. Gimana Ila?" Saran Silfi. Ila (sepupu Kaira) mengangguk setuju—siap mengantar.
"Tidak usah Ummi. Ini sudah malam. Biar Ara nya istirahat aja. Saya sudah biasa kok pergi sendiri." Lalu Fariz menunduk, menatap Kaira. Tinggi Kaira itu sebahunya—pas lah tidak terlalu kerdil seperti yang dia takutkan tadi sore. Gemuk, hitam, pendek. Untung istrinya itu tidak seperti itu. Jika iya jelas Fariz tolak—pakai seandainya segala.
"Saya pergi sekarang." Ujar Fariz lembut tepat di sisi telinga kiri Kaira.
Kaira mendongak, membalas tatapan Fariz dan mengangguk. "Hati-hati Mas!" lalu disusul dengan mencium punggung tangan Fariz.
Diantar Pakde Supir (Supir pribadi Lina), Fariz benar-benar pergi selepas menyalami semua orang satu persatu.
To Be Continued
____________Yang paling nolak ternyata yang paling ngebet guys

KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)
Romance❌️SUDAH REVISI❌️ Banyak yang berubah guys jadi yg mau baca ulang dijamin tetep dugun-dugun. Buat yang belum pernah baca cus merapat. Dijamin gak akan ada ruginya. Justru nagih Kalau gak percaya coba aja😋 ______________________ Disandera oleh trauma...