38

194 10 0
                                    

Entah ke mana arah Raizel berjalan, ia pergi dari rumah hanya membawa ponsel dan sejumlah uang lima puluh ribu. Tujuannya sudah tidak jelas, di tambah lagi malam ini angin begitu terasa kencang. Matanya menyipit buat memastikan di depan sana ada halte untuk ia beristirahat.

Kilat petir terlintas mengkilap di atas langit, secara perlahan sebutir air hujan turun mengenai hidung mancung Raizel yang lama-kelamaan semakin banyak. Langkah kakinya gemetar, di bawah guyuran derasnya air hujan gadis ini menangis terisak pilu.

"Ibu, aku udah berusaha untuk jadi anak yang Ayah mau. Tapi sepertinya tidak pernah cukup, sampai kapan aku terus kurang di matanya?" lirih Raizel.

Tatapannya benar-benar kosong, kedua tangan Raizel memeluk tubuhnya sendiri. Tiba-tiba saja sebuah mobil melintas sangat kencang melewati gumpalan air yang tersumbat.

BYUR!

Seragam sekolah Raizel jadi basah dan kotor. Ia merasa kesal, namun apa boleh buat? Kini langkah kakinya di percepat untuk bisa sampai ke halte angkutan umum.

"Zeandre call," ucapnya dengan bibir yang bergetar.

"Halo? Perasaan aku enggak enak, kamu baik-baik aja kan Rai?"

Raizel tidak mampu menjawab, hanya suara tangisnya yang bisa menjelaskan keadaan dirinya sekarang.

"Kamu share lokasi, jangan ke mana-mana! Tunggu aku jemput!"

Setelah itu sambungan terputus, ia tanpa lama mengirim di mana keberadaannya saat ini kepada Zeandre. Tidak membutuhkan waktu yang lama, mobil berwarna putih berhenti tepat di samping halte. Zeandre terburu-buru keluar, tak lupa pula ia membawa payung.

DEG!

Melihat keadaan Raizel membuat hatinya teriris benda tumpul. Rambutnya telah kusut, terlebih lagi ada bekas darah yang menoda di sudut bibir Raizel.

"Zean? Aku--"

"Nanti aja ceritanya, ayo masuk dulu ke mobil!"

Ketika sudah di dalam mobil Zeandre melepaskan hoodie hitam polosnya untuk di berikan kepada Raizel. "Kamu pasti dingin, pakai ini."

"Tapi kamu--"

"Ck, jangan buat aku marah."

Raizel menunduk takut, mengapa Zeandre terlihat sedang menahan emosinya. "Maaf, udah masuk ke dalam hidup aku yang berantakan."

"Aku merasa gagal jadi pasangan karna kamu sama sekali enggak mau berbagi cerita! Jangan di pendam sendiri kalau ada apa-apa, yang ada nanti batin kamu tersiksa."

"Aku takut, Zean."

"Peluk aku di setiap kamu merasa takut."

Tubuh Raizel masuk ke dalam pelukan Zeandre, ini yang ia butuh untuk sekedar melepas rasa sedihnya.

"Aku ada di sini, jangan takut lagi." Suara lembut Zeandre mampu menghangatkan hatinya. Tidak terlalu lama berpelukan, Zeandre harus bisa secepat mungkin membawa Raizel ke rumah sakit untuk mengobati lukanya.

Seakan-akan bisa membaca pikiran Zeandre, tangan Raizel menepuk pelan sebelah kiri pundak kekar cowok di sampingnya ini. "Jangan ke rumah sakit, aku enggak mau lukanya di obati selain sama kamu."

"Oke, kita ke apartemen. Aku obati kamu di sana," putus Zeandre.

Lima belas menit berlalu dan sekarang mereka berdua sudah menginjak lantai apartemen pribadi milik Zeandre. Kini Raizel duduk di sofa ruang tamu dengan kepala yang bersender, kejadian tadi masih saja terus berputar-putar dalam ingatannya.

Zeandre sedang mengambil kotak obat, tak hanya itu ia juga mempersiapkan pakaian serta air hangat untuk nanti Raizel membersihkan diri. Selama di obati Raizel sama sekali tidak mengeluh kesakitan, tatapan gadis itu terpancar kosong.

ZEANDRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang