16

360 38 4
                                    

Melihat Ardian membaca koran di ruang tamu, kaki Raizel melangkah untuk menghampirinya. Dari dua jam yang lalu, ia sudah pulang ke rumah dan tentunya di antar oleh Zeandre.

Senyum manis Raizel melekat saat ini. Dirinya ingin mengatakan sesuatu, berharap Ardian menyukainya.

"Rai sekarang udah bisa perhitungan dasar Microsoft Excel, pasti Ayah bangga kan?"

Ardian tidak menoleh sama sekali ke arah Raizel. Sikapnya menunjukkan seperti tidak peduli dengan keberadaannya. Tidak ingin menyerah, Raizel mendudukkan tubuhnya di samping Ardian.

"Ayah?"

Tangan Ardian menurunkan koran, lalu ia melirik Raizel. Tidak terlalu lama, laki-laki tua itu kembali lagi menatap korannya. "Kemampuan kamu baru itu? Lemah sekali, saya tidak merasa bangga, karna Liora telah bisa dari dulu."

Mendengarnya hati Raizel berdenyut sakit, senyumnya kini langsung luntur seketika.

"Liora ada kabar gembira, Ayah!" Ia menutup pintu kamarnya, langsung berlari ke arah Ardian. Sudah pasti Liora tidak mau kalah dengan Raizel.

Ardian meletakan korannya di meja, lantas tersenyum untuk menyambut kedatangannya. "Anak Ayah punya kabar gembira apa?"

"Di pelajaran matematika tadi, nilai aku lebih tinggi dari teman kelas yang juara satu!"

"Selamat ya, Ayah senang dan bangga sekali dengarnya. Atas keberhasilan yang kamu dapat hari ini, mau hadiah apa dari Ayah?" tanya Ardian dengan lembut.

Liora tersenyum mendengarnya, ini dia yang ia inginkan. "Sebenarnya aku mau uang jajannya di tambah."

Lihat saja, Ardian memang tidak menghargai atas usahanya. Raizel hanya bisa terdiam, di mata Ardian dirinya selalu rendah. Sakit? Tentu saja iya.

"Besok pagi Ayah kasih uangnya. Kamu jangan tidur terlalu malam, Ayah mau istirahat dulu ke kamar."

Saat Ardian sudah masuk ke dalam kamar. Liora menyilangkan kedua tangannya di dada, sambil tersenyum mengejek. "Gimana liatnya? Pasti panas ya. Duh, gue kasihan banget sama lo yang enggak pernah berhasil buat mendapatkan kasih sayang dari Ayah."

"Lo itu anak yang enggak di inginkan, Rai. Gue benci banget, karna hadirnya lo ke dunia ini hampir bikin Ayah sama Mamah pisah!"

Ada rasa bersalah yang mendalam, faktanya memang seperti itu. Hati Raizel terasa sangat sakit sekarang. "Lo dendam sama gue?"

Liora tersenyum devil. "Menurut lo?"

"Gue enggak bisa memilih takdir, Ra."

"Halah, enggak usah bilang takdir-takdir. Emang Ibu lo aja dulu yang murahan, suka menggoda Ayah gue."

"Cukup ya Ra! Jangan pernah bilang kayak begitu lagi, hati gue sakit dengarnya."

Liora mencibirkan bibirnya, memangnya kenapa? Suka-suka dirinya lah, ia tidak akan peduli dengan rasa sakit hati Raizel.

"Mamah itu terlalu baik, mau merawat lo yang berstatus anak haram. Kalau bukan karna Mamah, mungkin lo udah hidup di jalanan sebagai gembel."

Waktu pertama kali kedatangannya di rumah, Ella menyambutnya tanpa ada rasa benci. "Lo benar, Tante Ella memang baik."

Liora duduk di samping Raizel, setelah itu tangannya mengusap pipi Raizel dengan lembut. "Gue akan terus buat Ayah enggak sayang sama lo!"

Perlahan pipi Raizel terasa perih, Liora sangat sengaja menancapkan kuku tajamnya. Tatapan benci dari Liora bisa Raizel rasakan.

"Terserah, gue enggak takut."

Apa yang Raizel katakan tentu membuat Liora marah, ia berhenti melukai gadis itu. "Lo liat aja nanti!"

ZEANDRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang