RCDD | 7. Perkara Mie Ayam

31.5K 1.2K 2
                                    

HAPPY READING

***

"Mie ayam please ... mie ayam." Harap-harap cemas suster Indri menangkup kedua tangannya di wajah. Seperti sedang melantunkan mantra betajuk doa.

Kaira terkekeh. Mereka sedang dalam perjalanan—berjalan beriringan menuju kantin rumah sakit. Akan makan siang, tenaga mereka sudah terkuras habis untuk menangani delapan belas pasien dengan kasus yang beraneka ragam, dalam kurun waktu lima jam. Sadis betul kan? Ini perdana dalam sejarah semenjak Kaira bekerja di Saida Hospital.

Mungkin jika ini rumah sakit umum tidak heran. Itu bahkan bisa dibilang sedikit. Tapi tolong garis bawahi, Saida Hospital itu background-nya Rumah Sakit Khusus Jiwa. Meski menerima pasien umum tapi tidak akan sebanyak itu. Ada rumah sakit umum baik Negeri maupun suwasta yang fasilitasnya lebih memadai.

Biasanya paling banyak sepuluh sampai lima belas, itupun baru tiga kali jika Kaira ingat-ingat. Seringnya, lima sampai delapan pasien di semasa Kaira berjaga. Pernah sekali hanya satu orang itu jaga di pagi hari. Malam hari justru lebih ramai dari pagi. Puncaknya sore hingga jam sepuluh malam.

Untuk makan siang dan malam selain hari minggu, pihak rumah sakit memang menyediakan makan gratis di kantin rumah sakit. Ahli gizi rumah sakit langsung yang menangani. Itu kebijakan rumah sakit demi kesejahteraan pekerjanya. Katanya.

Terkadang menu makanannya memang tidak terduga. Sate lilin misalnya, pernah juga steak. Tapi satu tahun Kaira bekerja di sini rasanya kok belum pernah ada menu mie ayam di kantin rumah sakit. Terlebih mie ayam ala suster Indri dengan saos bantal juga sambal yang melimpah. IMPOSSIBLE.

"Apapun makananya disyukuri aja sus Dri. Berkah itu, kasian kalau dicela apalagi dianggurin—"

"Nanti kalau nasinya gak dimakan, ayamnya kejepit pintu gitu dok. Helehh ... lagu jadul itu dok. Sudah khatam saya waktu bayi," lalu dia mencibir.

Kaira terkekeh, dia bersedekap di tengah jalannya. "Lah memang suster Indri punya ayam? Katanya rumahnya di gang sempit?"

"Gang sempit sebelah kalen dok." Ia mengoreksi. "Ayo makanya main tempat saya dok! Biar tau, rumah saya nangkring di pinggiran kalen. Dijamin terasa nostalgia masa kecil."

"Dikasih apa kalau saya main ke sana sus? Bukan mie ayam ala suster Indri kan?" Kaira menggoda. Yang digoda spontan merengut. "Ya enggak no. Yang enak gak ikhlas saya bagi-bagi. Nanti saya kasih soto isi toge. Gimana ..." ujar suster Indri balik menggoda. Kaira paling tidak suka soto, terlebih sayuran yang bernama "toge" atau kecambah. Nauzubillah, terbayang saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri.

Senyum di wajah Kaira luntur. Tapi tidak menjawab. Mereka belok ke kiri, lima meter lagi keluar dari lorong rumah sakit. Masuk ke area taman sebelum akhirnya sampai di kantin rumah sakit yang terletak di pojok gedung, dekat gedung rawat inap.

"Saya rasanya butuh cas mood dok. Capek betul rasanya. Hari ini luar biasa. Kek mau patah-patah ini boyok. Dokter Ara ngerasa gitu juga gak sih?"

Kaira mengangguk. Dia juga pegal-pegal tapi tidak sampai ingin patah pinggang juga.

Mereka sudah keluar dari lorong itu dan masuk di area taman. Lewat di pinggiran bagian belakang gedung rawat inap. Tidak melewati jalan taman. Taman siang ini sepi, panas mendengkang menjadi sumber penyebabnya.

Jalan tiga menit mereka sampai juga di kantin. Beberapa sudah ada yang mengisi bangku kantin, lebih dari dua puluh orang mengantri di depan meja prasmanan yang ditunggu tiga ahli gizi dengan pakaian serba hitam dan juga penutup kepala juga face shield atau masker transparan yang terbuat dari plastik.

Mereka berdua ikut mengantri setelah mengambil alat makan, suster Indri mendahului dan Kaira mengikuti.

Tidak ada mie ayam seperti harapan suster Indri. Yang ada kuah soto. Tapi isiannya bukan toge, akan tetapi di setiap mangkuknya bertengger ceker ayam dan juga suwiran daging. Keduanya kompak tidak ada yang mengambil. Suster Indri paling geli dengan yang namanya ceker ayam melengos ketika sampai sana.

Mereka duduk di bangku paling pojok belakang, saling berhadapan. Piring penuh dengan beraneka lauk pauk. Ayam lada hitam, tumis sayur pakcoy, buah jeruk, cah jamur tahu. Minumnya air mineral.

"Jangan sedih ah sus, mie ayam mang Toni katanya yang paling juara. Nanti saya temani belinya deh. Mau kapan? Pulang ini apa mau besok? Asal jangan sekarang aja. Dokter Andi sama suster Linda bisa tantrum kalau kita malah main-main sedangkan mereka butuh asupan." Ujar Kaira ditutup dengan kekehan menggoda. Semua pegawai rumah sakit akan bergilir ketika istirahat. Itu peraturannya.

Suster Indri yang hampir menyuap satu sendok penuh nasi berhenti, ia mendongak—menatap Kaira nyalang. Selang lima detik ia berdecak nyaring.

HAP! Satu suap nasi mendarat di mulutnya, ugal-ugalan. Setelah selesai mengunyah baru menjawab. "Gak usah nge-ghosting deh dok. Gak enak dighosting tu," katanya meremehkan.

"Lah siapa yang mau nge-ghosting. Saya serius loh sus."

"Sejak kapan dokter Ara doyan makanan begituan. Kalau mie ayamnya restoran punya percaya saya."

Meski tidak seutuhnya benar, tapi Kaira tetap enggan meluruskan. "Biarkan saja orang mau berargumen apa." Itu pikirnya. Kaira hanya pemilih makanan dan pecinta makanan sehat. Tapi banyak orang yang menyalah artikan.

"Nemenin bukan berarti harus banget ikut memakan kan sus?"

"Maksud dokter Ara nemenin saya makan, terus dokter cuma lihatin saya gitu aja? Ogah betul. Dikira teman laknat ntar saya."

Kaira terkekeh, dia manggut-manggut. "Gitu juga boleh sus. Ide bagus itu. Padahal saya niatnya tadi mau sambil minum es jeruknya Mang Toni. Tapi berhubung suster Indri kasih saran gitu bo—" belum sempat Kaira selesai dengan ucapanya. Suster Indri lebih dulu memotong. "DEAL!" Suaranya kencang sekali. Sampai membuat beberapa orang menatap mereka heran.

Kaira melotot maksimal, dia toleh kanan kiri sambil manggut-manggut—seolah meminta maaf.

"Sus kontrol suaranya!" Tegur Kaira memperingati.

Yang ditegur hanya meringis tanpa dosa.

To Be Continued
____________

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang