Lagi ojer nih otak author. Tapi buat berapa bab nya Up hari ini. Lihat kesibukan ya guys.
HAPPY READING
***
Terlalu dini memang jika Fariz mengatakan trauma itu hilang. Bohong juga jika dia pun berkata demikian. Ia hanya manusia biasa, yang mustahil rasanya jika benar-benar berhenti berharap.
Meski trauma dan rasa takut itu selalu muncul bahkan di setiap hari dan membuat Fariz menderita. Tapi demi masa depannya, demi Almarhumah Lina dan demi Bian, Fariz akan berjuang hingga titik darah penghabisan. Walaupun kata orang cinta anak hanya sepanjang jalan, tapi bolehkan jika sang anak menghormati orang tuanya?
Hebatnya Kaira menyadari ketersiksaan suaminya itu.
Semalam, menjelang tidur, saat lampu kamar bahkan sudah dipadamkan—tinggal lampu tidur remang-remang yang menyala. Mereka berbaring saling berpelukan, mengikis dinginnya malam selepas hujan.
Mereka menyempatkan diri untuk "Pillow Talk", percakapan intim yang dilakukan pasangan menjelang tidur malam. Awalnya hanya membahas perihal Kaira yang belum juga melepas kerudungnya di hadapan Fariz.
"Sayang, Ara gak mau lepas kerudungnya aja tah? Memang gak gerah?" Fariz bertanya.
Kaira tak langsung menjawab, dia diam sembari menggigit bibir bawahnya sendiri—pertanyaan Fariz terlalu mendadak menurutnya.
"Kalau belum nyaman juga gak papa kok. Senyamanya Ara aja, Mas mah siap-siap aja buat nung—" belum sempat Fariz menyelesaikan ucapanya, Kaira tiba-tiba bangkit dari posisi tidurnya, dia duduk dan secepat kilat melepas kerudung marun itu dengan sekali tarikan.
Nampak sudah surai hitam lurus yang menjulai panjang hingga batas punggung.
Kini giliran Fariz yang kaget, dia sampai menganga dengan netra yang membola sempurna. "Menakjubkan ..." celetuknya tanpa sadar.
Tersipu malu Kaira memalingkan wajahnya, dia langsung kembali merebahkan tubuhnya—menubruk dada Fariz hingga Fariz mengaduh. "Pelan-pelan sayang!" tegur Fariz. Kaira sudah tidak mampu mengangkat kepala lagi, dia benamkan wajahnya di dada bidang suaminya.
Mereka adu diam hingga lima menit lamanya, kali ini Kaira yang ganti memulai pembicaraan—setelah berhasil menguasai diri. "Mas ... ayo ke psikiater! Ara temani. Mas butuh itu kan?" ujar Kaira tiba-tiba.
Hei, Fariz belum benar-benar selesai dengan keterkejutannya tadi, sudah main diserang lagi oleh istri mungilnya itu. Meski Fariz diam saja dan tidak ada respon apapun tapi Kaira bisa mendengar detak jantung yang kini berdetak dua kali lipat dari sebelumnya.
"Ara tau mas tersiksa kan selama ini? Mas emang mulai bisa nerima Ara. Tapi hati Mas, mental Mas belum bisa untuk itu dan Mas gak bisa bohongin perasaan mas terus menerus terus buat Mas semakin menderita."
"Kamu tau itu?" Fariz baru merespon, dia bertanya.
Kaira mengangguk tanpa ragu, dia eratkan pelukannya di perut Fariz. "Wajah Mas merah, matanya juga. Napasnya pendek-pendek setiap kali mas habis dari kamar mandi sampai 30 menit lebih."
Sehari bisa dua sampai tiga kali Fariz melakukannya jika selama 24 jam pria itu bersama Kaira. Saat dirawat kemarin Fariz masih mengkonsumsi obat anti psikotik atas resep dokter.
Dokter Arba sempat bertanya tentang psikis Fariz pada Kaira dan merekomendasikan untuk di rujuk ke dokter spesialis jiwa juga. Tapi Kaira masih belum bisa ambil keputusan, dia hanya diam saja dan memperhatikan gerak-gerik Fariz secara diam-diam. Karena sedikit banyak dia juga bisa membedakan.
"Saya takut Kaira—" Fariz menghela napas panjang, detak jantungnya kian memburu. "Saya takut, rasanya dada saya sakit sekali saat bayangan-bayangan buruk itu datang."
"Mas mau berbagi semua itu ke Ara?"
Kaira duga Fariz belum siap, karena pria itu justru diam saja. Dan baru menjawab setelah dua menit lamanya. "Kalau saya bilang saya belum siap apa kamu marah?"
Cepat-cepat Kaira menggeleng. "Ara bakal tunggu, mas jangan khawatir. Yang Mas rasain sekarang ini apa? Kapan semua itu timbulnya?"
"Setiap saya terlalu lama sama kamu. Kamu tidak akan meninggalkan saya kan Kaira?"
Kaira mendongak, dia tatap wajah Fariz yang hanya terlihat dagunya saja—pria itu tidak ingin membalas tatapan Kaira, seperti menghindar. "Enggak, Ara kan sudah mantap pilih Mas. Jadi sampai maut misahin kita ya Ara gak bakal ninggalin Mas."
"Walaupun saya banyak kurangannya?"
Kaira berdehem, "hem ... walaupun Mas banyak banget kurangnya. Allah benci perpisahan tanpa usaha dulu buat memperjuangkan sama memperbaiki semuanya Mas."
"Kalau seandainya saya tidak berubah?"
Kaira diam sejenak dan diamnya Kaira yang tak sampai satu menit itu justru disalah artikan oleh pria itu dan berujung timbul kepanikan—diluar batas normal. "Saya mohon Kaira jangan tinggalkan saya. Saya janji akan berusaha berubah, tapi saya mohon ya, jangan tinggalkan saya. Saya mohon—" diiringi dengan tubuh yang bergetar dan wajah yang semerah darah, air mata sudah menggenang di pelupuk mata—siap tumpah kapanpun.
Kaira melotot, dia jadi panik sendiri. Buru-buru menangkup wajah suaminya dengan posisi yang setengah berbaring. "Mas lihat Ara, tatap mata Ara!" Pria itu menurut meski tubuhnya masih bergetar hebat.
Kaira manggut-manggut, dia usap wajah Fariz dengan lembut. "Ara masih di sini kan? Ara gak bakal ninggalin Mas. Entah bagaimanapun diri Mas. Besok kita urus surat nikah kita mau? Biar Mas bisa percaya?"
"Apa surat nikah cukup jadi alasan kamu tidak meninggalkan saya?"
"Tentu," jawab Kaira cepat. "Buku nikah itu yang paling terkuat soal status pernikahan di negara kita kan?"
"Tapi banyak orang yang bercerai—"
"Tapi Ara kan sudah janji sama Tuhan, Mas juga kan?"
"Tapi saya tidak percaya Tuhan. Dia sudah berulang kali mengecewakan saya dan mengambil semua yang saya cintai."
Kaira menelan ludahnya susah payah. "Sedalam apa sebenarnya lukamu ini Mas?" Itu tanya relung hati Kaira. "Tapi Mas percaya Ara kan? Kalau pun Mas gak bisa percaya Ara setidaknya Mas percaya sama pilihan Almarhumah Mama kan Mas?"
Fariz mengangguk mantap, itu juga satu-satunya alasan Fariz ingin berjuang dan berusaha memperbaiki pernikahan mereka. Karena Lina, penyesalannya atas meninggalnya Lina dan belum sempat membahagiakan Mamanya itu membuatnya semakin mati rasa.
Dia ingin melakukan yang terbaik selagi bisa, hanya Lina dan Bian yang bisa dipercaya seumur hidupnya—sejauh ini tentu saja.
Untuk Kaira, jika dia sudah percaya tidak mungkin semua ini terjadi—termasuk rasa takutnya.
To Be Continued
_____________

KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)
Romance❌️SUDAH REVISI❌️ Banyak yang berubah guys jadi yg mau baca ulang dijamin tetep dugun-dugun. Buat yang belum pernah baca cus merapat. Dijamin gak akan ada ruginya. Justru nagih Kalau gak percaya coba aja😋 ______________________ Disandera oleh trauma...