RCDD | 49. Yang Tertutupi

33.4K 1K 3
                                    

Ada yang nunggu kah? Lama ya guys? Bingung soalnya mau nulis ep ini tu gimana.

Soalnya penyebab traumanya Fariz tetep harus diungkap.

Sorry ya guys🙏🏻

HAPPY READING

***

"KITA PUTUS FARIZ ..." Suara lantang dan meletup-letup dari wanita cantik berambut sebahu, amarahnya membucah tinggi memberi blus on pada pipi tirusnya yang berkulit putih.

Fariz mematung, kilasan itu hilang berganti dengan sosok wanita rapuh dengan linangan air mata. "Kamu terlalu sempurna untuk aku yang gak pernah berharap kesempurnaan Fariz. Aku cuma pingin punya pasangan yang ada buat aku bukan yang hari-harinya selalu sibuk dengan dunianya. Terus kalau gini apa bedanya sama aku satu tahun lalu. Maaf Fariz aku mau hubungan kita sampai di sini aja."

Potongan-potongan itu hilang, napas Fariz nampak tersengal-sengal dalam tidurnya, keringat membanjiri seluruh area keningnya. Lagi, kali ini lebih menyesakkan hati.

"Aku loh mau pacaran sama Fariz karena dia pengusaha, kupikir dia bisa dimanfaatin ternyata pelit mampus."

"Dia lebih baik darimu, dia selalu ngutamain aku Fariz daripada semua kerjaannya. Kamu yang salah Fariz semua masalah ini bersumber dari kamu, terlalu sibuk sama semua berkas-berkas mu itu. Jadi jangan salahin aku kalau aku cari kenyamanan sama perhatian dari cowok lain."

Itu dari dua wanita berbeda, disusul dengan tubuh yang merenggang kaku dan wajah pucat pasi dari dua sosok wanita. Lina dan bocah berumur sepuluh tahun. Saat itu juga Fariz terbangun dari alam mimpinya.

"Are you okay Mas?" sapa Kaira yang baru selesai dengan shalat Tahajudnya. Mukena masih melekat cantik di tubuhnya. Dia sedikit khawatir, menyodorkan sebotol air mineral pada suaminya.

"Kaira kamu gak bakal ninggalin saya kan?" Fariz justru bertanya balik, menatap Kaira dengan wajah berharap dan tatapan yang dalam.

Kaira sempat lenggang sesaat, tapi tak sampai satu menit dia membalas tatapan Fariz dengan penuh kasih sayang. Kaira sudah tahu Fariz kenapa tanpa dijelaskan-serangan takut kehilangan itu pasti muncul lagi.

"Apa selama ini Ara bener-bener ninggalin Mas?" Fariz diam, Kaira kembali bersuara. "Mas punya kekurangan, Ara pun demikian Mas. Kita sudah sepakat buat nikah. Urusan pernikahan bukan cuma aku sama mas doang. Tapi orang tua, keluarga besar kedua belah pihak dan yang utama Allah. Nikah kan bukan buat mainan Mas ..."

"Tapi yang lain begitu Kaira." Yang Fariz maksud semua masalalunya.

"Karena mereka belum punya ikatan agama sama sampean, Ara punya. Dari awal Ara sudah nyerahin semua hidup Ara buat dihabiskan di dunia ini sama Mas. Abi juga sudah serahin Ara ke Mas kan?"

"Tapi saya gila, saya juga bermasalah."

"Ara juga bermasalah kalau itu soal anak. Toh kita kan sudah punya Mila-"

"Anak itu bukan anak saya," potong Fariz Kaira tidak membantah, bukan waktunya. "Soal masalah mental Mas, bukannya kita lagi berusaha?"

"Tapi sejauh ini belum ada perubahan Kaira, Mas gak sembuh-sembuh juga."

Kaira menghela napas gusar, bicara dengan Fariz buat yang satu ini memang butuh banyak sekali sabarnya. Kaira yang semula berdiri disamping ranjang kini jadi merebahkan bokongnya di pinggiran ranjang, mereka saling berhadapan-masih dengan mukena dan sajadah yang terbentang tak jauh dari sana.

"Denger Ara!" Tegas Kaira memerintah. "Mas pasti tau kan apa penyebab mas belum sembuh sampai detik ini?" Kaira bertanya namun Fariz enggan menjawab. Dia tahu dengan sangat tapi belum siap.

"Ara gak maksa Mas buat cerita apapun itu masalalu Mas. Tapi Mas bisa berdamai dengan cara merelakan, mengikhlaskan dan coba untuk terus dan terus husnudzon sama Allah dan jalan hidup."

"Saya cuma takut Kaira," jawab Fariz lemah. Kaira mengangguk-angguk. "Kalau hidup gak punya rasa takut juga bahaya Mas. Kita harus takut sama Allah, takut sama neraka ..."

Kaira menjeda ucapanya sejenak, dia genggam jemari Fariz dan dibawa ke atas pangkuannya. "Umi dulu selalu bilang sama Ara begini Mas ..." Kaira menghela napas, dia tatap suaminya dalam, "kata Ummi, apa yang kita punya itu sebenarnya bukan punya kita. Tapi cuma titipan, harta, anak, keluarga, teman, semua itu cuma titipan. Yang kapanpun bisa diambil sama yang punya. Allah bisa ambil kapanpun Allah mau."

"Bukan karena Allah jahat, justru sebaliknya. Allah tau manusia itu lemah, tempatnya patah. Rasa sakit karena kehilangan itu timbul cuma karena kita merasa memiliki." Kaira lenggang sejenak, tatapannya kosong, dia mulai masuk dalam ingatan masa lalu. "Ummi dulu ngibaratinya gini. Ara sedih nggak kalau mainan Naira rusak? Atau Kaira sedih nggak kalau kucing Bimbim mati?"

"Waktu itu jelas Ara bilang enggak. Kan bukan punya Ara. Tapi ummi tanya lagi waktu Mimi hilang? Ara bahkan nangis dua hari mas waktu boneka kesayangan Ara hilang itu."

"Waktu itu umur Ara baru lima tahun waktu Ummi bilang itu Mas. Waktu Ummi kasih boneka baru lagi buat gantiin Mimi yang hilang waktu dijemur di halaman rumah. Awalnya Ara juga gak paham, tapi Ummi selalu nasehatin itu."

"Ummi gak larang kok Ara sedih, kata Ummi sedih itu memang nalurinya manusia. Namanya sesuatu yang menjadi kebiasaan itu hilang. Wajar sedih. Tapi gak boleh berlarut-larut karena kan kita cuma dititipin. Orang itu bukan punya kita kok masak gak boleh diambil sama yang punya."

Fariz diam saja bahkan sampai mereka akhirnya memutuskan untuk mengakhiri obrolan dan pergi tidur karena tiga jam lagi adzan subuh berkumandang. Tapi diamnya Fariz mustahil hanya diam tanpa peduli, nyatanya sampai sang surya menyapa Fariz masih tetap terjaga hanya karena memikirkan semua ucapan istrinya itu.

Entah sadar atau tidak tapi tali perekang yang tak kasat mata itu kini mulai merenggang. Dan Fariz baru tertidur setelah waktu menunjukkan pukul lima pagi. Disaat Kaira sudah turun kedapur. Bangun-bangun jam enam pagi, karena mendengar ponselnya berdenting.

"Berarti gak perlu Tes DNA Mas?" Tanya Kaira memutar tubuhnya 90 derajat lengkap dengan pisau dan bawang bombay yang masih berada di kedua tanganya.

Fariz angkat bahu, dengan wajah bantalnya Fariz duduk dibangku depan meja makan-mereka saling berhadapan dengan jarak dua meter.

"Tapi kalau gak jadi tes DNA ntar Mbak Sindi begitu lagi gak Mas? Bukan Ara bermaksud nuduh Mas loh ya. Cuma seandainya." Kaira menegaskan.

"Menurutmu gimana sayang? Sebenernya dengan dia tiba-tiba bilang kalau anak dia itu memang bukan anak Mas aja kan sudah jelas kan? Tapi Papa waktu itu minta bukti."

Kaira terperangah, "Papa tau?" Fariz hanya mengangguk asal. "Kok bisa Mas?"

"Entah, matanya Papa kan dimana-mana. Tes DNA aja lah ya biar jelas semua."

"Kalau menurut Ara sih iya Mas. Biar semua selesai aja. Kalaupun suatu saat maafnya ngomong mbak Sindi berulah lagi kan kita sudah ada bukti kan?"

Fariz hanya manggut-manggu, dia bangkit berdiri, berniat ingin menghampiri Kaira namun lebih dulu Kaira cegah, "mau ngapain? Sana siap-siap!"

"Sayang ..." rengek Fariz masih memaksa. Tapi semakin Fariz melangkahkan kakinya semakin menajam juga tatapan Kaira. Jadilah Fariz mengurungkan niatnya, putar balik ia berjalan menjauh. Menghentakkan langkah dengan wajah yang ditekuk berlipat-lipat.

Fariz mode manja suka membuat Kaira sakit kepala soalnya.

To Be Continued
_____________

Tolong maafkan typo ya guys.

Resep Cinta Dalam Doa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang