Banyak typo. Mohon batuannya buat koresi ya guys🙏🏻
HAPPY READING
***
Sekuat-kuatnya manusia pasti ada masa lelah dan tumbangnya juga.
Kalimat itu yang paling cocok untuk menggambarkan sosok Kaira. Di tengah kegiatannya yang padat merayap-rayap selama hampir dua bulan ini akhirnya dia tumbang juga—jatuh sakit.
Badan meriang, panas dingin, lemas dan hidung mampet. Padahal sudah minum obat, tapi bersin itu tak kunjung reda juga hingga hidungnya semerah cery.
Jangan tanya bagaimana dengan Fariz, si manusia sehat jasmani tapi tidak dengan rohaninya itu sudah panik bukan kepalang. Sejak tadi hanya hilir mudik. Cari ini, cari itu, padahal mencarinya juga di rumah yang ia tinggali dari dia masih jadi jabang bayi hingga hampir bau tanah.
Kadang yang dicari juga hanya satu barang, tapi carinya bisa sampai 30 menit lebih. Banyakan bingung sama ngocehnya. Tingkahnya itu loh ada-ada saja, sampai Bian dan Kaira geleng-geleng kepala saking jengahnya.
Seperti saat mencari baskom untuk kompres. Selama lima belas menit pria itu hanya berputar dan mondar mandir di dapur. Tidak pakai buka pintu lemari atau apapun tapi ngocehnya tidak tertahankan. Bian yang sudah muak jadi acuh tak acuh membiarkan putranya itu berbuat sesuka hatinya.
"Pa mangkuk besar yang gedenya segini—" dia memperagakan besarnya ukuran dengan tangan, "Itu dimana sih Pa? Simpen barang kok gak bener."
"La kamu carinya dimana?"
"Ya di dapur lah Pa. Emangnya mangkok makan tempatnya dimana lagi kalau bukan di dapur." Nah kan, tanya tapi giliran di respon justru "nyolot". Itulah Fariz.
"Ya kalau di dapur harusnya ada. Makanya kamu tu cari barang pake mata bukan pake mulut."
Fariz mendengus kesal, menatap Bian dengan garang. Pria tua itu sedang menyantap sup ayam di atas meja makam, tapak tenang tanpa beban.
Fariz menghela napas lagi, wajahnya terlihat sekali kesalnya. "Papa ini gimana sih. Menantu kesayangan Papa tu lagi sakit loh, sakitnya parah banget. Badannya panas. Kok bisa-bisanya malah makan—"
"Papa laper ya makan lah, lagian juga kan ada kamu suaminya. Apa guna kamu itu kalau masalah kaya gitu aja Papa yang urus. Entar kamu cemburu kalau Papa yang urusin istrimu."
Benar juga, tapi mana mau dia mengakui—gengsi. "Ariz itu pria anti cemburuan pa ..." katanya. "Lagian Bude Nim kenapa sih pake cuti segala, kalau gini kan susah. Perawat itu ngapain juga diberhentikan sih Pa? Harusnya kan kaya gini dia bisa batu urus istri Ariz. Payah bener. Mana gak bilang dulu ke Ariz lagi. Dia itu kerja sama Ariz bukan sama Papa."
Bian meletakkan sendoknya ke dalam mangkuk, menegakkan tubuhnya fokusnya kini hanyaberpusat pada putranya. "Bude Nim lagi ada urusan keluarga, lagian masih ada Pakde Supri. Kalau Ners Roy ya orang Papa sudah sembuh ngapain pake perawat segala."
"Sembuh dari mana orang jalan aja masih ngesot-ngesot gitu." Yang dimaksud Fariz itu jalan Bian masih sulit, harus pakai tongkat dan kudu pelan-pelan. Tapi Fariz saja yang hiperbola.
Bian menatap garang. Sumpah demi Tuhan, Allah SWT. Bian berani kesambar geledek sekalipun. Dia lebih bisa menerima Fariz yang irit bicara seperti biasa dibanding banyak bicara begini—bikin vertigo, hipertensi, juga sakit jantung.
"Ya sudah kasih tau Ariz Pa dimana itu mangkuk besarnya."
Meski masih kesal dan marah tapi Bian tetap menjawab. "Di dalam lemari bawah itu nah, bawah kompor," ujarnya sedikit sewot.
"Gitu kek dari tadi ... ada orang bingung cari kok cuma diem aja," grutu Fariz.
Tidak hanya itu. Ada lagi yang lain.
Lepas beres dengan baskom tadi. Dia segera kembali ke kamar dengan membawa benda itu yang di dalamnya sudah berisi air hangat dan juga ketiaknya mengapit kain untuk mengompres.
Fariz yang jalan lambat-lambat, lalu meletakkannya di atas meka sebelah ranjang tak sedikitpun luput dari pandangan Kaira. Meski sesekali gadis itu sambil memijat pangkal hidungnya.
Hingga akhirnya sampai ke tahap Fariz yang sudah siap akan memasukkan kain ke dalam genangan air. Tatapan Kaira jatuh pada kain itu. "Mas dapat kain dimana itu?" Katanya betanya.
"Di laci dapur." Jawab Fariz santai.
"Itu lap meja dapur mas. Bukan handuk." Protes Kaira. Jika baru masih mending, tapi ini kain bekas pakai yang sudah dicuci. Meski bersih tapi tetap saja kurang cocok kan?
"Tapi ini kaya handuk sayang ..." Bantah Fariz tidak ingin disalahkan. "Lagian ini kayaknya bersih kok." Fariz cium kain itu di beberapa bagian, "wangi juga. Aman lah.",
"Aman ndasmu ..." (aman kepalamu) celetuk hati Kaira berteriak nyaring.
Kaira tidak tahan ingin tertawa sekarang, tapi sekuat tenaga ia tahannya. Fariz mode seperti ini lucu-lucu gemas. Jadinya ia hanya tersenyum yang justru ambigu menurut Fariz.
Sambil mengambil alih benda itu, Kaira berdehem dua kali. "Coba deh buka koper kita Mas. Ada slayer biru navy di sana." Tanpa menjawab Fariz segera berlalu menuju koper kecil yang masih berdiri utuh—belum tersentuh di pojok lemari.
Dia tidurkan benda itu dan Fariz buka lebar-lebar. "Dimana sayang?" belum juga dicari baru dibuka sudah bertanya. Benar ternyata kata Bian Fariz itu cari barang bukan pake mata tapi pake mulut.
"Cari dulu pelan-pelan Mas. Sambil dipindahin itu baju-bajunya kedalam lemari!" Pinta Kaira memerintah.
Tanpa menjawab atau membantah Fariz menurut, dia pindahkan satu persatu helaian baju itu dari koper ke lemari. Per-satu helai, bukan satu tumpuk pakaian langsung. Jadinya proses memasukkan baju itu berlangsung hingga 20 menit lamanya.
Sudah begitu tidak ketemu pula barang yang dia cari. Karena mulai kesal dan kesabaran nya sudah menipis alhasil koper itu dia angkat dan diletakkan di atas ranjang sebelah Kaira yang terbaring lemas.
Kaira memposisikan tubuhnya setengah berbaring dengan bertumpuan satu tangan dan tangan satunya ia gunakan untuk mencari benda yang dimaksudkan. Tidak sampai satu menit kain persegi bsrwarna navy dengan cora bunga-bunga itu berhasil di temukan.
"Ini suamiku sayang ..." ujar Kaira sembari melambaikan di udara.
Fariz rebut benda itu dan buru-buru dia bawa ke dalam lautan air dalam baskom yang airnya nyaris dingin. "Tuh kan airnya dingin sayang. Kelamaan sih." Gerutu Fariz bersengut-sengut. Ia sudah ingin mengangkat baskom itu lagi dan akan dibawa ke kamar mandi. Tapi Kaira lebih dulu mencekal dengan menarik ujung kemeja Fariz. "Temenin Ara tidur aja ya mas? Ara ngantuk, pusing juga, Mas juga capek banget kan pasti."
"Kompresnya?"
"Gak perlu, ntar juga panasnya hilang habis dipeluk Mas." Baru juga Kaira selesai mengatakan kata terakhir, Fariz langsung loncat naik atas ranjang dan masuk kedalam selimut. Koper tadi? Dia tendang hingga jatuh ke lantai. BBRAK! "MAS!" Kaira memperingati. Tapi tak diindahkan oleh Fariz.
Pria itu justru memeluk tubuh Kaira kencang-kencang hingga si empunya berulang kali menepuk pinggang Fariz—memperingati.
Dasarnya Fariz itu bebal, bukanya menurut pelukannya justru semakin ia kencangkan.
Jadilah adegan merawat istri sakit cukup dengan pelukan hangat.
To Be Continued
_____________

KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)
Romance❌️SUDAH REVISI❌️ Banyak yang berubah guys jadi yg mau baca ulang dijamin tetep dugun-dugun. Buat yang belum pernah baca cus merapat. Dijamin gak akan ada ruginya. Justru nagih Kalau gak percaya coba aja😋 ______________________ Disandera oleh trauma...