RCDD | 38. Fariz Vs Dokter Kian

30.1K 1.3K 4
                                    

HAPPY READING GUS

***

Pengajuan surat pengunduran diri Kaira disetujui tepat setelah dua hari Kaira izin sakit. Pihak rumah sakit menemukan penggantinya dengan cepat, alhasil cepat juga dia dibebastugaskan tugaskan. Alhamdulillah, tidak harus menunggu waktu hingga satu bulan ternyata.

Pagi ini dia datang ke rumah sakit untuk sekedar berpamitan dengan rekan kerjanya. Peluk hangat serta tangis sebagai menu utama perpisahan ini. Yang cukup mengejutkan justru respon dokter Kian. Dokter sepisialis penyakit dalam itu baru juga datang, belum duduk, mendengar berita itu dari partner perawatnya, langsung di lempar tas kerjanya ke atas brankar ruang prakteknya.

Tergopoh-gopoh dia menghampiri Kaira. Membuka pintu ruang khusus karyawan di IGD—mengagetkan Kaira yang sedang mengemas barang-barang yang semula sengaja di tinggal untuk dibawa pulang kembali. Kaira reflek balik badan, dia menatap dokter Kian yang tengah berdiri di ambang pintu, satu tanganya memegang kusen pintu.

"Ara kamu yakin mau berhenti kerja? Kenapa? Suamimu gak kasih izin?" serang dokter Kian. Napasnya tersengal-sengal hingga pelafalannya tidak jelas.

Kaira justru bergeming, selang lima detik ia baru menarik sudut bibirnya, menatap dokter Kian dengan lembut dan ramah. "Kenapa diantara semua orang cuma aku yang gak tau Ara? Mama saja tau, tapi gak ada yang ngasih tau. Kamu juga." dokter Kian kembali berujar, nada suaranya terdengar putus asa.

"Maaf dokter ..." jawab Kaira penuh penyesalan, sudut bibirnya dia melengkungkan ke bawah dengan kepala yang sedikit menunduk—tidak enak hati.

Dokter Kian justru terkekeh getir, dia mendongak sesaat lalu kembali menatap Kaira dalam. "Bahkan sampai detik inipun kamu masih memanggilku seperti itu ..." Kaira masih bergeming, kepalanya semakin menunduk sambil menggigit bibir bawahnya sendiri. "Ternyata cinta sendiri itu semenyakitkan ini ya Kaira?" bagaimana tidak syok Kaira mendengar pernyataan cinta dadakan itu. Dia tatap dokter Kian dengan penuh tanya. "Kamu gak salah dengar Kaira, saya cinta sama kamu dari satu tahun lalu."

"Dok—"

Dokter Kian terkekeh getir lagi, dia mengusap wajahnya kasar lalu buang muka sekilas. "Jangan dipikirkan. Ini memang salah saya yang terlalu bodoh menunda-nunda waktu. Andai saya lebih cepat pasti semua tidak akan jadi seperti ini kan Kaira?"

Kaira tidak bisa menjawab bibirnya kelu.

Dokter Kian berujar lagi. "It's okay, semua cuma perkara jodoh. Bukan jodoh ya saya bisa apa kan?"

"Dokter gak marah lagi?" tanya Kaira.

Mendengar pertanyaan Kaira yang menurutnya terlalu polos itu, dokter Kian tidak bisa menahan tawanya lagi.

Pria itu maju satu langkah berniat ingin lebih dekat dengan Kaira, tapi sayang Kaira juga justru mundur satu langkah. "Hei, are you okay?" Kaira spontan manggut-manggut. "Saya minta maaf ya sudah berlebihan. Saya cuma kaget aja tadi dengar berita kamu resign. Kaget dengar kamu sudah nikah aja belum bener-bener selesai. Ini sudah ada berita berita baru lagi. Gak ada yang kasih tau saya sebelumnya Ara. Papa saya tahu itu kan?"

Kaira mengangguk lagi.

Dokter Kian menarik sudut bibirnya simpul, pandangannya lalu jatuh pada tas jinjing Kaira yang tergeletak di lantai. Sudah tertutup rapat dan siap untuk dibawa. "Itu sudah selesai kan?"

Kaira mengikuti arah pandang dokter Kian, belum sempat Kaira menjawab dokter Kian lebih dulu menyela. "Ayo aku bantu bawa, aku antar sampai parkiran. Kamu bawa mobil kan?"

"Diantar suami tadi dok—"

"Ah," dokter Kian menganga lebar, "oke ... oke ... gak masalah. Ayo saya antar!" selepas itu dia berjalan mendekati Kaira yang sudah bergeser ke arah kanan, membiarkan dokter Kian mengambil tas jinjing nya dan membawanya berjalan mendahului Kaira. Kaira hanya mengekor saja, tas itu berat, memang alangkah baiknya ada yang membantu bawakan. Rezeki mana mungkin Kaira tolak.

Kaira menerima dengan senang hati, tapi suaminya yang tidak terima. Kaira pikir suaminya itu sudah pergi ke kantor karena Kaira memang dasarnya nebeng dengan Fariz yang akan berangkat kerja.

Semenjak Pak Manut bekerja dan hubungan mereka membaik, Fariz tidak mengizinkan istrinya itu mengemudi. Jika tidak dengan pak Manut maka pria itu sendiri yang akan mengantar.

Dan karena Kaira ingin menghemat waktu juga meringankan kerja Pak Manut, alhasil dia berinisiatif saja nebeng dengan Fariz yang akan bekerja dengan diantar Pak Manut dan nanti ketika sudah selesai dia berjanji akan mengabari pak Manut.

Tapi diluar dugaan. Sampai lobi rumah sakit, Kaira justru mendapati Fariz yang sedang berdiri memunggunginya, bersandarkan tiang rumah sakit dan pandangan dia tebarkan ke jalanan, satu tanganya masuk dalam saku celana.

Kaira jalan cepat, dia salip dokter Kian dan menghampiri suaminya. "Mas ... kok masih di sini?"

Mendengar suara istrinya, Fariz spontan menoleh, tapi tatapannya justru menemukan sesosok pria berkemeja biru navy yang berjalan dibelakang istrinya dan tengah menjinjing tas Kaira. Fariz tidak mungkin salah mengenali tas itu. Itu tas kesayangan milik almarhumah Lina. Setiap detailnya dia ingat termasuk pin miniatur Ka'bah yang tertempel di bagian depannya.

Kaira sampai tempat. Gadis itu berdiri tepat di hadapan Fariz dan sedikit mendongakkan kepala guna bisa menatap wajah tampan suaminya. "Mas—" tegur Kaira memecahkan lamunan Fariz. Tapi pria itu masih bergeming, tatapan tak luput dari dokter Kian yang kini sudah berdiri di hadapan Fariz dan dipunggungi Kaira.

Dokter Kian juga sama—menatap Fariz. Tatapnya terlihat menyala-nyala penuh kobaran api cemburu. Mereka saling adu tatapan tajam hingga satu menit lamanya.

"Mas Ariz ... are you okay?" Kaira bertanya karena tidak mendapati jawaban suaminya. dia beranikan diri untuk meraih tangan kiri Fariz untuk dia genggam.

Di sentuh Kaira reflek Fariz menunduk. Dia tarik ujung bibirnya lebar sekali. HAP! Dengan sekali hentakan tubuh ramping Kaira masuk dalam dekapan hanya. "I am okay honey. Sudah selesai urusan nya?"

Kaira yang terkejut jelas diam saja. Pikirannya berkecamuk penuh dengan bunga-bunga, pipi Kaira bahkan sudah bersemu merah hingga Fariz yang gemas mengecupnya dua kali. Kemesraan dadakan yang membuat Kaira tidak siap, kakinya hingga sememas jelly saking terkejutnya.

Faris semakin menunduk, dia dekatkan bibirnya pada salah telinga kiri Kaira yang tertutup kerudung lalu berujar, "I love you honey, mas rindu banget," katanya sembari menatap dokter Kian nyalang.

Kaira yang tidak siap semakin tersipu, dia lesakkan tubuhnya dalam pelukan Fariz. Tidak peduli jika ini masih dalam area rumah sakit. Untungnya ini masih pagi dan ini juga lobi banguan ke dua bukan lobi utama dimana banyak pasien rawat jalan di sana. Jadi tidak terlalu banyak lalu lalang orang meski masih ada satu dua dan merata karyawan Saida Hospita.

Fariz tangkup wajah Kaira dengan dua tangan, lalu diarahkan untuk menatapnya dan CUP! Satu kecupan mendarat di bibirnya tepat di hadapan dokter Kian. "Ayo kita ke kantor sekarang. Mas ada meting satu jam lagi."

Kaira yang masih terkejut dengan semua perlakuan tiba-tiba Fariz tidak bisa mencerna ucapan suaminya, dia hanya menurut saat Fariz merangkul pinggangnya dan menggiring Kaira untuk pergi. Sebelum itu dia juga mengambil alih tas jinjing Kaira dari dokter Kian tanpa sepatah katapun. Begitupun dokter Kian.

Kaira baru benar-benar tersadar ketika sudah melangkah hingga lima langkah, dia buru-buru menoleh kebelakang, menatap dokter Kian yang juga sedang menatapnya lalu berujar. "Sukran dokter Kian. Sampaikan salamku ke Mama gaul juga ya." Fariz yang geram mendengar itu melebarkan langkahnya, tangan kanannya yang berada di pinggang Kaira juga dia eratkan. Apa ini yang namanya cemburu buta?

To Be Continued
_____________

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang