Kepalsuan Yang Terbongkar

1.2K 103 19
                                    

Mahesa memutar-mutar bolpoin yang ada di tangannya. Cowok itu baru saja menyelesaikan tugas dari guru homeschooling-nya. Rasa jengah menggelayuti. Merasa bosan dengan kegiatannya yang itu-itu saja. Bangun tidur, sarapan dan minum obat, melihat kolam ikan di belakang rumah, belajar, minum obat lagi, melamun, tidur saat rasa lelah menghadang. Selalu seperti itu. Mahesa diperbolehkan untuk pergi keluar, namun harus selalu ada yang menemani.

"Kapan ya gue bisa pergi ke luar sendiri?"

Mahesa meletakkan bolpoinnya. Matanya berpendar ke segala arah, hingga ia matanya terfokus pada satu objek yang menarik perhatiannya. Sebuah bingkai foto keluarga yang baru diambil beberapa hari lalu.

"Maaf, Adek. Semoga aja kamu nggak tahu soal rahasia ini, selamanya."

Mahesa mengusap dadanya pelan saat sesak seolah menghimpit. Ingatannya dipenuhi oleh kejadian beberapa waktu lalu yang tak Jayden ketahui.

"Maaf, Kakak harap kamu nggak akan pernah benci beneran sama Kakak."

Air mata Mahesa meluruh membasahi pipinya. Dunia ini memang keras dan seolah tak adil. Namun cowok itu tak pernah berpikir untuk menyalahkan Tuhan. Mahesa menerima segala ketetapan yang telah Sang Pencipta gariskan untuknya.

Mood-nya memang tengah buruk, apalagi saat rasa sesak yang nyata mulai datang menyerang. Mahesa berusaha tetap tenang kendati napasnya mulai tersengal. Bahkan pandangan cowok itu semakin mengabur.

"M-Ma ...,"

Susah payah ia melangkah untuk keluar dari kamar. Namun dengan tubuh yang kian melemas disertai pasokan oksigen yang semakin menipis membuat langkah cowok itu terseok. Tangannya berusaha meraih apa pun untuk menjadi tumpuannya dalam melangkah.

Mahesa tak ingin tumbang dan membuat kedua orang tuanya, apalagi sang adik diselimuti awan kelabu. Namun ia tak punya kuasa akan pertahanan tubuhnya. Mahesa tak mampu untuk bertahan. Belum sempat menggapai pintu, cowok itu sudah jatuh tersungkur. Kesadarannya pun terenggut oleh kegelapan.

***

Tak terasa, kegiatan perkemahan berjalan dengan lancar. Ini sudah hari kedua. Seharusnya masih ada satu hari lagi bagi Jayden. Namun tubuhnya malah terserang demam. Mungkin karena sebelumnya cowok itu nekat menerobos hujan ketika akan kembali ke tenda setelah mencari kayu bakar untuk kegiatan Api Unggun.

"Jayden, kamu sebaiknya pulang. Salah satu teman kamu bakal ikut kamu pulang."

"Pak, nggak usah. Saya baik-baik aja."

Semua orang yang melihat keadaan Jayden juga tak akan percaya cowok itu baik-baik saja. Bahkan wajahnya saja seperti tanpa dialiri oleh darah. Sangat pucat.

"Nggak usah ngeyel, Jayden. Satria bakal ikut kamu," Pak Johan melirik Satria yang duduk di samping Jayden, "Satria, tolong ikut pulang bareng Jayden. Kalau di sini terus, bisa makin parah demamnya."

Satria pun mengangguk setuju. Cowok itu membantu mengemas semua barang yang dibawa Jayden. Lantas setelahnya menyuruh sang sahabat untuk melangkah pelan sembari ia papah.

"Maaf ya, teman-teman."

Jayden tentu merasa bersalah. Cowok itu adalah ketua di kegiatan perkemahan ini. Namun dengan terpaksa ia harus pulang lebih dulu.

"Santuy, Jay. Cepet sembuh, Bro!"

Jayden mengangguk. Lantas ia kembali melangkah pelan bersama Satria yang setia memapahnya. Dalam heningnya, entah kenapa perasaannya masih tak enak. Seperti ada yang mengganjal.

Kak Hesa pasti baik-baik aja.

***

Kini mereka telah sampai di rumah. Kediaman Jayden tampak lengah saat keduanya memasuki pelataran. Jayden memginterupsi sahabatnya untuk langsung pulang saja. Ia mampu untuk melangkah masuk ke kamarnya.

"Lo pulang aja. Gue bisa kok. Tinggal berapa langkah juga."

Satria baru saja ingin mengelak, namun sang sahabat sudah terlebih dahulu menyela.

"Udahlah sana. Gue baik-baik aja. Naik motor lo aja gue bisa kan tadi?"

"Oke, deh. Gue pulang dulu. Sampai kamar lo langsung istirahat," titah Satria, "udah malem juga ini."

Meski hati Satria masih gusar, namun cowok itu tetap menuruti perintah Jayden. Cowok itu kembali menunggangi kuda besinya, meninggalkan sang sahabat yang kini mulai melangkah masuk ke dalam rumah.

Mas, harusnya kita nggak izinin Jayden camping!

Jayden menghentikan langkahnya saat ia mendengar Joana menyebut namanya dalam obrolan. Cowok itu tak bermaksud menguping, namun namanya telah disebut. Ini pasti pembicaraan penting tentangnya.

Itu camping wajib diikuti, Joana. Mas nggak mungkin ngelarang.

Jantung Jayden semakin berpacu dengan cepat. Entah kenapa ada rasa tak nyaman mengendap dalam hatinya. Cowok itu tetap diam bersandar di balik tembok.

Tapi lihat, Mas. Mahesa kita jadi masuk rumah sakit!

Mata Jayden membola. Pantas saja perasaannya selalu tak enak. Ternyata saudara satu-satunya itu tengah berjuang lebih keras lagi. Cowok itu baru saja akan keluar dari persembunyiannya, namun satu kalimat yang keluar dari bibir Joana membuat bagian hatinya retak.

Aku udah nurutin kemauan Mahesa buat kasih perhatian lebih ke Jayden biar Mahesa seneng, Mas, bukan biar dia tetep masuk rumah sakit!

Dadanya sesak luar biasa. Kasih sayang itu, tatapan lembut itu, dan  pelukan itu ternyata palsu. Hati Jayden seolah tengah dipermainkan oleh orang tua kandungnya sendiri.

"Ma, Pa ...,"

Jayden muncul dari persembunyiannya, membuat sepasang suami istri itu kaget. Bibir pucatnya bergetar. Matanya yang sejak beberapa hari lalu berbinar ceria, kini redup. Tergantikan oleh pancaran luka.

"J-Jayden, Nak ..."

Joana berusaha mendekati sang putra. Namun Jayden semakin bergerak mundur.

"Gue pikir kalian beneran berubah."

Kekehan hambar keluar dari bibir Jayden. Dalam hati menertawakan kebodohannya yang percaya begitu saja dengan sandiwara keluarganya.

"Ternyata cuman demi Mahesa. Mahesa. Mahesa terus."

Jishan tak mampu mengelak. Nyatanya memang selama beberapa hari ini ia ikut bersandiwara. Demi kebahagiaan Mahesa.

"Makasih udah perhatian sama gue, meski cuman pura-pura."

Tak tahan terus berada di dekat kedua orang tuanya, cowok itu melangkah cepat keluar rumah. Tanpa peduli dengan Jishan dan Joana yang berteriak memanggilnya.

"Nak, Jayden. Jangan pergi!!"

Jayden telah berada di luar pagar rumahnya. Meski rasa pening masih membelenggu, tapi cowok itu tak peduli. Hatinya jauh lebih sakit saat mengingat ia telah dibodohi.

Saat sampai di sebuah emperan toko, Jayden terduduk lemas. Cowok itu meraih ponsel yang ada di sakunya demi menghubungi sahabatnya. Nama Nero muncul dalam benaknya.

"Halo, Bang. Kenapa?"

Jayden berusaha mengatur suaranya agar tak terdengar seperti habis menangis.

"G-Gue boleh nginep di rumah lo?"

Nyatanya sangat sulit mengatur suara saat rasa sesak menghimpit. Hal itu membuat Nero yang ada di seberang sana menjadi panik.

"Bang? Lo oke? Gud jemput lo, deh."

"Di emperan toko kelontong deket rumah."

Nero di seberang sana mengangguk paham. Ia tahu di mana toko itu berada.

"Gue matiin teleponnya. Lo stay di situ ya, Bang. Gue otw."

Sambungan telepon pun terputus. Jayden kembali mengantongi ponselnya. Matanya memandang kosong langit yang kini bertabur bintang. Padahal ia baru saja mencecap kebahagiaan. Tapi faktanya, semua hanya kepalsuan. Mereka tak benar-benar menyayanginya.

"Pengin nyerah boleh nggak?"

Tbc






Everlasting Pain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang