30

431 14 0
                                    

Orang seperti aku, terbiasa untuk berteman dengan luka.

~✮~

Setelah Zeandre benar-benar hilang dari pekarangan rumahnya, Raizel masuk ke dalam untuk menghampiri Ella yang ada di dapur. Kondisi rumah saat ini terasa sunyi, kening Raizel mengerut sebab merasa heran. Ke mana perginya Ardian dan Liora? Keduanya tidak ada di rumah.

Hati Raizel terpaku pada Ella yang membereskan rumah sendirian, ia mempercepat langkah kakinya karna berniat ingin membantu. "Biar Rai aja yang tata makanan di meja," usul Raizel.

Ella mengangguk senang, pekerjaan rumahnya akan cepat beres jika ada yang bantu. "Boleh, nih. Kamu bawanya hati-hati ya."

Kini anak sambungnya mengambil alih makanan yang telah ia masak. Suara telakson mobil terdengar, hal ini membuat keduanya menoleh secara bersamaan.

"Itu pasti Mas Ardian, Mamah mau buka gerbang dulu."

Detak jantung Raizel semakin menggila, secara cepat ia melakukan tugasnya agar bisa masuk ke dalam kamar untuk menghindar. Melihat Ardian yang semakin dekat, Raizel langsung memutarkan tubuh mungilnya. Langkah kakinya terhenti sebab Ardian berbicara dengan nada bentakan.

"RAIZEL! MAU KE MANA KAMU!"

Ella terlihat sangat berusaha menahan tubuh besar Ardian. "Mas, tolong bicaranya baik-baik."

"Kamu hanya Ibu sambungnya, tidak punya hak untuk melarang saya memaki anak bandel itu!"

"Iya, saya memang bukan Ibu kandungnya Mas. Tapi saya tidak setega kamu!" Hati Ella tersentil mendengar ucapan Ardian. Jika terus seperti ini, perasaan bersalahnya semakin mendalam.

Liora harus pintar memanfaatkan situasi, ia akan membuatnya jadi lebih seru. Salah satu tangannya membuka tas, ingin mengambil obat tetes mata. Benda ini selalu ada di dalam tasnya, karna sewaktu-waktu Liora pasti yakin akan membutuhkannya.

"Liora, kamu nangis?" tanya Ella.

"A--aku sedih aja Mah, kenapa Raizel selalu buat Ayah kecewa."

Raizel terus menunduk, sama sekali tidak ada niat untuk menatap mata mereka. Suhu tubuhnya jadi terasa dingin sekarang.

Perkataan Liora mampu membuat Ardian semakin marah dengan Raizel. Bagaimana bisa ia sayang kepadanya? Jika anak itu saja tidak dapat membuat dirinya merasa bangga. "Kamu contoh dong Liora, dia belajar untuk besok ulangan praktik. Sedangkan kamu? Malah pergi main sampai lupa waktu!"

"Raizel pacaran sama anak berandal, Ayah. Padahal Liora udah bilang ke dia, nanti terbawa pergaulan buruk. Tapi Raizel enggak percaya."

Mata Ardian menatap Raizel dengan tajam, tubuhnya mulai pindah untuk berjarak lebih dekat. Ardian melepaskan sabuk pinggang celananya yang cukup besar. Dengan jiwa yang di selimuti oleh emosi, Ardian melakukan suatu tindakan gila.

PLAK!

PLAK!

PLAK!

"CUKUP YA MAS, DIA ANAK KAMU!"

"Ahhhhhh, s--sakit Ayah." Suara Raizel melemah, dengan jari yang bergemetar ia mengusap lengannya. Perih dan sakit menyatu secara sempurna. Darah kental mengalir di sepanjang tangan gadis itu.

"Liora! Cepat kunci Mamah kamu ke dalam kamar!"

Liora memasang wajah sedih ke arah Raizel, padahal di dalam hatinya ia merasa puas. "Maaf ya Mah, Liora di perintah sama Ayah."

Kepergian Ella membuat Raizel putus asa, harapannya untuk bisa menghindar sudah punah. Ia sebisa mungkin berusaha tetap tenang dalam menghadapi masalah. "A--ayah, udah satu bulan lebih Rai ada belajar tambahan. Di bimbing sama salah satu siswa cukup pintar bernama Zeandre. Sekarang Rai emang pacaran sama dia, tapi yang Liora bilang itu bohong. Zeandre berprestasi, bukan anak berandal."

ZEANDRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang