Hayo, ada yang nunggu gak nih? InsyaAllah hari ini 2 part ya guys🥰
HAPPY READING
***
Mana ada orang sakit minta pecel lontong malam-malam?
Ada, Fariz orangnya, Pak Manut sampai putar-putar kotak semarang. Dari Simpang Lima, Jalan Pandanaran, Gajah Mungkur, Sampangan sampai Banyumanik. Tidak dapat, mana ada jual pecel lontong di jam sepuluh malam.
Akhirnya ganti sate ayam. Tapi sudah dibelikan justru pilih makan bekal Kaira. Sudah begitu mintanya disuapin pula. Kok ngelunjak.
"Lah sate ayamnya mas?"
"Buang saja!" jawab Fariz enteng.
Kaira sampai melongo-baru tahu jika Fariz bisa semenyabalkan ini. "Ara makan satenya aja ya? Mas makan bekalnya Ara." Fariz justru menatap Kaira tajam. "Ya sudah kita tetep makan bekal ini sama-sama. Tapi Ara juga makan satenya gimana. Mubazir Mas kalau gak dimakan."
"Tapi saya mual sama baunya. Menyengat sekali."
"Terus itu satenya gimana dong?" tanya Kaira sambil melirik satu porsi sate kambing di atas meja-dibungkus plastik rapat. Kata Fariz yang rapat biar baunya tidak keluar.
"Itu kurang kencang nutupnya Ara. Baunya masih sampai sini," itu kata Fariz tadi ketika Kaira tengah menali kantong plastik berisi sate. "Tapi ini sudah di plastikin sampai tiga rangkap loh mas." Kaira menjawab. "Ya sudah taruh yang jauh aja sana!" jadilah diletakkan di atas kursi dekat kaki Fariz.
"Kasih orang saja lah. Pusing saya sama baunya."
Kaira memutar bola matanya malas. "Semua kan sudah dapat bagiannya Mas. Lagi pada makan juga tu di ruang pegawai."
"Kasih pak Manut, biar dikasihin anak istrinya."
Kaira tidak menjawab, dia justru menyodorkan satu suap nasi beserta lauknya. Ayam krispi dan cah kangkung. Rasanya Kaira ingin menjejalkan semua makanan ini langsung ke mulut Fariz. Demi Tuhan, pria Kutub Utara mode gurun pasir ternyata menyebalkan. Cerewet sekali.
"Kapan saya pindah ke kamar rawat? Disini tidak enak, brangkarnya keras."
"Nanti, lagi disiapkan sama perawat ruangan nya."
Kemudian mereka sama-sama diam. Fariz sibuk memperhatikan wajah Kaira, sedangkan Kaira subuk menyuapi dirinya dan juga Fariz sampai tidak sadar tengah diperhatikan. "Kamu sebegitu takutnya saya kenapa-kenapa?" Fariz bertanya tiba-tiba, tatapan masih tertuju pada Kaira.
Pergerakan Kaira berhenti sejenak, dia membalas tatapan Fariz lalu mengangguk.
"Saya minta maaf ya sudah buat kamu khawatir hari ini."
"Mas jangan kaya gitu lagi ya?"
"Meninggalnya Mama buat hidup saya terguncang Kaira. Saya belum bisa membahagiakan beliau, permintaan terakhir beliau minta saya bawa kamu ke rumah juga belum sempat saya turuti. Tapi Papa bilang Mama jauh lebih sedih kalau di atas sana lihat saya memperlakukan menantu idamannya tidak baik."
"Ara gak ngadu apa-apa sama Papa mas," kata Kaira meluruskan. Dia trauma juga.
"Saya tau. Papa kemarin telpon minta saya datang. Tanpa kamu ngadu pun pasti Papa curiga gara-gara kita belum pernah ke rumah sama-sama." Fariz menghela napas panjang, dia mengubah pandanganya jadi menatap plafon rumah sakit. "Saya dimarah, diceramahi. Saya jadi teringat Mama yang selalu lakuin itu waktu saya buat salah. Tapi yang lebih buat saya sakit-" Fariz menjeda ucapannya. Dia tatap Kaira lagi.
"Saya ingin berubah Kaira, saya ingin mencoba membuka hati untukmu. Tapi menerimamu saja rasanya susah. Saya tidak bisa."
Kaira menggenggam sendoknya erat-erat, dia tatap wajah suaminya dengan ekspresi yang sulit. Perasaan nya jadi tidak enak.
"Kamu tidak bahagia kan menikah dengan saya?"
Kaira diam saja. Fariz terkekeh getir. "Saya tau. Seharusnya saya memang tidak perlu tanya. Mana ada wanita yang tahan dengan saya."
Kaira masih diam saja. Fariz buang muka.
"Kaira?" Fariz memanggil.
"He'em?" jawab Kaira berdehem.
Fariz diam sejenak, saat ini pria itu menarik napas dalam-dalam. Tanpa dihembuskan dia berbicara. "Seandainya saya minta kamu pergi dari hidup saya, kamu mau."
Kaira membatu, tubuhnya terasa mati rasa, jantungnya bertalu kencang, oksigen terasa sulit untuk dia hirup. "Saya-" tanpa menunggu Fariz menyelesaikan ucapanya Kaira lebih dulu meletakkan kotak bekal yang sejak tadi dia bawa lalu pergi begitu saja tanpa pamit.
Entah apa yang ingin Fariz katakan, tapi dia tidak ingin dengar. Itu terlalu menyakitkan.
***
Niat dan rencana Kaira, Fariz dipindahkan ke ruang perawatan tanpa adanya dirinya yang menemani. Dia menyerahkan sekaligus menitipkan suaminya itu pada Karu Sinyo. Alasan nya dia ingin pulang dulu ambil perlengkapan dirinya dan Fariz.
Padahal kenyataanya, Kaira hanya ingin menghindar sejenak. Dia ingin menenangkan hatinya dan mengontrol emosinya sebelum bertemu Fariz lagi.
Baru juga Kaira masuk apartemen, dia sudah dapat telepon dari Suster Tere.
"Dok, putar balik sekarang! Suami dokter Ara menggigil sampai kejang-kejang, demamnya tinggi lagi. Ini lagi ditangani dokter Boy."
Lutut Kaira lemas. Mondar mandir dia melihat sekitar. "Dok ... masih di sana?" suara suster Tere terus memanggil-manggil dari balik telepon sudah tidak bisa Kaira dengan lagi.
"Dok, dengar saya! Kuasai diri dokter Kaira dulu. Ini suami dokter Ara sudah di tangani dokter Boy, ada dokter Mahen juga. Dokter gak perlu khawatir-"
"Gimana kondisi suami saya sekarang sus?" tanya Kaira dengan suara bergetar. Fokusnya sudah kembali meski belum seutuhnya.
Terdengar suara suster Tere yang sepertinya bertanya Karu Sinyo. Tapi Kaira tidak bisa mendengarnya dengan jelas-suaranya terlalu kecil. Mungkin suster Tere sengaja menutup speaker ponselnya.
"Kejangnya sudah berhenti dok. Tapi beliau gak sadar. Dokter Mahen bilang aman, sudah gak papa. Cuma tidur aja." Kaira juga bisa mendengar suara Dokter Mahen-dokter jaga ruang rawat inap mengatakan kalimat yang terakhir itu.
Mendengar itu Kaira sedikit lega, tapi juga belum tenang sebelum memastikan sendiri.
"Saya balik sekarang Sus, titip suami saya ya sus. Saya usahakan sampai cepat."
"Gak usah buru-buru dok. Suami dokter sudah gak papa kok. Bawa mobilnya pelan-pelan aja. Ini bapak yang antar suami dokter tadi juga ada disini." Nasib baik Kaira tadi tidak jadi membawa Pak Manut bersamanya. Setidaknya ada lebih banyak orang yang bisa menjaga suaminya.
Sambungan telepon terputus dengan Kaira yang mengakhiri. Kaira tidak jadi mengemas pakaian-masa bodo itu urusan belakang. Toh dia tadi juga hanya beralasan. Dengan kondisi Fariz yang sudah seperti ini saja rasanya dia sudah tidak sanggup untuk hidup. Apalagi jika dia menuruti permintaan Fariz.
Membayangkan saja Kaira tidak berani. Apa tanpa dia sadari hatinya sudah terpatri pada sosok pria halalnya? Kaira harus memastikan besok. Ya, dia harus memastikan agar tidak menyesal dikemudian hari.
To Be Continued
____________

KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)
Romance❌️SUDAH REVISI❌️ Banyak yang berubah guys jadi yg mau baca ulang dijamin tetep dugun-dugun. Buat yang belum pernah baca cus merapat. Dijamin gak akan ada ruginya. Justru nagih Kalau gak percaya coba aja😋 ______________________ Disandera oleh trauma...