47

144 10 3
                                    

Malam minggu Zeandre menelusuri jalan Jakarta untuk menuju rumah Raizel, kecepatan yang ia pakai di atas rata-rata. Beberapa pengendara merasa terganggu dengan hal itu. Nomornya telah di blokir oleh Raizel, ini membuat Zeandre lagi-lagi merasa salah dalam mengambil keputusan.

Motor sport hitamnya berhenti di depan gerbang rumah Raizel, ia memperhatikan sekitar untuk memastikan keadaan. "Lampu kamarnya nyala, berarti ada di rumah."

Kaki panjangnya melangkah menghampiri pintu dengan membawa dua kantong yang berisi martabak, Zeandre sempat berhenti dan membelinya tadi.

Saat ingin mengetuk pintu, Ayahnya Raizel keluar dengan penampilan rapi. "Mau cari Raizel?"

Zeandre yang baru pertama kali bertatapan secara dekat dengannya, jadi merasa canggung. "Eh? Iya Om. Raizel ada di dalam? Ini saya beli martabak."

"Ada, Om panggil dulu ya, terima kasih." Kepala Ardian menoleh ke belakang, lalu berteriak kencang memanggil anaknya. "RAIZEL, SINI KELUAR, ADA YANG MAU KETEMU."

"SIAPA AYAH?" Dari dalam kamar Raizel menyahut.

"ZEA--"

"Om, jangan bilang saya yang datang." Secepat kilat menyambar bumi, Zeandre memotong ucapan Ardian.

"SINI DULU KELUAR, KAMU AKAN TAU SIAPA ORANGNYA."

Raizel yang sedang membereskan kamar terpaksa harus menunda kegiatannya itu, Syarla dan Aina telah pulang pada sore hari. Ia menelan ludahnya dengan susah melihat Zeandre ada di depan pintu.

"Ayah pergi dulu, Rai. Ini ada martabak dari Zeandre." Ardian terlihat sangat terburu-buru sebab ingin mengejar waktu acara perusahaan, ia sempat menepuk pundak kekar cowok itu. "Jaga anak saya."

"Hati-hati Ayah."

Di saat mobil Ardian sudah tidak lagi terlihat, Raizel menarik pintu untuk ia tutup. Namun tidak bisa karna Zeandre cukup gila sengaja mengganjalnya dengan tangan.

Kedua bola mata Raizel memutar malas. "Tangan kamu ke jepit pintu, awas!"

"Enggak apa-apa, dari pada kamu tutup pintunya."

"Ck! Mau apa lagi?"

"Mau mengulang permintaan maaf," jelas Zeandre.

Raizel sudah malas, hatinya juga sakit menerima perlakuan Zeandre akhir-akhir ini. "Kamu bohong! Ini lebih dari sekedar satu tim, percuma minta maaf kalau pada akhirnya enggak berubah," serang Raizel.

"Ada keadaan yang enggak bisa aku ceritakan."

Mata Raizel menyipit memperhatikan wajah Zeandre. "Kenapa enggak bisa cerita?"

Kalau aku cerita nanti terbongkar dan kamu akan menjauh. Zeandre membatin seraya menahan sesak di dadanya. Hubungan yang terhalang oleh keyakinan, sulit menemukan jalan keluar.

"Lebih baik aku sakit karna kebenaran, dari pada aku senang oleh kebohongan, Zean. Kamu masih cinta kan sama Geby?"

"Aku cintanya sama kamu, bukan dia."

"Perkataan kamu sangat meyakinkan, tapi sayang sikap kamu tidak mencerminkan."

"Maaf, sebagai gantinya besok pulang sekolah kita jajan." Zeandre ingin mengusap air mata Raizel yang mengalir, namun gadis itu selalu saja menghindar.

"Enggak mau!"

Tubuh Zeandre yang tadinya tegak, kini mendadak lesu. "Aku harus apa? Biar dapat maaf dari kamu."

Raizel terdiam, merasakan pahitnya patah hati. Ternyata tidak enak ya? Di buat kecewa sama orang yang udah di kasih kepercayaan. "Jangan dekat-dekat lagi sama Geby, aku cemburu."

ZEANDRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang